Gadis Kretek, Kota M dan Gempuran Kapitalisme Global di Industri Rokok (bagian 2)

2024-11-22 01:19:56
Gadis Kretek Artis Dian Sastrowardoyo menjadi pemeran utama sebagai Dasiyah dalam serial Gadis Kretek di Netflik. Ia tokoh sentral dalam serial Gadis Kretek.(Foto Netflik)

PONTIANAK, insidepontianak.com - Setelah mengarungi lautan Atlantik, dan mendarat di pulau San Salvador atau pulau Wetling, tahun 1492, Columbus menemukan perahu lesung berisi orang Indian dengan berbagai muatan daun kering di perahu. Daun kering itu, kelak disebut dengan tobacco atau tembakau (Amen Budiman dan Onghokham, 1987).

Ketika itu, orang Indian telah memiliki kebiasaan menghisap tembakau pada sebuah pipa panjang, biasa terbuat dari tulang. Mereka menikmati rokok pada ujung tulang yang sudah diberi tembakau. Pipa panjang itu disebut tubak. Dari kata tubak, kelak lahir kata tobacco dalam bahasa Inggris, dan tembakau dalam bahasa Indonesia.

Tembakau menempati peran istimewa bagi masyarakat Indian di benua Amerika Utara dan Selatan. Tembakau digunakan dalam setiap ritual keagamaan dan pengobatan. Bangsa Indian yang menempati sebelah timur pegunungan Rocky Mountain meyakini tembakau sebagai sesaji dan disukai oleh kekuatan gaib. Bahkan, bangsa Indian Alqoncuia Pusat, memiliki keyakinan bahwa tidak ada acara keagamaan bisa dimulai, tanpa kehadiran tembakau.

Di Indonesia, kebiasaan menggunakan tembakau dilakukan suku di sekitar sungai Fly di Irian Timur, berbatasan dengan Irian Jaya. Mereka memanfaatkan tembakau dengan merokok, tidak mengunyah seperti kebiasaan orang Indian. Orang Fly menggunakan pipa dari bambu untuk menikmati tembakau. Di wilayah Irian lainnya, warga menikmati tembakau dengan cara melintingnya menjadi rokok.

Sebelum mengenal rokok, orang Indonesia mengunyah sirih dan pinang. Ada kapur, gambir dan tembakau sebagai campuran. Bahan menginang hampir sama dengan campuran yang terkandung dalam kretek. Campuran tembakau untuk pinang disebut tembakau sugi. Orang Jawa menyebutnya mbako susur.

Kebiasaan makan sirih dan pinang itu, selanjutnya berubah jadi merokok dengan tembakau. Bahan pembungkus tembakau menggunakan daun jagung kering, daun pisang atau daun palem.

Kebiasaan merokok di Indonesia, diperkenalkan oleh bangsa Portugis. Selanjutnya, bangsa Belanda semakin mempopulerkan kebiasaan tersebut.

Kebiasaan merokok juga telah memasuki istana Keraton di Jawa. Utusan VOC, Dr H de Haen mendiskripsikan pengalamannya, ketika berkunjung ke Kerajaan Mataram untuk bertemu Sultan Agung.

Ia menuturkan, Sultan termashur yang memerintah antara tahun 1613-1645, merupakan perokok berat. Sultan Agung menggunakan pipa dari perak untuk merokok. Di samping Sultan, selalu ada abdi yang menyalakan rokok dengan upet atau tali api-api, ketika rokok Sultan mati.  

Ketika kebiasaan mengisap tembakau masih di lingkungan keraton, rakyat jelata hanya mengunyah pinang dan sirih. Lalu, kebiasaan merokok dinikmati rakyat jelata juga. Hal itu termaktub dalam kisah Roro Mendut dan Tumenggung Wiraguna, semasa pemerintahan Sultan Agung.

Kebiasaan mengisap rokok tersebut, selanjutnya menyebar dan bisa dinikmati rakyat biasa dengan rokok klobot. Sebatang rokok dengan tembakau, daun pandan atau daun jagung sebagai pembungkusnya.

Sama dengan penduduk Indian, rokok juga digunakan untuk ritual keagamaan atau sajen, bersama bunga mawar, cempaka, kenanga atau melati.     

Awalnya perkebunan tembakau ditemukan di Bogor, Priangan dan Cirebon. Ketika pemerintah Belanda mulai bangkrut, harus mendanai perang Diponegoro di Jawa, dan perang Padri di Minangkabau, pemerintah Hindia Belanda menerapkan tanam paksa. Terutama tanaman dengan komoditas ekonomi tinggi, seperti tembakau.

Perkebunan tembakau muncul di Kediri, Rembang, Madiun, Surabaya dan Madura. Perkebunan tembakau juga ditemukan di sekitar Klaten, daerah Kesultanan, Jember dan Besuki.

Bahkan, tahun 1830, memerintahkan Hindia Belanda menanam tembakau untuk ekspor Eropa, dengan bibit tembakau Havana dan Maryland di Jetis dan Probolinggo (saat ini Muntilan), seluas 55 bahu.

Bibit itu diberikan secara cuma-cuma kepada warga. Namun, upaya itu gagal karena letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah. Tahun 1834, penanaman bibit tembakau Manila dan Havana mulai dilakukan. Sejak 1836 dan 1845, tembakau menjadi tanaman utama ekonomis bernilai tinggi, selain tebu, kopi dan nila.

Lalu, apa yang membedakan antara rokok putih dan kretek?

Rokok putih hanya mengandung tiga jenis tembakau atau American Blend, yaitu; tembakau Virginia, Burley dan tembakau Oriental yang biasanya jenis Turkish. Sementara itu, dalam sebatang rokok kretek mengandung belasan hingga 30 tembakau dari seluruh pelosok Indonesia. Racikan cengkeh, tembakau dan saus itu menghasilkan rasa khas rokok Indonesia, rokok kretek. (Abhisam, dkk, 2012).

Nama rokok kretek berasal dari nama ketika rokok itu diisap. Ada bunyi kumretek dalam bahasa Jawa. Bunyi keretek-keretek ketika serpihan cengkeh dalam rajangan tembakau bertemu dengan api.

Rokok kretek awalnya ditemukan secara tidak sengaja. Hadji Djamhari menderita sakit dada. Setiap penyakit datang, ia mengusap dadanya dengan minyak cengkeh. Seketika penyakitnya hilang. Setelah itu, dia mengunyah cengkeh. (Amen Budiman dan Onghokham, 1997).

Djamhari menggunakan cengkeh sebagai obat. Caranya, merajang cengkeh dengan halus dan mencampurnya bareng tembakau sebagai rokok. Lalu, rokok itu dihisapnya dengan tujuan, asap campuran tembakau dan cengkeh, bisa langsung ke paru-parunya.

Penyakitnya mulai berkurang. Cara itu, selanjutnya menjadi terkenal di sekitar Kudus. Haji Djamhari membuat kretek itu dengan jumlah banyak, untuk memenuhi permintaan handai taulan dan orang di sekitar tempat tinggalnya. Peristiwa tahun 1870 hingga 1880 itu ditandai sebagai awal penemuan rokok kretek.(Muhlis Suhaeri)

 

Leave a comment