Ambil Isinya, Pilih Sesuai Hati Nurani
Ambil isinya, pilih sesuai hati nurani. Begitulah kira-kira ungkapan seorang tokoh agama di Filipina. Ungkapan itu masih populer hingga sekarang. Ungkapan sarkastik dan terkesan “kurang mendidik.”
Namun, ungkapan itu bukan tanpa sebab. Di tengah karut-marut dan massifnya politik uang, rakat tidak dapat melawan. Menolak pun sulit.
Begitulah kondisi di Filipina, negeri tetangga yang menempati urutan ke 13 (22%) dunia, dalam masalah politik uang saat penyelenggaran pemilu. Burhanudin Muhtadi dalam bukunya, “Kuasa Uang; Politik Uang Dalam Pemilu Pasca-Orde Baru”, terbit 2015.
Ia menulis, Indonesia di posisi tiga dunia, sebesar 33%. Urutan satu hingga sepuluh adalah negara-negara miskin di Afrika. Seperti, Uganda (41%), Benin (37%), Kenya (32%), Liberia (28%), Swaziland (27%), Mali (26%), Nigeria (24%), Sierra Leone (23%), Republik Dominika (22%), dan Burkina Faso (22%).
Miris sekali. Tapi, demikianlah faktanya.
Jimly Asshiddiqie, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pertama, menggambarkan praktik politik uang di pileg 2014, merupakan politik paling massif sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, setelah Orde Baru, ”Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014 (Aspinall, dkk, PolGov, 2015).
Bahkan, seorang pengamat Indonesia Corruption Watch memandang, pileg 2014 sebagai pemilu paling brutal. Politisi dari Partai Golkar tak menyangkal anggapan tersebut. Perilaku politik uang lebih terbuka. Tak lagi tertutup, seperti di masa lalu. Seorang tokoh Islam juga menyebut, pileg 2014, sebagai pemilu paling kapitalis, kanibal dan korupsi.
Pembelian suara (vote buying) merupakan distribusi pembayaran uang tunai atau barang, dari kandidat kepada pemilih secara sistematis. Waktunya, beberapa hari menjelang pemilu atau pilkada. Pemberian uang disertai dengan harapan secara implisit, para penerima akan balas dengan berikan suara bagi si pemberi.
ICW menyebut, hantaman politik transaksional itu bukan hanya merusak sendi-sendi pemilu. Juga menjadi tunas terjadinya korupsi politik dalam pemerintahan (Zaenal Abidin RD, Dinamika Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah, 2022).
Ongkos Politik Tinggi
Demokrasi lokal di Indonesia, masih berhadapan dengan persoalan serius, terkait biaya politik yang sangat tinggi (hight cost politic). Politik uang dalam pilkada sangat berdampak sistemik, terhadap kualitas pemilu itu sendiri.
Pilkada di Indonesia berbiaya tinggi. Penyebabnya, ada proses pendaftaran di partai politik atau pengumpulan dukungan masyarakat (KTP) bagi calon independen, tentu saja butuh biaya. Ada pengorganisasian. Tim kampanye dengan berbagai kebutuhan, hingga biaya saksi dalam pemilihan di tempat pemungutan suara (TPS). Biaya itu biasanya ditanggung para kontraktor atau pengusaha lokal.
Biaya politik bersifat ilegal, misalnya politik uang (money politic), nilainya bisa jauh lebih besar, dari biaya legal. Biaya ilegal itu mencakup sejumlah uang yang harus disiapkan pasangan calon, untuk dapatkan rekomendasi sebagai peserta pilkada dari partai politik. Para kontestan biasanya menyebut biaya untuk partai politik sebagai “mahar politik.” Demikian juga biaya untuk mempengaruhi masa pemilih, biasa disebut “serangan fajar,” tulis Zaenal Abidin RD.
