Di Balik Industri Ekstaktif, Kekayaan Alam Keluar, Warga Hidup dalam Kerentanan
SANGGAU, insidepontianak.com – Tiga desa di Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, menyimpan kekayaan alam melimpah. Ada tambang emas, bauksit, dan kebun sawit. Namun kemakmuran itu berubah menjadi paradoks.
Investasi yang masuk memang menggerakkan ekonomi daerah. Tetapi di balik pertumbuhan, kerusakan ekologis tak terelakkan. Petani kehilangan lahan. Sungai kehilangan kejernihan. Eksploitasi berjalan tanpa kendali.
Situasi ini terekam dalam laporan investigasi Teraju Indonesia bertajuk: Potret Buram Industri Ekstraktif dalam Tinjauan Keadilan Ekonomi dan Ekologis.
Ivestigasi itu dilakukan pada periode Juli–Agustus 2025. Temuannya: kekayaan alam mengalir keluar, sementara warga tetap hidup dalam kerentanan.
Direktur Eksekutif Teraju Indonesia, Agus Sutommo, menyebut kondisi itu sebagai bukti pengelolaan sumber daya alam melenceng dari prinsip keadilan.
“Masyarakat kehilangan tanah, kehilangan pangan, kehilangan air bersih. Kekayaan alam keluar, tapi kualitas hidup warga tidak naik,” ujar pria yang akrab disapa Bung Tomo, Jumat (28/11/2025).
Laporan Teraju juga mencatat, 70 persen wilayah di tiga desa Kapuas dikuasai industri ekstraktif: tambang bauksit, kebun sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), hingga tambang emas.
Dampaknya langsung terasa. Lahan pangan menyusut drastis. Dari 17 komunitas pertanian lokal, kini hanya sisa 6 yang masih menanam padi—itu pun terancam alih fungsi.
“Bagaimana wilayah yang kaya justru bergantung pada pasokan pangan luar? Ini ironi. Lumbung pangan berubah menjadi lumbung konsesi,” ujarnya.
Jadi Buruh di Tanah Sendiri
Menurut Tomo, janji kesejahteraan dari industri ekstraktif tak pernah hadir. Warga hanya menjadi buruh harian dengan upah Rp75 ribu hingga Rp150 ribu. Jauh dari sejahtera.
Di Desa Lintang Kapuas, skema kemitraan sawit dengan manajemen satu atap, bahkan dinilai manipulatif. Janji bagi hasil tak pernah terwujud secara adil.
“Tidak ada distribusi manfaat yang adil. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin terjepit. Ini paradoks kekayaan alam,” katanya.
Sungai Tercemar
Kapuas dikenal sebagai salah satu sungai besar Nusantara. Namun di tiga desa itu, sungai justru tercemar limbah tambang dan perkebunan.
Warga yang dulu minum dan mandi dari sungai kini harus membeli air bersih atau mengolah air keruh yang tersisa.
“Kaya sungai, tapi tak punya air bersih,” ujarnya.
Pencemaran tak berhenti di aliran sungai. Debu bauksit dan kebisingan tambang 24 jam terus menekan kualitas hidup warga.
Ironi lain muncul dari penegakan hukum. Tambang emas rakyat menjadi sasaran razia, sementara perusahaan besar yang meninggalkan kerusakan luas tak mendapat tekanan setara.
“Tambang perusahaan merusak ekosistem. Tapi siapa yang dikejar? Ini ketidakadilan struktural,” tegas Bung Tomo.
Desakan Teraju
Untuk menghentikan kerusakan ekologi akibat aktivitas ekstraksi industry mineral yang tak terkendali, Tim Investigasi Teraju mendesak pemerintah mengevaluasi dan menindak perusahaan yang melanggar.
Mereka juga meminta penataan PETI melalui skema WPR dan IPR sesuai Perda Kalbar Nomor 9 Tahun 2019.
Selain itu, perusahaan wajib memulihkan lingkungan, menjamin akses air bersih, melindungi lahan pangan desa dari alih fungsi, serta memperjelas regulasi CSR agar benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.
“Kekayaan alam bisa menjadi anugerah. Tapi tanpa keadilan, ia berubah menjadi kutukan. Kapuas menunjukkan itu dengan sangat jelas,” ucap Bung Tomo.
Ia menegaskan, pemerintah provinsi dan kabupaten harus berhenti memandang SDA sebagai komoditas semata. SDA adalah ruang hidup. Ruang yang harus dijaga sebelum terlambat.***

Leave a comment