Gadis Kretek, Kota M dan Gempuran Kapitalisme Global di Industri Rokok (bagian 2)
PONTIANAK, insidepontianak.com - Setelah
mengarungi lautan Atlantik, dan mendarat di pulau San Salvador atau pulau
Wetling, tahun 1492, Columbus menemukan perahu lesung berisi orang Indian
dengan berbagai muatan daun kering di perahu. Daun kering itu, kelak disebut
dengan tobacco atau tembakau (Amen Budiman dan Onghokham, 1987).
Ketika itu, orang Indian telah memiliki
kebiasaan menghisap tembakau pada sebuah pipa panjang, biasa terbuat dari
tulang. Mereka menikmati rokok pada ujung tulang yang sudah diberi tembakau. Pipa
panjang itu disebut tubak. Dari kata tubak, kelak lahir kata tobacco dalam
bahasa Inggris, dan tembakau dalam bahasa Indonesia.
Tembakau menempati peran istimewa bagi masyarakat
Indian di benua Amerika Utara dan Selatan. Tembakau digunakan dalam setiap
ritual keagamaan dan pengobatan. Bangsa Indian yang menempati sebelah timur
pegunungan Rocky Mountain meyakini tembakau sebagai sesaji dan disukai oleh
kekuatan gaib. Bahkan, bangsa Indian Alqoncuia Pusat, memiliki keyakinan bahwa
tidak ada acara keagamaan bisa dimulai, tanpa kehadiran tembakau.
Di Indonesia, kebiasaan menggunakan
tembakau dilakukan suku di sekitar sungai Fly di Irian Timur, berbatasan dengan
Irian Jaya. Mereka memanfaatkan tembakau dengan merokok, tidak mengunyah
seperti kebiasaan orang Indian. Orang Fly menggunakan pipa dari bambu untuk
menikmati tembakau. Di wilayah Irian lainnya, warga menikmati tembakau dengan
cara melintingnya menjadi rokok.
Sebelum mengenal rokok, orang Indonesia
mengunyah sirih dan pinang. Ada kapur, gambir dan tembakau sebagai campuran.
Bahan menginang hampir sama dengan campuran yang terkandung dalam kretek.
Campuran tembakau untuk pinang disebut tembakau sugi. Orang Jawa menyebutnya
mbako susur.
Kebiasaan makan sirih dan pinang itu,
selanjutnya berubah jadi merokok dengan tembakau. Bahan pembungkus tembakau menggunakan
daun jagung kering, daun pisang atau daun palem.
Kebiasaan merokok di Indonesia,
diperkenalkan oleh bangsa Portugis. Selanjutnya, bangsa Belanda semakin
mempopulerkan kebiasaan tersebut.
Kebiasaan merokok juga telah memasuki istana
Keraton di Jawa. Utusan VOC, Dr H de Haen mendiskripsikan pengalamannya, ketika
berkunjung ke Kerajaan Mataram untuk bertemu Sultan Agung.
Ia menuturkan, Sultan termashur yang
memerintah antara tahun 1613-1645, merupakan perokok berat. Sultan Agung
menggunakan pipa dari perak untuk merokok. Di samping Sultan, selalu ada abdi
yang menyalakan rokok dengan upet atau tali api-api, ketika rokok Sultan
mati.
Ketika kebiasaan mengisap tembakau masih
di lingkungan keraton, rakyat jelata hanya mengunyah pinang dan sirih. Lalu,
kebiasaan merokok dinikmati rakyat jelata juga. Hal itu termaktub dalam kisah
Roro Mendut dan Tumenggung Wiraguna, semasa pemerintahan Sultan Agung.
Kebiasaan mengisap rokok tersebut,
selanjutnya menyebar dan bisa dinikmati rakyat biasa dengan rokok klobot.
Sebatang rokok dengan tembakau, daun pandan atau daun jagung sebagai
pembungkusnya.
Sama dengan penduduk Indian, rokok juga
digunakan untuk ritual keagamaan atau sajen, bersama bunga mawar, cempaka,
kenanga atau melati.
Awalnya perkebunan tembakau ditemukan di
Bogor, Priangan dan Cirebon. Ketika pemerintah Belanda mulai bangkrut, harus
mendanai perang Diponegoro di Jawa, dan perang Padri di Minangkabau, pemerintah
Hindia Belanda menerapkan tanam paksa. Terutama tanaman dengan komoditas
ekonomi tinggi, seperti tembakau.
Perkebunan tembakau muncul di Kediri,
Rembang, Madiun, Surabaya dan Madura. Perkebunan tembakau juga ditemukan di
sekitar Klaten, daerah Kesultanan, Jember dan Besuki.
Bahkan, tahun 1830, memerintahkan Hindia
Belanda menanam tembakau untuk ekspor Eropa, dengan bibit tembakau Havana dan
Maryland di Jetis dan Probolinggo (saat ini Muntilan), seluas 55 bahu.
Bibit itu diberikan secara cuma-cuma
kepada warga. Namun, upaya itu gagal karena letusan Gunung Merapi di Jawa
Tengah. Tahun 1834, penanaman bibit tembakau Manila dan Havana mulai dilakukan.
Sejak 1836 dan 1845, tembakau menjadi tanaman utama ekonomis bernilai tinggi,
selain tebu, kopi dan nila.
Lalu, apa yang membedakan antara rokok
putih dan kretek?
Rokok putih hanya mengandung tiga jenis
tembakau atau American Blend, yaitu; tembakau Virginia, Burley dan tembakau
Oriental yang biasanya jenis Turkish. Sementara itu, dalam sebatang rokok kretek
mengandung belasan hingga 30 tembakau dari seluruh pelosok Indonesia. Racikan
cengkeh, tembakau dan saus itu menghasilkan rasa khas rokok Indonesia, rokok
kretek. (Abhisam, dkk, 2012).
Nama rokok kretek berasal dari nama
ketika rokok itu diisap. Ada bunyi kumretek dalam bahasa Jawa. Bunyi keretek-keretek
ketika serpihan cengkeh dalam rajangan tembakau bertemu dengan api.
Rokok kretek awalnya ditemukan secara
tidak sengaja. Hadji Djamhari menderita sakit dada. Setiap penyakit datang, ia
mengusap dadanya dengan minyak cengkeh. Seketika penyakitnya hilang. Setelah
itu, dia mengunyah cengkeh. (Amen Budiman dan Onghokham, 1997).
Djamhari menggunakan cengkeh sebagai
obat. Caranya, merajang cengkeh dengan halus dan mencampurnya bareng tembakau
sebagai rokok. Lalu, rokok itu dihisapnya dengan tujuan, asap campuran tembakau
dan cengkeh, bisa langsung ke paru-parunya.
Penyakitnya mulai berkurang. Cara itu,
selanjutnya menjadi terkenal di sekitar Kudus. Haji Djamhari membuat kretek itu
dengan jumlah banyak, untuk memenuhi permintaan handai taulan dan orang di
sekitar tempat tinggalnya. Peristiwa tahun 1870 hingga 1880 itu ditandai
sebagai awal penemuan rokok kretek.(Muhlis Suhaeri)
Leave a comment