Dolar Anjlok di Google, Ilusi Digital Menyesatkan
JAKARTA, insidepontianak.com – Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mendadak menguat di Googel pada Sabtu kemarin memicu keriuhan.
Lini masa media sosial dibanjiri tangkapan layar menampilkan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah di angka Rp8.170,65. Terjun bebas dari angka Rp16.300.
Informasi mesin pencari digital termasyhur itu sontak memicu kegaduhan. Media-media memberitakan. Massif dan menyebar. Menciptakan berbagai spekulasi.
Tak pelak, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Ramdan Denny Prakoso pun dibuat sibuk.
BI segera mengonfirmasi Google Idonesia. Penegasannya, level nilai tukar Rp8.100-an per dolar AS sebagaimana di mesin pencari Google bukan merupakan level seharusnya.
Benar saja, Google Indonesia mengakui terjadi kesahalan sistem. Sehingga memengaruhi informasi nilai tukar rupiah (IDR) di Google Search.
“Ketika kami mengetahui ketidakakuratan, kami menghubungi penyedia data untuk memperbaiki kesalahan secepat mungkin,” demikian keterangan Google mengutip Antara.
Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Dr Pratama Persadha mengatakan, salah satu kemungkinan penyebab eror di mesin pencari Googel akibat kesalahan teknis dialami platform penyedia informasi nilai tukar.
Jadi, seperti halnya sistem teknologi lainnya, Google mengandalkan algoritma yang menarik data dari berbagai sumber.
Jika terjadi bug atau gangguan teknis dalam proses ini, data yang disajikan bisa menjadi tidak akurat atau bahkan menyesatkan.
Selain itu, Google mengambil data nilai tukar dari berbagai sumber eksternal, termasuk lembaga keuangan, penyedia data ekonomi, dan pasar valuta asing.
Perbedaan sumber ini bisa menyebabkan variasi dalam nilai tukar yang ditampilkan.
Beberapa platform mungkin memperbarui data lebih cepat daripada yang lain, sehingga ada kemungkinan Google menampilkan kurs yang sudah usang atau belum terverifikasi dengan informasi terbaru dari bank sentral atau institusi keuangan utama.
Di sisi lain, Dr Pratama Persadha membuka kemungkinan yang lebih serius namun jarang terjadi yakni terkait adanya manipulasi atau penyalahgunaan sistem akibat peretasan.
Meskipun sistem keamanan Google sangat canggih, bukan tidak mungkin terjadi upaya peretasan atau penyusupan oleh aktor jahat yang berusaha mengacaukan informasi finansial.
Bahkan dalam skenario ekstrem, manipulasi data kurs ini bisa digunakan sebagai bagian dari strategi spekulasi atau disinformasi untuk mengacaukan pasar.
Maka untuk memastikan informasi nilai tukar yang benar, disarankan agar pengguna tidak hanya mengandalkan Google sebagai satu-satunya referensi. Karena nyatanya insiden serupa pernah terjadi sebelumnya.
Terjadi di Malaysia
Pada Februari 2024, ada insiden di Malaysia di mana Google menampilkan nilai tukar ringgit terhadap dolar AS yang tidak akurat.
Bank Negara Malaysia (BNM) mencatat pada Jumat, 15 Februari 2024, Google menunjukkan nilai tukar 1 dolar AS setara dengan 4,98 ringgit, sementara data resmi menunjukkan level terendah ringgit adalah 4,7075 per dolar.
BNM pun berkeras bahwa penilaian tersebut tidak mencerminkan fundamental ekonomi Malaysia yang sebenarnya positif. Kejadian serupa pernah terjadi pada 6 Februari 2024.
BNM kemudian meminta penjelasan dari Google mengenai penyebab kesalahan tersebut dan langkah korektif yang harus diambil untuk mencegah terulangnya masalah serupa di masa depan.
Sebagai respons, Google Malaysia menyampaikan permintaan maaf kepada pemerintah Malaysia atas kesalahan tersebut.
Mereka menjelaskan bahwa kesalahan itu terjadi karena data yang ditampilkan tidak diverifikasi secara memadai, dan berkomitmen untuk meningkatkan akurasi informasi yang disajikan di platform mereka.
Insiden ini menyoroti pentingnya verifikasi data dan keandalan sumber informasi, terutama yang berkaitan dengan data finansial yang sensitif.
Ujian literasi
Fenomena ini bukan sekadar kekeliruan data, tetapi juga menjadi ujian tersendiri atas literasi ekonomi dan finansial sebagian masyarakat dalam menghadapi informasi digital.
Meski harus diakui pula Google, dengan segala kecanggihannya, bukanlah otoritas keuangan yang bertanggung jawab atas kurs mata uang, tetapi hanya menarik data dari berbagai penyedia informasi finansial.
