Duplikasi Jembatan Kapuas 1 (Bukan) Solusi Jitu Atasi Kemacetan Lalu Lintas
PONTIANAK,
insidepontianak.com - Duplikasi
Jembatan Kapuas 1 Kota Pontianak, diperkirakan hanya mampu mengurai kemacetan jangka
pendek.
Sebab, pertumbuhan
kendaraan terus meningkat. Sementara, tidak ada kebijakan intervensi pembatasan
penggunaan kendaraan bermotor untuk beralih menggunakan transportasi massal.
Pemandangan
kemacetan panjang di Kota Pontianak, saban hari terjadi di persimpangan empat
Jembatan Kapuas 1.
Jembatan Kapuas 1, membelah Sungai Kapuas. Panjang jalur jembatan sekitar 700 meter.
Menghubungkan Kecamatan Pontianak Timur dan pusat Kota Pontianak.
Kemacetan
panjang di jalur ini terjadi saat pagi dan sore. Jam-jam pergi dan pulang
kerja. Begitu setiap hari. Membuat kebisingan warga.
"Setiap
hari, lewat Jembatan Kapuas 1, rase kesal tak belawan. Terutama saat
sore pulang kerja. Macetnya minta ampun. Apalagi kalau ada mobil mogok,
macetnya melekat," ujar Lili.
Warga
Parit Mayor Pontianak Timur ini, merupakan bidan dan ibu rumah tangga. Setiap
hari, ia harus turun subuh untuk kerja sekaligus mengantar anak sekolah. Kalau
tidak, bisa terjebak macet.
Untuk
mengurai kemacetan itu, pemerintah pun membangun duplikasi Jembatan Kapuas 1.
Pembangunannya telah dimulai sejak 2022. Kini, sudah rampung 100 persen.
Jembatan
telah diresmikan langsung Presiden Jokowi, Kamis (21/3/2024) dan bakal dibuka
sore hari. Duplikasi Jembatan Kapuas 1, menjadi kado Lebaran bagi warga
Pontianak. Setidaknya, jalan di jalur ini lancar saat perayaan Idul Fitri.
Begitu harapannya.
"Mudah-mudahan,
setelah beroperasinya duplikasi Jembatan Kapuas I ini tak macet lagi,"
harap Lili.
Duplikasi
Jembatan Kapuas 1, merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang
ada di Kalbar, di masa kepemimpinan Presiden Jokowi.
Pembangunannya,
sepenuhnya dibiayai APBN. Menelan biaya Rp275 miliar. Sementara pembebasan
lahan untuk jalan ditanggung Pemerintah Kota Pontianak.
Panjang duplikasi Jembatan Kapuas 1, mencapai 430 meter. Lebarnya 9 meter. Proyek
duplikasi jembatan ini merupakan yang kedua, setelah duplikasi Jembatan Kapuas
Landak yang berjarak 2,3 kilometer dari Jembatan Kapuas 1.
Menambah jalan, lajur, dan membangun duplikasi Jembatan Kapuas 1, dianggap sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan. Padahal, persoalan kemacetan terjadi akibat pertumbuhan kendaraan yang tidak terbendung.
Bukan
Solusi Jitu
Pengamat
Tata Kota, Universitas Tanjungpura, Slamet Widodo pun meyakini, kehadiran
duplikasi Jembatan Kapuas 1, hanya sebatas membantu mengurangi kemacetan. Bukan
mengatasi secara permanen.
Sebab,
masih ada pekerjaan rumah yang mesti dilakukan pemerintah, dengan rekayasa lalu
lintas di Simpang Tanjung Raya I.
Dekan
Fakultas Teknik Untan ini berpendapat, hadirnya duplikasi Jembatan Kapuas 1,
sudah benar untuk mengurai kemacetan. Tapi hanya bersifat jangka pendek.
Sebab,
duplikasi Jembatan Kapuas 1, hanya menambah jalur kendaraan menjadi empat
lajur. Dia mengasumsikan, jika lebar lajur 3,5 meter saja, maka sanggup
mengalirkan lalu lintas hampir sekitar 1.500 satuan mobil penumpang. Apalagi
jika empat lajur, maka ada 5 ribu kendaraan yang dialirkan per jam.
Jika 80
persen sepeda motor dan sisanya kendaraan ringan, maka jumlah kapasitas kedua
jembatan melewatkan 9 ribu kendaraan per-jam.
"Jadi,
kapasitas kedua jembatan sangat besar," lanjut Slamet.
Namun, di
sisi lain, kapasitas kendaraan yang besar tidak diimbangi dengan kapasitas
persimpangan yang ada di dua jalur tersebut secara bergantian.
Alhasil,
menurutnya, jalur persimpangan Jalan Tanjungpura-Imam Bonjol dan persimpangan
Tanjung Raya I-Tanjung Raya II, dipastikan akan mengalami persoalan. Karena
itu, perlu rekayasa lalu lintas di sejumlah jalur persimpangan itu.
