Waterfront City, Konsep Adaptif Pembangunan Kota Tepi Air di Pontianak
Berdasarkan buku Statistik 2024, Indonesia memiliki 17.001 pulau, 38 provinsi dan 516 kabupaten/kota. Separuh jumlah atau sekitar 300 kabupaten/kota yang dihuni sekitar 132 juta warga, berada di wilayah pesisir.
Pesisir merupakan wilayah daratan dan berbatasan dengan air laut atau sungai. Waterfront merupakan area berbatasan dengan air. Atau, bagian kota dan menghadap ke perairan. Yang dapat dijadikan bagian pengembangan wilayah perkotaan.
Waterfront city satu model pengembangan perkotaan di wilayah pesisir. Model pengembangan kota ini berorientasi menghadap ke perairan. Seperti, laut, sungai atau danau. Waterfront city merupakan penerapan pembangunan berbasis kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pesisir.
James Rouse pertama kali mengenalkan konsep waterfront city. Ia merevitalisasi kawasan industri di Baltimore, Amerika Serikat, tahun 1970-an. Kota pesisir pantai barat Amerika Serikat, awalnya alami resesi dan kumuh. Rouse merevitalisasi dan menghidupkan wilayah pesisir dengan membangun pusat perdagangan dan bisnis. Menghidupkan ruang publik, sehingga warga bisa betah dan nyaman tinggal, berolahraga atau aktivitas lainnya.
Waterfront city memiliki beberapa prinsip. Pertama, kota mesti ada kegiatan dan kawasan yang memiliki hubungan fungsional. Kedua, memperhatikan sifat dinamis air, dalam kaitannya dengan dampak kegiatan kota. Ketiga, pengembangan dan pertumbuhan kegiatan kota, dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan daya dukung kota. Keempat, memadukan antara pemanfatan kawasan hulu dan hilir (Prof Ali Kabul Mahi, 2021).
Kalimantan Barat memiliki banyak jaringan sungai besar. Misalnya, Sungai Kapuas, Landak, Pawan, Sambas, Melawi, Sekayam, dan lainnya. Bahkan, sungai terpanjang di Indonesia, Sungai Kapuas memiliki panjang 1.000-an kilometer, mengalir melingkari separo wilayah Kalbar.
Tak heran bila, hampir sebagian besar kehidupan di Kalbar, terhubung dengan sungai. Tata kehidupan dan budaya sungai, mewujud dalam berbagai pola kehidupan, budaya, kesenian, bentuk bangunan, transportasi, dan lainnya.
Misalnya, di Kota Pontianak, Sungai Kapuas dan Landak membelah kota. Menciptakan landscape unik di tengah kota. Namun, sayangnya pola kehidupan di pinggiran sungai, hingga awal tahun 2000-an, belum tertata dengan baik. Padahal, kota butuh rencana dan penataan wilayah.
Perencanaan tata kota penting bagi perkembangan dan kemajuan kota. Perencanaan pada dasarnya merupakan suatu cara “rasional” mempersiapkan dan mencapai masa depan. Rasionalitas dapat diartikan sebagai suatu cara memilih pendekatan terbaik, untuk mencapai tujuan tertentu. Namun, pendekatan rasionalitas menuntut adanya pengetahuan relatif sempurna (Mahi, 2021).
Pengetahuan yang sempurna tergantung kepada kapasitas pengetahuan, pengalaman, teknologi perencana atau informasi. Namun, informasi tentu saja tidak tersebar dengan merata, dan terkait dengan konsentrasi kekuasaan. Realitasnya, pengambilan akhir suatu proses perencanaan, sangat ditentukan proses politik dan kekuasaan.
Mulai tahun 2002, muncul Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 4 Tahun 2002, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pontianak Tahun 2002-2012. Rencana itu, salah satunya dengan konsep kota tepi air alias waterfront city.
Perda itu mengatur zonasi atau blok alokasi pemanfaatan ruang suatu kawasan (blok kawasan). Ada struktur pemanfaatan ruang kawasan. Sistem prasarana dan sarana kawasan. Persyaratan teknik pengembangan tata ruang wasana. Pemkot mencabut Perda Nomor 4 Tahun 2002, dengan Perda Kota Pontianak Nomor 2 Tahun 2013, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pontianak Tahun 2013-2033.
Caption: Tiga wilayah waterfront city di Sungai Kapuas, Kota Pontianak. (Istimewa)
Ketika Wali Kota Sutarmidji menjabat selama dua periode (2008-2018), jelang akhir pemerintahannya, pembangunan waterfront city mulai berjalan, 2017. Ketika itu, Edi Rusdi Kamtono menjabat sebagai Wakil Wali Kota Pontianak. Selanjutnya, Edi Rusdi Kamtono menggantikan Sutarmidji sebagai Wali Kota Pontianak, 5 September 2018.
