Tanpa Penguatan Industri, Pengamat Tak Yakin Ekonomi Indonesia Tumbuh 8% di 2029
PONTIANAK, insidepontianak.com - Pengamat ekonomi, Prof Dr Didi J Rachbini tak yakin target pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tumbuh di angka 8 persen di tahun 2029.
Alasannya, pemerintah tak serius melakukan penguatan ekonomi industri. Apalagi jika melihat data 10 tahun terakhir. Geliat industri di Tanah Air pertumbuhannya tidak signifikan.
Persoalan lain, saat ini pemerintah fokus pada program politik menunaikan janji kampanye.
Yang paling populer adalah makan gizi gratis. Program yang bakal menyedot anggaran super besar. Memicu kenaikan pajak.
Pelaku industri pasti akan dibebankan untuk menyokong program tersebut. Kenaikan pajak akan membebani dunia industri.
“Sektor industri di bawah para penanggungjawab yang sama pada kabinet ini, hanya tumbuh 3-4% saja,” kritik Prof Didi, di kegiatan seminar publik INDEF-Paramadina, yang digelar sara daring, Rabu (22/1/2025).
Ia pun membandingkan geliat industrialisasi di Vietnam, yang bisa mencapai 9%-10%. Hebatnya, pada saat yang sama ekspornya bisa tumbuh 14-15%.
“Kondisi itu sama persis dengan Indonesia pada 1985 ekonomi tumbuh 7%, sektor industri tumbuh 9%-10%, ekspornya tumbuh 20%,” sambungnya.
Oleh karena itu, untuk bisa menumbuhkan kembali kinerja sektor industry, maka menurut Prof Didi, elemen-elemen birokrasi harus konsisten melaksanakan program Astacita yang ke-3.
Adapun Astacita ke-3 yaitu memerintahkan keberlanjutan pengembangan infrastruktur dan meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas.
Kemudian, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif serta mengembangkan agro-maritim industri di sentra produksi melalui peran aktif koperasi.
“Zaman Pak Harto dulu, separuh dari birokrasi Departemen Keuangan pernah dirumahkan. Kegiatan ekspor diserahkan ke SGS. Akibatnya, kegiatan ekspor ketika itu melaju kencang. Semua diplomat juga diberikan target agar neraca perdagangan harus surplus,” ucapnya.
Ia meyakini, jika sektor industri tidak dikelola maksimal, maka pembangunan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya tumbuh 5%, seperti prediksi world bank.
“Namun semangat dan cita-cita presiden Prabowo untuk tumbuh 8% juga harus dihargai. Kita optimis saja sebagaimana Vietnam yang tengah melaju kencang perekonomiannya,” sambungnya.
Prof Didi lantas menjelaskan soal kinerja investasi di Indonesia mengalami kemerosotan. Sebabnya karena investasi banyak bergeser ke Vietnam.
Persis sama dengan kejadian 1985, ketika ekonomi Filipina buruk sekali pada era Marcos. Begitu buruknya hingga investasi di Filipina banyak yang bergeser ke Indonesia.
“Jadi, tanpa investasi dari luar negeri ekonomi tidak mungkin tumbuh. Diperlukan 3-4 kali lipat dari Rp1400 triliun untuk sampai pada pertumbuhan 6-7%,” pungkasnya.
Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri melihat, 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo belum terlihat arahan kebijakan yang jelas, selain retorika yang massif.
“Belum terlihat ke mana arah dari program-program yang telah digariskan. Plus adanya kekurangan dalam koordinasi dan kebijakan yang kurang koheren,” katanya.
Ia juga menyoroti konsep RPJMN yang sampai saat ini belum di-publish. Berbeda saat di awal pemerintahan Jokowi pada 2015, di mana RPJMN sudah dipublish kepada masyarakat.
Menurut Yose, RPJMN sangat penting sebagai kompas kebijakan pemerintah, dan ditunggu-tunggu oleh kalangan ekonom, pengusaha/pebisnis, akademisi perguruan tinggi dan lain-lain.
“Apalagi Astacita banyak hal-hal yang terkait dengan perekonomian,” sambungnya.
Ia pun menyadari, berbagai macam masalah yang berpotensi menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat warisan pemerintahan sebelumnya.
Beban masa lalu yang dimaksud seperti high cost economy, regulatory uncertainty, stagnant growth 10 tahun, climate change, digital dan lain sebagainya.
“Akibatnya, pasti berpengaruh pada pemerintahan sekarang. Belum lagi menghadapi pelantikan presiden USA Trump, yang pasti banyak membawa dampak internasional,” lanjutnya.
Yose, berharap, ada arah kebijakan ekonomi yang jelas dari Presiden Prabowo di tengah tantangan politik global yang mempengarhui fiskal.
“Hal itu yang selama ini belum bisa dibaca. Kebijakan bukan tidak ada, tapi seharusnya ada kebijakan jelas yang mengarah pada penyelesaian berbagai masalah sesuai target pemerintahan. Khususnya pada bidang perdagangan dan sektor industri nasional,” ucapnya.
Yose juga menyoroti kebijakan kenaikan UMP 6%, pertama kali dalam sejarah diumumkan langsung oleh Presiden RI.
Menurutnya, kebijakan kenaikan UMP justru kontradiksi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut beberapa ketentuan dalam UU Ciptaker. Salah satunya adalah pembahasan formulasi dari UMP itu sendiri.
Menurutnya, dengan hilangnya formulasi upah minimum, maka semakin tidak bisa dikontrol dan prediksi.
“Kedua, adanya kemungkinan politisai yang lebih besar untuk upah minimum yang dijadikan instrument politisasi utk kepentingan-kepentinan politik,” katanya
Padahal kebijakan upah minimum juga tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan pekerja.
Pada 2023 misalnya. Kenaikan UMP hanya berdampak pada 36% pekerja yang ber-upah di atas UMP.
“Itu saja merupakan penurunan dibanding kenaikan 42% pekerja upah di atas UMP 2019,” pungkasnya.***
Leave a comment