Maka, ia
menyarankan agar persimpangan Tanjung Raya I menuju Rumah Sakit Yarsi Pontianak
ditiadakan.
Sebagai
gantinya, harus dibuat alternatif U-turn dengan benar. Bisa ditempatkan sebelum SPBU Jembatan Kapuas Landak.
"Atau,
antara Jembatan Kapuas 1 dan Jembatan Kapuas Landak, atau sepertiganya,"
ucapnya.
Di sisi
lain, solusi jangka panjang yang dapat dilakukan pemerintah untuk menekan
kemacetan di jalur ini yaitu, dengan menghilangkan beberapa persimpangan. Agar
arus lalu lintas terus mengalir.
Seperti
penutupan di simpang empat Polda Kalbar, simpang Purnama-M Sohor, dan simpang
Podomoro depan Mitra Mart. Cara ini terbukti, mengurangi kemacetan total.
Pemicu
Kemacetan
Persoalan
kemacetan di Kota Pontianak, sejatinya tak hanya terjadi di jalur Jembatan Kapuas 1. Tetapi, juga berpotensi terjadi di jalan-jalan protokol yang padat
kendaraan. Termasuk di Jalan Ahmad Yani. Terutama saat sore hari.
Ini
karena, pertumbuhan kendaraan tidak diimbangi dengan peningkatan pelebaran
jalan secara berkelanjutan. Persoalan inilah yang memicu lambat laun kemacetan
terjadi.
Data
Dispenda Provinsi Kalbar, memperlihatkan, peningkatan jumlah kendaraan roda dua
dari tahun 2021 ke tahun 2022, sangat tinggi. Jumlahnya, dari 130,767 unit
meningkat menjadi 781,862 unit.
Begitu pun
peningkatan jumlah kendaraan roda empat di tahun tersebut. Dari 13.415 unit
meningkat menjadi 85.884 unit.
Dalam
jurnal ilmiah berjudul: “Kajian Pertambahan Jumlah Kendaraan Bermotor dan
Tingkat Pelayanan Jalan di Kabupaten Karanganyar”, yang ditulis Iim Choirun
Nisak, menyebutkan, salah satu penyebab peningkatan jumlah kendaraan, karena
kemudahan membeli dengan sistem kredit.
Lewat
kredit, orang bisa membeli kendaraan pribadi hanya dengan bayar uang muka yang
relatif ringan. Setelah itu, unit sudah bisa dibawa pulang, dan akan menjadi
milik pribadi, jika angsurannya sudah selesai dicicil.
Kemudahan
inilah yang membuat laju pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi menjadi tak
terbendung.
Sementara,
di Kota Pontianak, sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur intervensi
soal pembatasan penggunaan kendaraan bermotor.
Akibatnya,
transportasi massal tidak hidup. Jalanan yang lebar, dipadati kendaraan
pribadi. Lamban laun, kemacetan semakin parah.
Belajar
dari Jepang
Mencontoh
Jepang, mereka berhasil bebas dari kemacetan dengan pengalihan pengguna
kendaraan pribadi ke angkutan transportasi massal, sebagaimana dilansir dari
laman Dephub.go.id.
Pemerintah
Jepang, menerapkan pembatasan jumlah operasional kendaraan pribadi, dengan
menyesuaikan kondisi eksternal dan pendukung.
Seperti,
tempat parkir yang dibuat dengan terbatas, pengenaan biaya parkir yang cukup
tinggi, hingga penarikan biaya jalan toll dan harga BBM yang mahal.
Dengan
cara itu, masyarakat di Jepang lebih memilih menggunakan transportasi massal,
karena lebih murah dan efesien.
Selain
itu, pemerintah Jepang sangat ketat dalam menerbitkan Buku Kepemilikan
Kendaraan Bermotor (BPKB) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
Untuk
mendapatkan BPKB dan STNK, pemilik kendaraan bermotor di Jepang harus dapat
menunjukkan bukti telah memiliki tempat parkir untuk kendaraan yang akan
dibelinya.
Atau
setidaknya, telah melakukan sewa kontrak untuk parkir kendaraan yang lokasinya
maksimum, sejauh 2 km dari kediaman pemilik dengan biaya sewa yang cukup mahal
dibayar per bulan.
Manajemen
Pengendalian Lalu Lintas
Selanjutnya,
untuk memutus persoalan kemacetan, perlu pendekatan menuju intervensi yang
berorientasi pada pengendalian dan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor.
Melansir
laman itdp-Indonesia.org, pendekatan ini dikenal sebagai manajemen
pengendalian lalu lintas atau Transportation Demand Management.
Strategi
TDM yang komprehensif membutuhkan keseimbangan, antara penyediaan opsi
bermobilitas, kebijakan disinsentif kendaraan bermotor pribadi, dan kebijakan
pengembangan tata guna lahan yang baik.