Biaya proses politik juga “tersedot”, bayar jasa lembaga survei dan konsultan politik. Jumlah biaya tak sedikit. Pasangan calon butuh jasa survei dan konsultan politik, untuk bantu petakan potensi dukungan, maupun menaikkan tingkat popularitas dan elektabilitas calon.
Belum lagi, biaya operasional pasangan calon. Jika, pihaknya atau pihak lain, gugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta. Artinya, mereka harus menyiapkan dana, bayar pengacara, serta mobilisasi orang sebagai saksi di MK.
Di Kalimantan, wilayah yang sebagian besar untuk kebun sawit dan tambang, masa pilkada dianggap sebagai masa panen bagi calon kepala daerah. Perusahaan menyodorkan izin kebun sawit atau tambang. Tak hanya izin, pilkada juga jadi alat bagi para pemilik modal di daerah atau pusat, danai para calon.
Tentu saja ada imbalannya. Masuknya dana ke para calon, bisa segera balik ke pemberi uang, bila calon terpilih. Imbal balik itu, bisa berupa izin usaha, pengerjaan proyek, memasukkan barang dan jasa, dan lainnya.
Bahkan, pada tingkat lanjut, para pemodal politik ini, tak hanya menuntut pengerjaan proyek barang dan jasa. Tapi, turut atur para pejabat yang duduk di dinas. Tujuannya, tentu saja mempermudah urusan dan bisnis. Bila hal itu terjadi, para kepala daerah pun, pada akhirnya, tersandera pemberi modal.
Yang paling dirugikan tentu saja rakyat di wilayah itu. Dana pembangunan yang semestinya bisa digunakan membangun berbagai proyek infrastruktur, jadi kurang tepat sasaran.
Hal itu, tentu saja bagian dari imbas politik uang yang terjadi. Uang yang pemilih terima, tak sepadan dengan dampak ikutan yang terjadi, terhadap masa depan pembangunan untuk warga.
Tingginya biaya politik di Indonesia, pada akhirnya, melahirkan berbagai praktik korupsi. Banyak kepala daerah harus mengembalikan modal politik dengan memainkan anggaran pembangunan.
Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2004-2024, sebanyak 167, walikota/wakil dan bupati/wakil terjerat korupsi. Tahun 2004-2024, KPK RI juga menangani sebanyak 618 kasus korupsi di pemerintahan kabupaten dan kota.
Terbaru, operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Rohidin Mersyah, Gubernur Bengkulu periode 2021-2024. Dia memalak para kepala dinas, menyediakan uang bagi pemenangan kontestasi pilkada yang diikuti. KPK menyita uang Rp 7 miliar untuk bakal kampanye.
Pranata Hukum Lemah
Sering kali keberhasilan suatu pelaksanaan pemilu atau pilkada, dihitung dari keikutsertaan warga yang mencoblos. Semakin tinggi prosentase warga dalam memilih, dianggap sebagai keberhasilan.
Padahal, tingginya tingkat mencoblos warga, ada satu faktor penentu juga. Yaitu, semakin massif politik uang dilakukan. Tingkat partisipasi warga dalam mencoblos semakin tinggi.
Sering kali kualitas penyelenggaraan pemilu, terkait transparansi dana kampanye, atau praktik politik uang, kurang terekspose dalam pelaksanaan pilkada. Lemahnya penegakan hukum terhadap berbagai macam pelanggaran pilkada, turut membuat kualitas demokrasi tidak berjalan dengan baik.
Suparnyo dan Wahyu Jatmiko Aji dalam “Money Politic Dalam Pemilihan Kepala Daerah Berbasis Pendekatan Hukum Progresif” menulis, lemahnya penegakan hukum di Indonesia, jika dipotret dan dipetakan nampak sebagai berikut:
Pertama, pembuatan peraturan perundang-undangan. Pembuat peraturan perundang-undangan tak beri perhatian cukup, apakah pembuatan aturan bisa dijalankan atau tidak, dan kerapkali isinya tidak realistis.