Jika terjadi kesalahan dalam sumber data yang mereka gunakan atau ada gangguan dalam algoritma yang memproses informasi, maka data yang muncul di mesin pencari pun bisa meleset jauh dari kenyataan.
Sayangnya, tidak semua pengguna memahami mekanisme ini. Bagi sebagian besar orang, apa yang muncul di layar Google adalah fakta mutlak, bukan sekadar data yang perlu dicek ulang.
Kesalahan seperti ini berpotensi menimbulkan dampak ekonomi yang lebih besar dari sekadar perbincangan media sosial.
Di era digital, keputusan ekonomi sering kali dibuat dalam hitungan detik berdasarkan data yang tersedia.
Bayangkan jika seorang eksportir menggunakan informasi dari Google untuk membuat keputusan harga jual, atau jika seorang investor asing tiba-tiba menarik dananya karena menganggap ada anomali besar dalam perekonomian Indonesia.
Kesalahan data di platform sebesar Google, meskipun bukan berasal dari niat jahat, bisa memicu gelombang reaksi berantai yang berisiko menimbulkan kepanikan di pasar keuangan.
Dari perspektif ekonomi makro, tidak ada alasan fundamental yang bisa menjelaskan apresiasi rupiah ke level Rp8.170 per dolar dalam kondisi saat ini.
Untuk mencapai angka tersebut, Indonesia harus mengalami surplus neraca perdagangan yang luar biasa besar, lonjakan investasi asing dalam jumlah yang masif, serta perbaikan struktural di berbagai sektor yang dapat meningkatkan daya saing ekonomi nasional secara signifikan.
Tidak ada satu pun indikator ekonomi yang menunjukkan tren ke arah sana dalam waktu singkat.
Bahkan dalam kondisi terbaik, penguatan rupiah tidak akan terjadi secara instan, melainkan melalui proses panjang yang mencerminkan stabilitas ekonomi yang berkelanjutan.
Fenomena ini juga menunjukkan pentingnya regulasi dalam penyebaran informasi keuangan di era digital.
Sebab sampai saat ini belum ada mekanisme yang menjadi jaminan kepastian bahwa data kurs yang ditampilkan oleh platform seperti Google harus akurat atau diperiksa secara berkala oleh otoritas keuangan.
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan memiliki tugas menjaga stabilitas sistem keuangan, tetapi tidak memiliki kewenangan untuk mengontrol bagaimana platform digital menyajikan informasi ekonomi.
Ketika terjadi kesalahan seperti ini, tidak ada jalur resmi yang cepat untuk mengoreksi informasi, sehingga kegaduhan di media sosial bisa berlangsung lama sebelum ada klarifikasi dari pihak berwenang atau penyedia data yang sebenarnya.
Literasi Ekonomi
Ketergantungan masyarakat pada informasi instan juga menegaskan pentingnya peningkatan literasi ekonomi di Indonesia.
Kesadaran untuk selalu membandingkan data dari berbagai sumber, memahami cara kerja sistem keuangan global, serta memiliki wawasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar, adalah keterampilan yang semakin penting di era digital.
Dalam kasus ini, mereka yang langsung mencari informasi ke Bank Indonesia, Bloomberg, XE, atau Reuters akan segera mengetahui bahwa angka di Google tidak benar, sementara mereka yang hanya mengandalkan satu sumber informasi akan mudah terjebak dalam asumsi yang keliru.
Ke depan, penyedia layanan digital seperti Google harus lebih bertanggung jawab dalam menyajikan informasi ekonomi yang akurat, terutama karena banyak orang yang mengandalkan data mereka untuk pengambilan keputusan finansial.
Sistem verifikasi yang lebih ketat, transparansi mengenai sumber data yang digunakan, serta respons cepat dalam memperbaiki kesalahan adalah langkah-langkah yang harus diperkuat agar kejadian serupa tidak terulang.
Di sisi lain, masyarakat juga harus lebih kritis dalam mengonsumsi informasi, terutama yang berkaitan dengan data keuangan yang dapat berdampak besar pada keputusan ekonomi individu maupun korporasi.
Kesalahan kurs rupiah yang ditampilkan Google hanyalah salah satu contoh bagaimana informasi yang tidak akurat dapat menciptakan distorsi dalam persepsi ekonomi.
Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, data yang salah bukan hanya sekadar kesalahan teknis, tetapi juga bisa menjadi pemicu kegaduhan yang berdampak luas.
Oleh karena itu, kemampuan untuk memilah dan memverifikasi informasi bukan lagi sekadar keterampilan tambahan, tetapi kebutuhan mendesak dalam menghadapi lanskap ekonomi digital yang semakin kompleks.***
Leave a comment