Beberapa
kota telah menerapkan strategi TDM yang komprehensif untuk mengatasi masalah
kemacetan. Pada tahun 2007, Stockholm, Swedia, memperkenalkan pajak kemacetan
(yang merupakan push strategy) di pusat kota.
Namun
kebijakan ini tuai penolakan besar dari masyarakat. Namun penolakan itu
berhasil diatasi lewat mitigasi masalah, dengan meningkatkan layanan bus untuk
mengakomodasi para pengemudi yang terkena dampak kebijakan pull strategy.
Hasilnya,
terjadi peningkatan 10-15% jumlah penumpang bus ke pusat kota Stockholm, dan
volume lalu lintas secara keseluruhan menurun sebesar 20%.
Selain
itu, pemerintah Swedia mendapatkan sumber pendapatan baru yang kemudian
dialokasikan untuk meningkatkan infrastruktur transportasi Stockholm.
Contoh
lain dari keberhasilan implementasi kebijakan TDM dapat dilihat di Singapura.
Bahkan sebelum skema Electronic Road Pricing (ERP) yang dimulai pada
tahun 1998, Singapura telah menerapkan beberapa push and pull strategy
untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di kotanya.
Skema
Lisensi Area/Area License Scheme (ALS) dan Sistem Kuota Kendaraan/Vehicle
Quota System dan push strategy lainnya diterapkan masing-masing pada
tahun 1975 dan 1990, untuk membatasi penggunaan dan pertumbuhan kendaraan.
Di sisi
pull strategy, selain memperluas sistem bus dan kereta (sistem MRT dan
LRT), Singapura berhasil menerapkan sistem pembayaran transportasi publik
massal yang terintegrasi, untuk menghindari kerumitan saat berpindah dari bus,
MRT, dan LRT.
Sistem
pembayaran kini telah ditingkatkan beberapa kali, dari pembayaran luring
berbasis kartu pada tahun 2000-an, menjadi daring berbasis akun yang dimulai
pada tahun 2017.
Di
Jakarta, pendekatan TDM telah diterapkan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas
melalui beberapa kebijakan yang bersifat push dan pull.
Pada
tahun 2003, pemerintah memperkenalkan skema “3-in-1“. Sebuah push strategy
di mana hanya kendaraan berpenumpang banyak atau High Occupancy Vehicle,
yang diisi setidaknya tiga orang, termasuk pengemudi, diizinkan untuk melewati
koridor-koridor tertentu.
Namun,
kebijakan ini tidak efektif karena munculnya fenomena joki 3-in-1. Kebijakan
ini kemudian diubah menjadi Pembatasan Plat Nomor Ganjil-Genap pada tahun 2016.
Pembatasan
ini masih berlaku hingga sekarang. Namun penelitian menunjukkan bahwa kebijakan
ini memicu peningkatan jumlah kepemilikan kendaraan dalam satu rumah.
Pemerintah
Jakarta sedang merumuskan kebijakan mengenai jalan berbayar, melalui skema ERP
sebagai perbaikan dari kebijakan pembatasan ganjil-genap.
Di sisi pull
strategy, pemerintah mulai mengoperasikan jalur Bus Rapid Transit
(BRT) pertama pada tahun 2004 yang telah diperluas menjadi 251 km.
Jalur MRT
pertama beroperasi pada tahun 2019, dan akan diperluas untuk mencakup
perpanjangan koridor Utara-Selatan, dan penambahan koridor Timur-Barat.
Pada
tahun 2020, Pemerintah Jakarta menerapkan sistem integrasi tarif di bawah
JakLingko. Yang menawarkan insentif bagi warga, untuk melakukan perjalanan ke
kantor atau berkeliling Jakarta, dengan menggunakan transportasi umum.
Ada pula
upaya lain seperti perluasan trotoar dan infrastruktur bersepeda untuk
mempromosikan koneksi first-last mile transportasi tidak bermotor dari dan ke
titik transit transportasi publik.
Penerapan
TDM tidak hanya relevan untuk Jakarta, namun juga untuk kota-kota lain di
Indonesia karena kemacetan lalu lintas semakin menjadi masalah perkotaan yang
umum.
Belajar
dari Jakarta, perluasan jalan, termasuk pembangunan jalan tol dalam kota,
bukanlah pendekatan yang efektif dan tepat untuk mengatasi atau mencegah
kemacetan lalu lintas.
Tetapi,
mengurai kemacetan jangka panjang bisa dilakukan dengan investasi memperbanyak
transportasi publik, dan peningkatan aksesibilitas transportasi tidak bermotor.
Selain itu, menerapkan langkah-langkah untuk memberikan disinsentif bagi
penggunaan kendaraan bermotor pribadi
Misalnya,
dengan meningkatkan manajemen ruang dan tarif parkir. Hal itu merupakan cara
menuju lalu lintas lebih baik, dan pembangunan transportasi berkelanjutan.(Andi/Abdul).***
Leave a comment