Kedua, masyarakat pencari kemenangan bukan keadilan. Jika berhadapan dengan proses hukum, masyarakat melakukan berbagai upaya, agar tak dikalahkan atau terhindar dari hukuman.
Ketiga, uang mewarnai penegakan hukum. Setiap lini penegakan hukum, aparat dan pendukung aparat penegak hukum, sangat rentan dan terbuka praktik korupsi atau suap.
Keempat, penegakan hukum sebagai komoditas politik. Penegakan hukum bisa diatur, didekte bahkan diintervensi oleh kekuasaan.
Kelima, penegakan hukum diskriminatif. Perlakuan dan sanksi berbeda, antara orang kaya dan orang miskin.
Keenam, lemahnya kualitas dan integritas sumber daya manusia, yakni integritas yang tinggi.
Ketujuh, advokat tahu hukum versus advokat tahu koneks. Advokat kerapkali jadi makelar perkara, dengan janjikan kemenangan pada klien. Asal bersedia bayar sejumlah uang untuk aparat penegak hukum.
Antisipasi Politik Uang
Melihat dampak pilkada yang begitu merusak demokrasi, melahirkan berbagai penyelewengan kekuasaan dan korupsi, perlu ada suatu mekanisme untuk mencegah secara dini, terkait pelaksanaan pilkada.
Harus ada pengawasan pemilu yang efektif, tulis Zaenal Abidin RD. Instrumen itu harus mampu menjamin dan promosikan transparansi, akuntabilitas, kredibilitas, dan integritas dari pelaksanaan pilkada. Pencegahan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pilkada, dipercaya sebagai instrumen penting. Serta, mampu menghadirkan jaminan atas pelaksanaan pemilu yang demokratis.
Selain itu, mesti ada sistem pengawasan bisa berjalan efektif terhadap praktik politik transaksional. Mesti ada regulasi tentang politik uang. Peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), peran masyarakat sipil, serta audit terhadap dana kampanye.
Lembaga pengawas pemilu atau Bawaslu, perlu diberikan kewenangan lebih besar. Bukan saja mengawasi setelah masa penetapan pasangan calon di KPUD, juga selama proses berburu rekomendasi partai politik.
Harus ada mekanisme penyelesaian politik hukum lebih sederhana dan tak rumit, seperti saat ini. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, sangat tidak efektif dan mustahil untuk dilakukan. Alasannya, butuh prosedur dan waktu cukup panjang, sebagaimana prosedur berperkara di Indonesia.
Paling utama juga, adanya penyelenggara pemilu dan pilkada yang berintergritas. Selama ini, penentuan seleksi penyelenggara pemilu, hanya terlihat bagus pada tahap awal. Ada pelibatan masyarakat sipil dan akademisi dalam seleksi. Tapi, pada proses penentuan, semua kembali pada kepentingan dan jalur politik.
Tak heran bila, para penyelenggara pemilu harus memiliki cantolan politik, bila ingin terpilih sebagai anggota komisioner KPU atau Bawaslu. Cantolan politik dengan sederhana bisa dilihat, mereka bakal sulit bersikap tegas, bila berhadapan dengan partai politisi yang memilihnya. Kondisi ini tentu saja melemahkan kualitas demokrasi.
Mencegah politik uang tentu saja bukan tugas penyelenggara pemilu saja. Semua punya andil besar, cegah dan meminimalisir praktik merusak tersebut. Masyarakat mesti diajak dapat pendidikan politik yang baik. Bahwa, proses politik uang sangat merusak masa depan mereka sendiri.
Rakyat harus berdaulat. Mereka harus punya kekuatan. Mengoreksi dan mengawasi proses pembangunan, demi kesejahteraan bersama. Ayo, tolak politik uang.***
Penulis: Muhlis Suhaeri, CEO Insidepontianak.com dan Plt Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Kalimantan Barat.
Leave a comment