Era Perang Dagang AS-China, Indonesia Bisa Manfaatkan Peluang

2025-04-15 17:04:54
Ilustrasi perang dagang AS-China/PIXABAY

JAKARTA, insidepontianak.com - Konflik geopolitik yang memanas antara Amerika Serikat dan China bukanlah sekadar perselisihan dua raksasa dunia, tetapi sebuah gempa yang mampu menggeser fondasi tatanan perdagangan global.

Ketika Presiden AS Trump mengancam menghentikan seluruh negosiasi dengan China, Beijing merespons dengan langkah-langkah balasan, seperti pelonggaran nilai tukar RMB, yang sebenarnya tengah terjadi adalah pengujian ulang atas siapa yang memegang kekuasaan sejati dalam arsitektur ekonomi dunia.

Banyak pihak khawatir (dan wajar bila demikian), Indonesia akan terkena dampak. Tapi barangkali sudah waktunya berhenti melihat diri sebagai korban dari kekacauan global, dan mulai membaca realitas ini sebagai peluang untuk menetapkan posisi strategis baru di tengah pusaran yang terjadi.

Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), bahkan juga sudah menilai kebijakan tarif resiprokal sebesar 32 persen yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump tidak akan berimbas signifikan secara kualitatif terhadap perekonomian Indonesia.

Ekonom Bidang Asia Tenggara ADB Nguyen Ba Hung menyatakan bahwa hal tersebut karena total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat yang relatif kecil.

Karena itu, Indonesia tidak perlu panik secara berlebihan. Bangsa ini bisa belajar dari Kamboja dan Vietnam. Meski kedua negara dikenal dekat secara politik dengan China, reaksi mereka atas tekanan tarif Amerika Serikat menunjukkan satu hal penting, yakni dalam dunia perdagangan global, loyalitas bukan ditentukan oleh sejarah diplomatik, tapi oleh aritmatika keuntungan ekonomi.

Ketika tarif AS terhadap China meningkat, Kamboja dan Vietnam justru memotong tarif untuk produk Amerika. Ini bukan pengkhianatan, tapi pilihan rasional yang menunjukkan arah angin bahwa negara-negara yang berorientasi ekspor akan selalu memilih pembeli, bukan penjual.

Pembeli menyediakan sumber devisa, fondasi pertumbuhan ekonomi, dan alasan keberlangsungan industri domestik.

Bagi negara yang berorientasi ekspor, kehilangan pembeli berarti kehilangan mata pencaharian, sedangkan kehilangan penjual memang akan meningkatkan biaya rantai pasokan, tapi bukan sesuatu yang tidak bisa digantikan.

Walaupun produk China mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, tapi secara global bukanlah satu-satunya pilihan. Kamboja sepenuhnya bisa mengimpor produk yang sama dari Vietnam, India, atau bahkan negara-negara Eropa Timur. Walaupun harganya sedikit lebih mahal, operasionalnya tetap bisa berjalan dengan normal.

Tapi kehilangan pasar Amerika artinya kehilangan sumber pendapatan devisa dan fondasi utama bagi pesanan ekspor, sedangkan kelebihan kapasitas produksi China sudah menjadi konsensus global, China tidak butuh dan juga tidak mungkin membeli produk Kamboja dalam jumlah besar.

Jadi, dari sudut pandang strategi nasional dan kepentingan ekonomi yang nyata, walaupun secara politik lebih dekat dengan China, dalam menghadapi tarif dan garis hidup ekspor, Kamboja dan Vietnam tetap tanpa ragu memilih Amerika. Ini adalah respons rasional terhadap tekanan nyata berdasarkan kepentingan nasional.

Posisi Indonesia

Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia? Posisi perdagangan Indonesia dengan China dan Amerika cukup jelas.

Setiap tahun negeri ini mengimpor sejumlah besar produk dari China, yang mengakibatkan defisit perdagangan sampai tingkat tertentu. Sementara itu ekspor Indonesia ke Amerika justru terus mempertahankan surplus perdagangan.

Artinya, kehilangan akses ke pasar AS akan berdampak langsung pada keseimbangan neraca pembayaran dan stabilitas industri ekspor.

Sebaliknya, gangguan pasokan dari China memang menyulitkan, tapi bisa disubstitusi dengan importasi dari negara lain.

Tidak mudah memang, tapi tetap mungkin. Logika sederhana ini sebenarnya mengarah pada satu kesimpulan, dalam jangka panjang, pembeli memiliki kekuatan negosiasi yang lebih besar dibandingkan penjual, apalagi jika barang yang dijual adalah barang substitusi tinggi, seperti tekstil, elektronik murah, atau produk konsumen cepat pakai.

