Saat Barat Gagal Akhiri Tragedi Kemanusiaan di Palestina, Penduduk Gaza Kelaparan Eskstrem

JAKARTA, insidepontianak.com – Lebih dari dua juta penduduk Gaza saat ini berada di ambang kelaparan ekstrem, karena terputus dari akses makanan, air bersih, dan pasokan medis yang memadai.
Melansir Antara, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio bahkan menyebut krisis kemanusiaan di wilayah kantung Palestina saat ini sangat mengerikan.
Berdasarkan laporan, warga di Gaza kini bertahan hidup hanya memakan gulma dan pakan ternak, serta anak-anak meninggal karena kelaparan di fasilitas pengungsian.
Ironisnya, bencana buatan manusia ini terjadi di bawah pengawasan negara-negara Barat yang memiliki pengaruh besar terhadap Israel, namun dinilai gagal bertindak tegas.
Pengepungan, pemboman, dan penghentian bantuan dari badan internasional kredibel seperti UNRWA oleh Israel telah menciptakan kondisi mengerikan ini.
Bahkan, Guterres menegaskan, mencari bantuan makanan tidak seharusnya menjadi ‘hukuman mati’ menyoroti bahwa banyak korban sipil tewas saat berupaya mendapatkan bantuan.
Pekerja bantuan pun dilaporkan pingsan akibat kelaparan, menunjukkan betapa meluasnya krisis ini.
Pengaruh Barat Tak Optimal
Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman memiliki pengaruh signifikan terhadap Israel melalui penjualan senjata, perlindungan diplomatik, dan hubungan ekonomi.
Negara-negara ini dinilai mampu menuntut koridor kemanusiaan terbuka, mensyaratkan bantuan militer, dan menegakkan hukum internasional.
Namun, tindakan mereka selama ini terkesan ragu-ragu, membiarkan kelaparan kian parah meskipun memiliki kapasitas untuk menghentikannya.
Penggunaan kelaparan sebagai senjata secara eksplisit dilarang dalam Konvensi Jenewa dan Statuta Roma.
Namun, kejahatan ini terjadi di depan mata, merusak norma-norma kemanusiaan internasional yang diklaim dijunjung tinggi oleh negara-negara Barat.
Amerika Serikat didesak untuk mensyaratkan bantuan militer pada kepatuhan terhadap hukum kemanusiaan, mengakhiri hak vetonya di Dewan Keamanan PBB yang menghalangi gencatan senjata, dan menekan Mesir serta Israel untuk membuka semua penyeberangan bantuan di bawah pengawasan internasional.
Inggris dituntut untuk segera menghentikan ekspor senjata ke Israel dan mengembalikan pendanaan penuh kepada UNRWA. London juga didorong menggunakan pengaruh diplomatiknya untuk mendorong resolusi PBB yang mengikat, alih-alih bersekutu dengan veto AS atau abstain.
Prancis diharapkan memimpin upaya embargo senjata di Eropa terhadap Israel, mengoordinasikan koridor udara dan laut kemanusiaan, serta mendukung investigasi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas kejahatan yang dilakukan Israel.
Rencana Prancis untuk mengakui kedaulatan Negara Palestina pada Sidang Umum PBB September 2025 diapresiasi, namun tindakan lebih konkret dinilai mendesak.
Jerman, sebagai pendukung kuat Israel, juga harus mengkondisikan bantuan militer dan ekspor senjata pada kepatuhan terhadap hukum internasional.
Sebagai kekuatan ekonomi terbesar Uni Eropa, Berlin dapat mendorong tekanan kolektif Eropa untuk koridor kemanusiaan tak terbatas dan mendukung mekanisme akuntabilitas hukum.
Pernyataan Bersama yang Dinanti Aksi Nyata
Presiden Prancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, dan Kanselir Jerman Friedrich Merz telah mengeluarkan pernyataan bersama pada Jumat (25/7/2025).
Ia tegas menyerukan gencatan senjata segera di Gaza, pembebasan sandera, dan pencabutan pembatasan bantuan kemanusiaan.
Pernyataan tersebut sebagai respons Marcrin yang menganggap krisis kemanusiaan di Gaza tidak dapat diterima, dan mendesak Israel mencabut pembatasan aliran bantuan.
Namun, kekhawatiran muncul bahwa pernyataan ini hanya sebatas retorika, mengulangi pola di mana kekejaman Israel terus berlanjut tanpa konsekuensi.
Jika negara-negara Barat gagal bertindak, negara-negara Selatan Global didorong untuk menerapkan strategi terkoordinasi, termasuk isolasi diplomatik, langkah-langkah ekonomi seperti diplomasi minyak bumi, dan tekanan hukum melalui Mahkamah Internasional dan ICC.
"Berdiam diri dalam menghadapi tragedi kelaparan yang disengaja bukanlah netralitas, melainkan keterlibatan," demikian isi pernyataan yang mendalam dari berbagai pihak. Sejarah akan mencatat siapa yang bertindak dan siapa yang memilih untuk tidak peduli.***
Leave a comment