Kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Rusia, Bikin Polarisasi Konflik Ukraina Kian Kuat
MOSKOW, insidepontianak.com - Hubungan Rusia dan China yang sedang mesra-mesranya pada saat ini, semakin membuat kubu Rusia lebih percaya diri dalam menjalankan "operasi militer spesial" di Ukraina.
Keakraban Rusia dan China juga dapat terlihat sebelum lawatan Presiden China Xi Jinping untuk menemui Putin di Rusia.
Sebelum kunjungan tersebut, Presiden Rusia Putin menulis artikel yang diterbitkan di harian China's People's Daily. Sedangkan Presiden China Xi Jinping menulis artikel yang diterbitkan di harian Rusia, Rossiiskaya Gazeta.
Putin dalam artikelnya menulis bahwa pihaknya sangat berterima kasih kepada pandangan seimbang dari China, terhadap peristiwa yang terjadi di Ukraina, serta mengapresiasi pemahaman terkait latar belakang dan penyebab sesungguhnya konflik.
Untuk itu, Rusia juga menyambut baik keinginan dari China untuk berperan konstruktif dalam mengatasi krisis yang terjadi saat ini.
Menurut Putin, Rusia sangat terbuka untuk penyelesaian krisis di Ukraina melalui mekanisme diplomasi politik, tetapi pada April 2022 pembicaraan disebut dihentikan bukan oleh pihak Rusia.
Presiden Rusia juga menegaskan bahwa masa depan perdamaian sangat tergantung kepada berbagai pihak untuk siap menggelar pembahasan serius dengan mempertimbangkan realitas geopolitik saat ini.
Dalam tataran perekonomian, Putin juga mengingatkan bahwa perdagangan bilateral naik ke rekor tertinggi yaitu 185 miliar dolar AS (sekitar Rp2.827,72 triliun), dan diperkirakan dapat mencapai 200 miliar dolar AS (Rp3.054,8 triliun) pada 2023.
Selain itu, Putin membahas pula mengenai proyek perpipaan gas Siberia dari Rusia ke China yang disebut sebagai kesepakatan abad ini.
Di pihak Xi, dalam artikelnya di Rossisskaya Gazeta, menyatakan bahwa baik China maupun Rusia adalah negara yang sama-sama mengejar kebijakan luar negeri yang independen dan otonom, serta mempertimbangkan hubungan kedua negara tersebut sebagai prioritas utama dalam diplomasi.
Presiden China menegaskan bahwa tidak ada satu pun model pemerintahan yang bisa berlaku secara universal dan tidak ada tatanan dunia di mana keputusan penting selalu berasal dari satu negara.
Terkait konflik Ukraina, China mengajukan proposal kajian 12 poin yang menurut XI, mewakili sedekat mungkin persatuan dari beragam pandangan komunitas mancanegara.
Xi menyerukan "cara rasional" untuk mengatasi krisis tersebut, yang dapat ditemukan bila berbagai pihak menganut konsep keamanan umum bersama yang menyeluruh dan berkelanjutan, serta adanya dialog dan konsultasi terus-menerus yang dilakukan dengan cara yang seimbang, berhati-hati, dan pragmatis.
Selain kedua artikel yang dituliskan di harian negara tetangganya tersebut itu, Putin dan Xi juga telah bertemu di Moskow, Rusia, pada 21 Maret.
Hasil pertemuan tersebut adalah pernyataan bersama di mana Rusia menilai secara positif posisi China yang dinilai "objektif dan tidak bias". Sedangkan China menilai positif kemauan Rusia untuk berupaya memulai pembicaraan perdamaian secepat mungkin.
Kedua negara juga menyerukan kepada semua negara untuk menghentikan pembentukan blok untuk berkonfrontasi, serta menghentikan berbagai tindakan dapat meningkatkan konflik, serta pentingya berdialog sebagai cara terbaik.
Selain itu, baik China maupun Rusia, juga menolak sanksi sepihak yang dilakukan dengan tidak melalui Dewan Keamanan PBB.
Sanksi yang dimaksud tersebut tentu saja adalah sanksi dari negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, yang bertujuan agar Rusia menghentikan invasinya.
[caption id="attachment_16563" align="alignnone" width="687"] Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping menghadiri pertemuan di Kremlin di Moskow, Rusia (21/3/2023). ANTARA FOTO/Sputnik/Sergei Karpukhin/Pool via REUTERS/tom.[/caption]
Skeptisisme
Amerika Serikat, tidak seperti Rusia, menunjukkan skeptisisme yang kuat terhadap kajian 12 poin yang diusulkan China sebagai proposal perdamaian.
Menurut juru bicara keamanan nasional Gedung Putih, John Kirby, bila China ingin berperan konstruktif dalam mengatasi konflik di Ukraina, maka Xi seharusnya mendesak Rusia menghentikan invasinya.
Kirby, sebagaimana dikutip dari Reuters, juga menyatakan bahwa Amerika Serikat masih belum menginginkan gencatan senjata di Ukraina karena hal itu dinilai akan membuat Rusia memperoleh tambahan wilayah serta membuat Putin dapat mengonsolidasi pasukannya.
Dengan adanya ketidakpercayaan dari kedua kubu, tidak dapat dielakkan muncul pandangan bahwa dua kubu semakin kokoh dalam melakukan polarisasi, yang bila hal itu terus terjadi, maka akan semakin sulit untuk menyelenggarakan dialog perdamaian antara kedua pihak.
Apalagi, saat ini berbagai persenjataan dan personil terus ditambah dengan harapan menambah kemungkinan menang di medan pertempuran.
