AS VS China, Siapa Menang dalam Perang Tarif?

JAKARTA, insidepontianak.com - China menjadi salah satu dari sedikit negara, jika bukan satu-satunya, yang menolak mundur dari tantangan perang dagang yang dilancarkan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Sekali Trump beraksi, sekali itu pula China bereaksi, termasuk terhadap ancaman terbaru Trump setelah China membalas dengan tarif 34 persen yang sama besar dengan tarif yang dijatuhkan AS kepada China.
24 jam setelah China membalas AS, Trump mengancam China dengan tarif tambahan 50 persen. Tapi seketika itu pula China balik mengancam, bak pepatah "ente jual, ane beli".
"Kami tak akan menoleransi segala upaya yang merugikan kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan China," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian dalam konferensi pers Selasa seperti dilaporkan Global Times.
China, menurut Lin, melihat AS tidak serius membuka negosiasi tarif. Dia berkata, "jika sungguh ingin berunding, maka AS harus menunjukkan diri siap memperlakukan orang lain dengan setara, penuh hormat, dan saling menguntungkan."
China tak melihat sikap itu dari AS. Sebaliknya, AS jistru tak mempedulikan kepentingan China dan dunia sehingga China pun akan terus membalas AS.
China, seperti disampaikan Global Times dalam editorialnya, menyebut manuver tarif AS sebagai "pemerasan".
"China tak pernah memancing keributan, pun tak terhasut oleh keributan. Tekanan dan ancaman bukan cara yang tepat kala berurusan dengan China," tulis Global Times.
Menurut corong pemerintah China itu, negaranya akan terus melawan karena menganggap alasan AS dalam menjatuhkan tarif impor tak berdasar.
China menilai alasan AS mengenakan tarif karena praktik dagang tidak adil sebagai cari-cari alasan, karena motif sebenarnya adalah proteksionisme dan pemerasan politik berkedok ekonomi.
China juga menganggap Trump melanggar nilai-nilai dasar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan hak China bernaung dalam rumah besar perdagangan global.
Tarif resiprokal Trump pun dianggap China hanya merusak sistem perdagangan dan rantai pasokan global yang nantinya menghambat pertumbuhan ekonomi dunia.
China lalu menandaskan "hambatan perdagangan tak akan pernah menghentikan globalisasi ekonomi."
Mereka yakin Trump tak bisa mencapai tujuannya mengingat AS hanya menyumbangkan 13 persen untuk impor barang global. Dengan porsi sebesar itu AS sulit membunuh globalisasi, yang ironisnya dipromosikan AS.
Optimis Jinakan Trump?
Sebelum kekalutan global ini terjadi, China sudah menyatakan siap meladeni tantangan perang dari AS, dalam bentuk apa pun.
Walau tak akan ada yang menang dalam perang dagang, sikap China yang terus meladeni manuver Trump mengindikasikan mereka yakin dapat menjinakkan petualangan Trump.
"Siapa pun yang menyerah lebih dulu akan menjadi korban," kata seorang pejabat China kepada Reuters. "Ini soal siapa yang bisa bertahan lebih lama."
China tampaknya hanya memiliki satu opsi, yakni menyengat balik Trump. Walau memiliki kemewahan dalam menggalang koalisi global, China memilih sendirian menghadapi Trump karena lebih tahan dari risiko serangan dagang AS.
Selain itu, China harus melakukan ini karena kebanyakan negara yang dijatuhi tarif oleh Trump adalah tempat-tempat di mana industri China merelokasi diri, dengan pasar utama yang umumnya juga AS.
Sebaliknya, hasrat Trump dalam menyeimbangkan perdagangan AS-China sulit dicapai mengingat keadaan kedua negara ini saling bertolak belakang; yang satu produsen utama dunia (China), sedangkan satunya lagi konsumen terbesar dunia (AS). Seharusnya perbedaan ini membuat mereka bermitra, bukan saling memerangi.
Perang dagang ini juga pertarungan "kemauan politik" untuk bertindak pasti. Di sini, China unggul karena lebih pasti, selain lebih diterima dunia. Sebaliknya, karena mengusung kepentingan nasionalnya belaka, Trump tak mendapatkan kawan sebanyak yang dimiliki China.
China dianggap lebih mempedulikan harmoni global, dibandingkan AS yang kini dianggap perusak tatanan dunia, apalagi manuver-manuver Trump juga merugikan negara-negara miskin.
