Wadi, Fermentasi Ikan Sungai Khas Suku Dayak dan Banjar: Bisa Tahan hingga Setahun

2024-09-21 12:56:09
Ilustrasi

MEDAN, insidepontianak.com - Selain penyantap segala hasil sungai, Suku Dayak dan Banjar juga dikenal sebagai peladang. Namanya berladang tentu berpindah, inilah yang menyebabkan hadirnya wadi, fermentasi ikan sungai.

Maksudnya, ikan sungai yang diawetkan bisa terus dimanfaatkan selagi Suku Dayak dan Banjar berpindah-pindah. Dengan begitu, wadi alias fermentasi ikan itu bisa menjadi cadangan pangan.

Soal jenis ikan pun tidak sulit. Suku Dayak maupun Banjar mengandalkan sungai yang menyimpan beragam jenis, jadi wadi atau fermentasi ini tidak terkhususkan pada jenis tertentu saja.

Artinya, ikan yang dipakai untuk wadi adalah hasil tangkapan mereka di sungai, air tawar. Bisa saja berjenis papuyu, jelawat, baung, sepat, patin, nila, mas, dan sebagainya.

Melansir nationalgeographic.grid.id, Senin (11/9/2023), peladangan berpindah kerap menjauhkan orang Dayak dan Banjar dari sungainya. Nah, siklus hidup ini yang membuat mereka menguasai teknologi pengawetan ikan.

Ketika sedang bertanam atau memanen hasil ladang tersebut, warga yang tidak sempat berburu atau menangkap ikan tinggal mengeluarkan persediaan wadi yang mereka simpan di balanai (guci, belanga).

Sebagai informasi, begitupun wadi tidak hanya ada di Kalimantan Tengah, tapi juga ada di Kalimantan Selatan dan di daerah Sumatra, tentunya dengan nama yang berbeda.

Lalu, bagaimana cara membuatnya?

Awalnya, ikan yang sudah dipotong-potong seukuran separuh telapak tangan orang dewasa (bisa juga tidak dipotong) ditaburi garam selama sehari semalam. Keesokan paginya, ikan dicuci untuk menghilangkan garam.

Selanjutnya, ikan direndam larutan gula aren sehari semalam. Keesokan harinya, ikan ditiriskan dan ditaburi irisan bawang putih agar beraroma harum.

Setelah itu, ikan ditaburkan butiran beras (padi) berwarna cokelat kekuningan. Butiran beras ini dinamakan samu.

Samu pun sebelumnya juga menjalani serangkaian proses. Diawali pencucian, penirisan selama semalam, disangrai hingga cokelat kekuningan, hingga digiling kasar.

Sekitar seminggu kemudian, ikan yang sudah ditaburi samu menjadi wadi. Ikan fermentasi ini menyengat baunya, tetapi memiliki rasa yang lezat.

Agar wadi tidak mengalami pembusukan selama proses fermentasi, balanai (guci, belanga, attau toples) harus tertutup rapat. Dan, lapisan atas wadi diberikan beberapa lembar daun nangka agar tidak busuk atau berulat.

Sejatinya wadi sejak lama telah dikenal turun-temurun oleh warga Dayak dan Banjar di Kalimantan guna memperpanjang lama simpan ikan tangkapan, bisa berbulan-bulan bahkan hingga setahun.

Dengan kata lain, wadi adalah bentuk kearifan lokal warga Dayak dan Banjar menghadapi paceklik atau musim sepi ikan. Proses fermentasi menjadi wadi berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri merugikan.

Memasak ikan wadi pun tidak susah, umumnya rumah tangga di Kalimantan Tengah mengolahnya dengan cara digoreng saja atau atau dimasak dengan bumbu kuning.

Menurut hasil penelitian, kandungan protein wadi dalam keadaan mentah atau belum digoreng dan tanpa penambahan samu adalah 17,8 persen. Kandungan karbohidrat wadi dengan penambahan samu adalah 18,5 persen.

Sementara ketika sudah digoreng, kandungan protein wadi tanpa penambahan samu yaitu 28,7 persen. Sedangkan jika ditambah samu, kandungan karbohidratnya menjadi 28,47 persen.

Demikian soal wadi, fermentasi ikan sungai kas Masyarakat Dayak dan Banjar yang bisa menjadi bahan ketahanan pangan. Semoga bermanfaat. (Adelina). ***

Leave a comment