Pihak Barat, yang dipimpin Amerika Serikat, memberikan bantuan seperti peralatan militer hingga sejumlah pelatihan bagi pihak Ukraina. Amerika Serikat juga menuding China yang diduga memasok persenjataan terkait perang di Ukraina, tetapi China menolak tuduhan tersebut.
Selain itu, kelompok tentara bayaran Rusia yaitu Grup Wagner juga dilaporkan sejumlah media telah membuka rekrutmen baru agar dapat menambah jumlah orang untuk dapat dikirimkan dalam medan pertempuran di Rusia, yang saat ini terfokus di kota Bakhmut di Ukraina timur.
Kabar terbaru, seperti dikutip dari Reuters, Rusia pada Selasa (21/3) telah mengutuk kebijakan Inggris yang ingin mengirimkan amunisi, salah satunya berupa uranium terdeplesi (uranium yang telah melalui proses pengayaan), ke Ukraina.
Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu menyatakan bahwa langkah Inggris tersebut membuat semakin mendekatkan diri kepada potensi "bentrokan nuklir" antara Rusia dan Barat.
Uranium terdeplesi biasanya digunakan dalam pembuatan senjata karena hal tersebut dapat menembus tank dan persenjataan berat secara mudah karena kepadatan dan ciri-ciri fisik lainnya. Namun, penggunaan bahan tersebut juga dapat berisiko terhadap kesehatan karena debunya dapat masuk ke dalam paru-paru dan organ vital lainnya.
Optimisme
Dengan berbagai kabar yang tidak menggembirakan tersebut, apakah menempatkan optimisme terhadap perdamaian masih memiliki secercah asa?
Sebenarnya, terkait dengan konflik antara Rusia dan Ukraina, ada perjanjian yang telah dapat disetujui antara kedua belah pihak.
Perjanjian tersebut adalah Kesepakatan Biji-Bijian Laut Hitam, yaitu terkait dengan pengiriman ekspor produksi pangan dari Ukraina, yang pengirimannya dari sejumlah kota di Laut Hitam, diizinkan oleh pihak Rusia.
Bahkan, kantor berita Turki Anadolu menyatakan bahwa Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah mengumumkan Kesepakatan Biji-bijian Laut Hitam yang masa berlakunya berakhir pada 19 Maret, diperpanjang hingga 120 hari.
Erdogan saat mengumumkan hal tersebut berterima kasih kepada Rusia, Ukraina, dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres atas upaya mereka untuk sekali lagi memperpanjang masa perjanjian tersebut.
Presiden Tukri mengemukakan bahwa Kesepakatan Biji-bijian Laut Hitam tersebut sangat penting karena untuk menjaga stabilitas pasokan pangan global. Kesepakatan itu selama ini telah memfasilitasi pengapalan 25 juta ton biji-bijian ke pasar dunia dengan jumlah lebih dari 800 kapal.
[caption id="attachment_11945" align="alignnone" width="686"] Tentara Ukraina menaiki kendaraan tempur pengangkut infanteri BMP-2 di dekat sebuah garis depan perang di daerah Donetsk,Ukraina, pada 8 Februari 2023. REUTERS/Yevhenii Zavhorodnii (REUTERS/STRINGER)[/caption]
Sementara itu, PBB mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa 25 juta metrik ton biji-bijian dan bahan makanan yang dikirimkan ke 45 negara, telah membantu menurunkan harga pangan global.
PBB menyatakan bahwa Inisiatif Biji-bijian Laut Hitam, bersama nota kesepahaman untuk mempromosikan produk makanan dan pupuk Rusia ke pasar dunia, sangat penting untuk ketahanan pangan global, terutama bagi negara-negara berkembang.
PBB menyatakan tetap berkomitmen kuat pada kedua perjanjian dan mendesak semua pihak untuk melipatgandakan upaya mereka untuk mengimplementasikan sepenuhnya kesepakatan itu.
Tidak hanya untuk perjanjian tersebut, dalam Maret ini juga melihat adanya berita baik dari sisi diplomasi politik, seperti Arab Saudi dan Iran yang telah sepakat untuk melanjutkan hubungan diplomatik mereka setelah perseteruan bertahun-tahun.
Kesepakatan pada 10 Maret yang ditengahi oleh China itu diumumkan setelah empat hari pembicaraan rahasia antara pejabat tinggi keamanan dari kedua negara di Beijing.
Selain itu, Israel dan Palestina juga diberitakan berjanji membatasi kekerasan dan provokasi selama berlangsungnya pertemuan keamanan di kota Laut Merah Mesir, Sharm El Sheikh, pada Minggu (19/3), meski ketegangan meningkat di wilayah pendudukan Tepi Barat.
Pertemuan tersebut mempertemukan delegasi dari Israel, Otoritas Palestina, Mesir, Yordania dan Amerika Serikat.
Pernyataan itu menambahkan bahwa kedua pihak juga mengakui perlunya penurunan ketegangan di lapangan, pencegahan kekerasan lebih jauh, dan meneruskan langkah-langkah membangun kepercayaan, meningkatkan rasa saling percaya, menciptakan pandangan politik, serta menyelesaikan masalah melalui dialog langsung.
Dengan adanya sejumlah kabar baik itu, maka seluruh dunia juga berharap agar adanya kabar bagus serupa dalam konflik Rusia-Ukraina yang mengutamakan perdamaian serta penyelesaian yang adil dan dapat diterima oleh berbagai pihak terkait. Semoga.(ant)***
Leave a comment