Sejumlah kawasan, termasuk Kanada, Jepang, dan Uni Eropa, pun menoleh China lebih rekat, baik sebagai upaya meminimalisasi dampak terkaman tarif Trump, maupun sebagai sekutu dalam membuat dunia tetap di koridor perdagangan bebas dan globalisasi.
Semua perkembangan ini tak luput dari perhatian rakyat AS, termasuk orang-orang yang mengantarkan Trump menjadi presiden AS, di antaranya Elon Musk dan Bill Ackman.
Musk yang bos Tesla dan Ackman yang penguasa lembaga lindung nilai terkemuka dunia, adalah dua dari beberapa donatur besar Trump selama Pemilu 2024.
Musk yang memiliki jejaring bisnis di China, meminta Trump mengaji kembali kebijakan tarif, sedangkan Ackman mendesak Trump menghentikan kebijakan tarif karena berisiko menciptakan tsunami pada perekonomian AS.
Yang lainnya, seperti bos JPMorgan Chase, Jamie Dimon, khawatir tarif akan menaikkan sistem harga di AS, yang bisa fatal akibatnya terhadap inflasi, dan bahkan memicu resesi.
Sentimen Tetap Buruk
JPMorgan sendiri telah menaikkan probabilitas resesi di AS dari 40 menjadi 60 persen. Goldman Sachs mengamini hal itu dengan menaikkan probabilitas resesi di AS, dari 35 menjadi 45 persen.
Prediksi resesi itu berkorespondensi dengan kekhawatiran kalangan bisnis di AS. CEO BlackRock Larry Fink mengungkapkan bahwa kebanyakan CEO di AS menilai negaranya di ambang resesi.
Bagaimana dengan rakyat biasa AS? Jajak pendapat Reuters/Ipsos awal bulan ini menyatakan 73 persen responden AS yakin kebijakan tarif akan membuat harga barang dan jasa di AS naik dalam enam bulan depan.
Sementara dalam hubungannya dengan tarif untuk China, survei Pew Research Center mengungkapkan separuh dari responden AS menilai tarif terhadap China berdampak buruk kepada AS dan individu warga AS, khususnya akan naiknya harga dan inflasi.
Trump berkuasa karena janji menekan inflasi dan harga. Jika yang terjadi sebaliknya, Trump bisa dianggap ingkar janji dan hal ini buruk secara elektoral bagi Partai Republik.
Padahal, tahun ini beberapa daerah di AS menggelar pemilihan kepala daerah, yang dilanjutkan dengan Pemilu Sela pada November 2026 ketika rakyat AS memilih kembali seluruh anggota DPR dan sebagian anggota Senat.
Sejawat-sejawat Trump dari Partai Republik resah melihat kecenderungan ini.
Salah satu dari mereka, Senator Ted Cruz, khawatir calon-calon Republik bertumbangan pada Pemilu Sela 2026, yang dampaknya bisa menyulitkan pemerintahan Trump nantinya.
Risiko elektoral seperti itu tak ada di China, yang pemerintahan sentralistis dan sistem satu partainya membuat negara itu bisa mengambil langkah yang padu dan berkelanjutan, ketimbang Trump yang rawan terjegal secara elektoral.
Lain dari itu, manuver tarif dan tit for tat antara AS dan China terus menjadi sentimen buruk di pasar modal, padahal bursa menjadi cermin bagaimana pasar dan publik menanggapi setiap terobosan ekonomi dan kebijakan publik.
Kendati kebanyakan bursa saham dunia mengalami pembalikan positif setelah dihantam gempa finansial besar akibat prakarsa tarif Trump, sentimen di Wall Street tetap buruk.
Pada penutupan perdagangan Selasa sore waktu setempat atau Rabu pagi WIB, semua indeks Wall Street kembali terjungkal, termasuk indeks patokan Dow Jones Industrial Average yang terpangkas 320 poin menjadi 37.645 poin.
Sementara di luar bursa saham, rakyat AS yang tertekan oleh harga-harga yang makin melambung tinggi termasuk akibat tarif, bergelombang menentang Trump.
Keadaan-keadaan yang nyaris tak ditemukan di China itu bisa menjadi faktor-faktor yang membuat Trump lebih sulit memenangkan perang dagang ketimbang upaya efektif China dalam menangkis serangan tarif. (ANT)
Leave a comment