Kampung Sawah Penjaga Tradisi Leluhur di Perbatasan Sambas
SAMBAS, insidepontianak.com - Kampung Sawah di Desa Sanatab, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, dikenal sebagai salah satu kampung yang masih memegang teguh adat istiadat leluhur Dayak Salako.
Hingga kini, berbagai tradisi turun-temurun masih dijaga dan dilaksanakan masyarakat setempat sebagai bagian dari identitas dan warisan budaya nenek moyang.
Munda’, selaku ketua adat Kampung Sawah, menjelaskan bahwa salah satu tradisi penting adalah Adat Budaya Rukun Karunia, rangkaian ritual menyambut tahun baru padi.
Upacara ini dimulai dari Nampik Banih, yang dilakukan sebelum menanam benih, dilanjutkan dengan Na’ah Uma, pesta untuk “anak padi” yang menggunakan peraga cucur, lemang, botongk (beras dalam daun minyak dimasak di buluh), serta seekor ayam.
"Ketika padi mulai berisi, warga melaksanakan Nyiang Buntingk, masih dengan peraga yang sama, sebagai simbol syukur atas padi yang mulai berbunting, " ujarnya.
Lanjut dia, puncak rangkaian ini adalah Matahant/Ngarantika, yaitu perayaan tahun baru padi yang digelar serentak satu kampung.
Pada momen itu, warga saling mengunjungi rumah tetangga sebagaimana perayaan hari besar lain, sambil menikmati sajian khas seperti lemang, cucur, botongk, dan lauk-pauk.
Tiga hari setelahnya dilaksanakan Nakatant sebagai tanda dimulainya masa memetik padi, dilanjutkan beranyi/memetik padi, hingga batang padi dicabut dalam prosesi Mabut Nek Uban.
Satu tradisi penting lain adalah Basansam atau Sansam Rame Padi yaitu masa “menutup kampung”. Selama satu hari dua malam, tak seorang pun boleh keluar masuk kampung.
"Siapa pun yang melanggar dikenai sanksi adat berupa 3 tail (tempayan, mangkuk, dan beras banyu)," katanya.
Setelah basansam, warga melaksanakan Baronak (memindahkan padi ke lumbung) dan kemudian Ngabayant, pesta lumbung atau naik dango yang biasanya meriah dengan perlombaan serta pertunjukan seni Dayak.
Selain pesta hasil panen, Kampung Sawah juga memiliki upacara untuk siklus hidup manusia
Misalnya, pesta perkawinan adat, upacara tamoe (menyuapi bayi dengan nasi dan garam), prosesi meah ketika bayi berusia tujuh hari, hingga Nampungk Tawar sebagai bayar tampas bidan.
"Ketika anak beranjak besar, anak perempuan ditindik sementara anak laki-laki disunat sesuai adat, " jelasnya.
Kampung Sawah juga memiliki tradisi penting berupa Pantak, simbol perlindungan dalam budaya Dayak.
"Ada Pantak Pantuak untuk perlindungan umum, Pantak Pabuisant untuk urusan berladang, dan di Kampung Sawah sendiri terdapat Pantak Benteng, dulunya digunakan pada masa perang tetapi kini difungsikan sebagai penjaga keselamatan kampung, " ujarnya.
Selanjutnya kata dia, adat juga dilakukan dalam situasi darurat, seperti saat terjadi kecelakaan. Masyarakat melakukan ritual Marashiant Aik Tanah yakni membersihkan air dan tanah agar kejadian serupa tidak terulang.
Ritual ini menggunakan peraga babi, cucur, dan lemang, dan termasuk dalam rangkaian Sepuluh Dua Adat Binua.
"Kampung Sawah memiliki sistem hukum adat yang sangat lengkap, dari sanksi ringan hingga berat, " ungkapnya.
Kesalahan kecil biasanya diselesaikan melalui Saepet Tapungk Tawar atau Sebungkus Beras Banyu. Sementara pelanggaran berat seperti kampangk/berzinah dikenai sanksi dua belas hingga dua puluh empat adat, melibatkan peraga berupa tempayan jaring, mangkuk, beras banyu, piring empat lusin, hingga prosesi adat seperti Natas Atap (membongkar atap tiga lembar), ngimak Gaagar (menyungkil lantai), dan bunuh babi.
"Setelah prosesi selesai, binua akan membagi adat sesuai ketentuan, " jelasnya.
Dengan rangkaian tradisi yang terus dilestarikan, Kampung Sawah menjadi salah satu benteng kuat budaya Dayak Salako yang tetap hidup di tengah arus modernisasi, sekaligus menjadi kekayaan budaya Sambas yang patut dijaga. (*)

Leave a comment