China adalah “pabrik dunia”, tapi bukan satu-satunya pemasok. Dan justru karena kelebihan kapasitas produksinya, ia tidak mampu menjadi pembeli utama bagi negara-negara, seperti Indonesia.

Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, bahkan menilai tarif resiprokal Amerika Serikat terhadap Indonesia tidak sepenuhnya negatif.

DEN melihat adanya resiprokal tarif dari Amerika ini sepenuhnya tidak negatif. Repositioning perdagangan global yang bisa menjadi peluang Indonesia untuk menarik investasi dari luar negeri, menjadikan Indonesia sebagai basis produksinya.

Itulah mengapa gejolak ini seharusnya dilihat sebagai peluang. Karena ketika dunia merombak ulang rantai pasok global dan investor mencari lokasi baru yang lebih stabil, Indonesia justru memiliki sejumlah keunggulan yang tidak bisa diabaikan.

Atribut netral secara geopolitik, biaya tenaga kerja yang kompetitif, dan peran aktif dalam berbagai kerja sama regional menjadikan Indonesia bukan hanya pelengkap, tapi kandidat utama sebagai simpul baru dalam jaringan industri dunia.

Kapital, pada akhirnya, selalu mencari tempat bertumbuh. Dan ketika ruang pertumbuhan menyempit di Tiongkok akibat tekanan eksternal dan stagnasi domestik, modal akan mencari pelabuhan baru dan Indonesia cenderung memiliki segalanya untuk menjadi tempat berlabuh.

Tanda-tanda bahwa modal global mulai menoleh ke arah Indonesia sudah terlihat jelas. Di saat pasar saham Jepang dan Hong Kong mengalami koreksi lebih dari 20 persen dalam waktu singkat, dan Korea Selatan mengalami penurunan tajam, pasar di Indonesia justru menunjukkan ketahanan yang mencolok.

Penurunan tetap terjadi, tapi tidak sedalam negara-negara besar lain. Ini bukan kebetulan. Ini adalah refleksi dari keyakinan kapital bahwa Asia Tenggara, dan negeri ini secara spesifik, adalah kawasan kunci berikutnya yang memiliki nilai investasi sistemik.

Dalam konteks ini, penurunan pasar justru menjadi pintu masuk bagi modal untuk masuk lebih dalam, menanamkan fondasi untuk pertumbuhan jangka panjang.

Tiga sektor utama

Pertanyaannya, ke mana arah investasi yang seharusnya dituju? Banyak analisis telah menyatakan bahwa tiga sektor utama, saat ini muncul sebagai bintang dalam lanskap baru ini, yakni infrastruktur, keuangan, dan energi-sumber daya mineral.

Infrastruktur adalah tulang punggung pertumbuhan domestik, didukung kebijakan jangka panjang dan aliran kas yang stabil.

Sektor keuangan, terutama bank-bank besar, akan menjadi pintu masuk utama bagi modal luar. Ketika arus modal masuk, maka bank adalah yang pertama menerima dana, mengelolanya, dan menyalurkannya.

Sementara itu, sektor energi dan sumber daya yang posisinya tidak tergantikan dalam rantai pasok global, akan menjadi sektor paling strategis, seiring dengan meningkatnya permintaan dari dua kekuatan ekonomi besar yang kini saling menjauh, China dan Amerika.

Fakta bahwa Indonesia adalah eksportir besar energi dan sumber daya mineral menjadikan posisi negara ini semakin kuat.

Saat permintaan meningkat karena masing-masing kekuatan berupaya memperkuat pertumbuhan domestiknya, negeri ini akan berada di simpul strategis distribusi.

Bahkan, ketika sektor energi terlihat fluktuatif di pasar keuangan, realitas industrinya tetap kokoh. Dan bukti paling kasat mata adalah bagaimana sektor baja di Amerika justru melonjak saat indeks pasar lainnya melemah, indikasi bahwa kebutuhan riil tetap ada dan akan terus meningkat.

Jadi, daripada terjebak dalam ketakutan akan dampak konflik China-Amerika, semua pihak seharusnya melihat lebih jernih. Ini bukan bencana, melainkan awal dari babak baru.

Dunia sedang bergeser, dan dalam setiap pergeseran besar selalu ada ruang bagi negara yang siap dan mampu membaca arah, mengambil posisi lebih dulu.

Di tengah badai global, keberanian untuk berpikir tenang, membaca logika ekonomi dengan jernih, dan bertindak rasional adalah senjata paling ampuh.

Karena pemenang sejati bukanlah mereka yang menunggu semuanya menjadi pasti, melainkan mereka yang mampu mengambil risiko berdasarkan pemahaman yang tajam dan keyakinan akan potensi masa depan. (ANT)

 

 

 

Leave a comment