Ulmy, Guru Garis Depan Mengabdi di Pedalaman Bengkayang, Tak Peduli Jalan Ekstrem Demi Mengajar
Raut wajah Ulmy Rakhmadai tak sama sekali tampak lelah. Tutur katanya penuh semangat, motivasi dan menginspirasi. Padahal, siang itu, perempuan 35 tahun ini sedang bercerita perjuangan tak mudah melintasi jalan rusak berkilo-kilo jalan kaki, demi mengajar siswa yang hanya berjumlah 7 orang di pedalaman Bengkayang.
Ulmy karib guru itu disapa, mengajar di SDN 16 Pagoh, Desa Lombakarya, Kecamatan Ledo, Bengkayang, sejak 2017. Ia pendatang. Asalnya dari Kota Padang, Sumatera Barat.
Ia masuk ke pelosok Bengkayang mengemban tugas mencerdaskan anak-anak bangsa, lewat program Guru Garis Depan (GGD) Kemendikbud RI. Saat itu, siswa SDN 16 Pagoh hanya tujuh orang.
Awal ditugaskan mengajar di SDN 16 Pagoh, ia diberi fasilitas rumah tinggal tak jauh dari sekolah tempatnya mengajar.
Namun, tempat tinggal itu tak memiliki fasilitas penerangan listrik. Apalagi sinyal telepon seluler, jauh panggang dari api.
Saat itu, ia masih lajang. Ada rasa khawatir tinggal di pedalaman, seorang diri. Akhirnya, Camat setempat menawarkannya numpang sementara rumah warga, di Desa Benkeliu, Kecamatan Tujuhbelas.
Di rumah warga itu sudah ada listrik. Sinyal telepon pun ada, walau tak begitu sempurna. Masih lumayan lah. Minimal bisa hubungi keluarga di Padang.
Hanya saja, jarak ke tempat sekolah sangat jauh. Sekitar 8 kilometer. Sementara, ia tak punya kendaraan sepeda, apalagi sepeda motor. Boro-boro.
Alhasil, tak ada cara lain untuk pegi mengajar selain jalan kaki. Saat musim panas, jalan yang dilintasi lumayan aman. Paling berdebu dan turun naik tanjakan, karena pedalaman Bengkayang perbukitan.
Yang sengsara, bila musim hujan tiba. Jalan sepanjang 8 kilometer itu jadi licin, berlubang, dan tanah yang diinjak lengket.
Bila terpeslet, sudah pasti mandi lumpur. Bahkan lebih ekstrem, bisa terjungkal menggelinding ke jurang.
“Kalau jalan kaki (pergi mengajar) terasa capek sekali, itu mau dua jam perjalanan baru sampai ke sekolah,” kata Ulmy sambil tertawa mengenang masa-masa perjuangan.
Setelah beberapa tahun mengabdi di pedalaman, ia menikah. Suaminya, Gatot Susanto Nugroho. Ikut diboyong menemaninya tinggal di Desa Benkeliu. Kini, mereka dikarunia dua anak.
Tak terasa, Ulmy pun sudah tujuh tahun mengajar di pedalaman Bengkayang. Ia sangat menikmati profesi, walau setiap hari masih bolak-balik mengajar menempuh perjalanan 8 kilometer dengan kondisi jalan rusak.
Tapi, sekarang ia sudah tidak jalan kaki lagi. Ia sudah punya sepeda motor modifikasi suami menjadi becak motor alias bentor. Supaya tak mudah jatuh saat melintasi jalanan tanah yang licin saat musim hujan.
“Tapi, saya masih sering terpeleset, terkadang jatuh juga saat melewati jalan berlumpur,” ujarnya.
Sepeda motor itu dimodifikasi selain supaya tidak mudah jatuh, tapi juga berfungsi mempermudah membonceng kedua anaknya yang masih 4 dan 2 tahun.
Kedua anaknya itu setiap hari dibawa mengajar ke sekolah. Karena tidak ada yang menemani di rumah, sebab sang suami juga bekerja.
“Ndak mungkin kami tinggal anak-anak di rumah sendirian, jadi kami harus bawa tiap hari ke sekolah,” katanya.
Kondisi jalan yang harus dilalui Ulmy pergi mengajar menempuh perjalanan jauh dengan kondisi rusak dan eksterm, tak menyurutkan semangatnya untuk terus mengajar.
Baginya, pilihan profesi menjadi guru adalah pekerjaan mulia. Sehingga wajib dijalani dengan penuh tanggung jawab.
“Lebih kerasa tanggung jawab yang mengalahkan rasa takut saya. Apalagi melihat antusias anak-anak yang menanti kedatangan kami di sekolah, yang membuat saya termotivasi untuk tetap datang ke sekolah,” pungkasnya.***
Leave a comment