Pembangunan kawasan waterfront city dikerjakan secara bersama antara pemerintah pusat, Pemda Kalimantan Barat dan Pemkot Pontianak.
Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Pontianak, ada program Rencana Induk Revitalisasi Kawasan Tepian Sungai Kapuas. Lokasi itu meliputi seluruh kawasan tepian Sungai Kapuas dan Sungai Landak di Kota Pontianak. Ada prioritas pengembangan pada tiga kawasan.
Pertama, kawasan Taman Alun Kapuas hingga bawah Jembatan Kapuas I. Kawasan itu dibatasi Sungai Kapuas, Jalan Rahadi Usman dan Jalan Tanjungpura. Kedua, kawasan Pasar Teratai hingga bawah Jembatan Sungai Landak. Pembatasnya, Sungai Kapuas, Jalan Gusti Situt Mahmud dan Jalan Khatulistiwa. Ketiga, kawasan segitiga mulai dari Jalan Sultan Hamid II dan Jalan Perintis Kemerdekaan. Wilayah itu dibatasi Sungai Kapuas dan Sungai Landak.
Wilayah sepanjang waterfront city terdapat rumah, ruko, tanah kosong, sarana peribadatan, dermaga pelabuhan, cafe, warung, pertokoan serta permukiman masyarakat. Tata bangunan memiliki pola tidak beraturan. Permukiman masyarakat sangat dekat dengan kawasan waterfront city. Bahkan, ada bangunan sudah masuk sempadan sungai.
Dalam konsep dan pengembangan waterfront city di Kota Pontianak, pemerintah harus bisa menciptakan adanya suatu keterkaitan tata air. Adanya suatu jaringan air yang terintegrasi, sehingga gerak air bisa diatur dan tidak menimbulkan banjir.
Pontianak dengan sebutan Kota Seribu Parit, merupakan kota yang tepat untuk mengembangkan konsep waterfront city. Apalagi ada Sungai Kapuas dan Landak sebagai saluran primer. Lalu, ada saluran-saluran parit sekunder dan tersier. Saluran dan jaringan air itu mesti terus dipelihara, supaya tak terjadi banjir di Pontianak.
Konsep waterfront city mengubah pinggiran sungai tak teratur jadi tempat wisata, taman kota, dan ruang terbuka hijau terbaru di Kota Pontianak. Ruang terbuka dan taman kota menjadi arena bagi warga untuk berolahraga, rekreasi dan wisata.
Waterfront city menyediakan tata ruang dan tata peruntukan lahan, dalam skala tata kota terpadu. Waterfront city tetap melestarikan kawasan yang memiliki bangunan sejarah, seperti masjid Jamik di lingkungan Istana Kadriah. Masjid yang menjadi ikon pembangunan Kota Pontianak ketika dibangun, tetap lestari dan menambah kecantikan landscape kota di pinggir air.
Waterfront city menumbuhkan ekonomi baru bagi warga sekitar. Mereka membuka café, warung kopi, penyewaan sepeda, dan lainnya. Namun, semua itu mesti ditata, sehingga tidak menganggu kenyamanan warga yang ingin menikmati waterfront city. Pemerintah pun harus menempatkan tong atau tempat sampah, dan jalur distribusinya, sehingga tidak ada penumpukan sampah.
Hal tak kalah penting bagi keberhasilan pembangunan waterfront city di Kota Pontianak, adanya kesadaran dan keterlibatan warga bagi pembangunan kota. Mereka yang tinggal di pinggir dan sempadan sungai, bisa diberikan pemahaman yang baik, terkait fungsi dan peran pembangunan waterfront city, sehingga tidak ada konflik terhadap ganti rugi atau penataan yang dilakukan.
Meski begitu, Pemkot Pontianak mesti lebih intens lagi bekerja sama dengan berbagai pihak, akdemisi, LSM dan lainnya, menata warga yang ingin memanfaatkan waterfront city secara ekonomis. Tujuannya, agar kawasan itu tidak kumuh dan kotor. Misalnya, para penjual yang masuk wilayah waterfront city harus ditertibkan. Sewa sepeda listrik mesti diberikan arahan terhadap jalur tersendiri, sehingga tidak menganggu pejalan kaki di waterfront city.
Waterfront city sebagai konsep adaptif pembangunan kota pesisisr dan tepi air, telah menunjukkan diri sebagai konsep yang baik bagi penataan kawasan Kota Pontianak yang terus bertumbuh. Meski begitu, pembangunan tentu saja butuh keberlanjutan. Ada kesinambungan, sehingga konsep yang baik tersebut, bisa terimplementasi atau diterapkan lebih baik lagi.***
Penulis:
Muhlis Suhaeri
CEO Insidepontianak.com
Leave a comment