Fuidy Luckman Apresiasi Rizka Putri Abner Minta Maaf, Yuk Lihat Tionghoa Singkawang di Kalimantan Barat
PONTIANAk, insidepontianak.com - Video unggahan Rizka Putri Abner tentang Kota Singkawang dan Amoi beserta Puncak di Bogor, Batam dan Cikarang sebagai pusat wisata seks bagi warga asing, memantik kemarahan warga Singkawang, termasuk tokoh Singkawang di Jakarta, Fuidy Luckman.
Warga dan tokoh masyarakat Singkawang, Fuidy Luckman minta pembuat video, Rizka Putri Abner melakukan klarifikasi dan minta maaf atas unggahan video tersebut, seperti diunggah di akun @sahabatfuidyluckman.
Akhirnya, video yang diunggah melalui akun Instagram @gerakanpis tersebut dihapus. Rizka Putri Abner minta maaf karena mengutip berita dari media massa, tanpa melakukan pengecekan lagi. Fuidy Luckman memberikan apresiasi.
Baca Juga: Tes IQ: Jenius Giliran Kamu Menjawab! Temukan 3 Perbedaan Tengkorak Berikut, Bisa Menemukannya?
Lalu, seperti apa sebenarnya kondisi orang Tionghoa di Singkawang Kalimantan Barat?
Peneliti dan akademisi kelahiran Philadelphia, Amerika Serikat, tahun 1936, Mary Somers Heidhues menulis buku berjudul “Goldiggers, Farmers and Traders in the ”Chinese Districts” of West Kalimantan. Buku itu diterjemahkan dan diterbitkan Yayasan Nabil (Nation Building), Jakarta dengan judul, “Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di ‘Distrik Tionghoa’ Kalimantan Barat”.
Tidak main-main, Mary Sommers Heindhues meneliti dan menulis buku itu selama 10 tahun.
Dalam bukunya, Mary menulis, alasan penelitian dilakukan di Kalbar, sebab orang Tionghoa di Kalbar, merupakan sebuah kelompok Tionghoa yang unik di antara minoritas Tionghoa Indonesia.
Dalam gambaran umum masyarakat Indonesia tentang orang Tionghoa, biasanya muncul dengan gambaran orang yang kaya, pengusaha dan berhasil. Mereka biasanya menguasai berbagai bidang ekonomi.
Namun, gambaran itu akan serta merta hilang, ketika kita melihat sosok dan gambaran tentang warga Tionghoa di Kalbar. Mereka menempati beragam lapangan pekerjaan. Mulai dari strata rendah hingga tinggi.
Tionghoa di Kalbar, bergerak di sektor mulai dari perdagangan kecil, pemilik toko, petani dan nelayan. Tak jarang dari komunitas ini hidupnya miskin dan sulit. Selain itu, mereka juga masih menggunakan bahasa Ibu hingga sekarang, dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Bertabur Bintang, Roberto Firmino dan Gabriel Magalhaes Absen dari Timnas Brazil Piala Dunia 2022
Orang Tionghoa Kalimantan Barat bukan penyinggah (sojourners), suatu istilah yang dipopulerkan oleh Wang Gungwu. Mereka adalah pemukim yang menetap lama. Bahkan, beberapa diantaranya telah menetap secara turun temurun sejak abad ke-18.
Namun, sejak lama orang luar 'mencap' mereka sebagai orang asing karena menggunakan bahasa Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari. hal itu berbeda dengan orang Tionghoa yang menetap di Jawa atau daerah lain, yang menggunakan bahasa Melayu atau bahasa daerah lain.
Migrasi atau perpindahan pertama orang Tionghoa di Kalbar, sulit diketahui secara pasti. Namun, sejarah keberadaan mereka, berisi kisah dan upaya berbagai masyarakat asli dan pemerintah kolonial di wilayah Kalbar, untuk menindas dan menguasai mereka. Repotnya lagi, penguasaan itu seringkali menggunakan kekerasan.
Sebelum abad ke 13, pengunjung dan pedagang dari Tiongkok sudah mendatangi pulau Borneo, untuk melakukan perdagangan. Wilayah Kalbar yang berada di laut China Selatan, juga merupakan lintasan perdagangan internasional, dari dan menuju India. Karenanya, tak heran bila banyak armada dagang yang melewati atau singgah di daerah ini.
Pada masa ini, orang Tionghoa belum banyak yang menetap. Dalam kontak perdagangan itu, barang dagangan dari Borneo yang diekspor biasanya terdiri dari hasil hutan dan laut, emas dan intan. Lalu, barang itu ditukar dengan garam, beras, dan barang kebutuhan lainnya dari Tiongkok.
Orang Tionghoa mulai menetap di wilayah Kalbar, dalam jumlah besar sekitar pertengahan abad ke 18. Migrasi orang Tionghoa menempati wilayah yang disebut Distrik Tionghoa. Daerah ini meliputi sebelah Utara Pontianak, sepanjang pesisir hingga ke Sambas dan perbatasan Sarawak. Wilayah tersebut meliputi lembah-lembah sungai yang subur.
Tak hanya di sepanjang pesisir, tapi mencakup wilayah hingga puluhan kilometer ke pedalaman. Dalam istilah administrasi saat ini, Distrik Tionghoa mencakup wilayah Kota Pontianak, sebagian Kabupaten Pontianak, dan sebagian Kabupaten Sambas. Sebagian besar yang menghuni Distrik Tionghoa merupakan orang Hakka.
Migrasi orang Tionghoa di Kalbar, dilakukan secara swakarsa dan menggunakan jaringan mereka sendiri. Mereka diorganisir oleh sesamanya. Dan, hampir semua pendatang Tionghoa adalah calon buruh. Alasannya, mereka berhutang untuk membiayai perjalanan yang dilakukan.
Awal kehidupan orang Tionghoa di Kalbar, bergerak di bidang penambangan emas. Mereka didatangkan oleh kerajaan Sambas dan Mempawah ke Kalbar, untuk menambang pusat-pusat penambangan emas di Monterado. Namun, pihak Belanda tidak setuju dengan masuknya para pekerja tambang dan menghalangi upaya itu.
Awal kehidupan orang Tionghoa menempati pemukiman yang baru dibuat dekat areal pertambangan. Pemukiman itu menghasilkan sebuah pemukiman yang disebut Distrik Tionghoa. Mereka tergabung dalam sebuah organisasi atau kongsi.
Dalam perkembangannya, muncullah para pemimpin kelompok dan organisasi yang bisa mengatasi masalah antar penambang, dengan kelompok lain, atau ancaman dari berbagai pihak.
Baca Juga: Gayung Bersambut, Ajakan Menkopolhukam Mahfud MD Ungkap Kasus Mafia Tambang Disambut KPK
Munculnya Distrik-distrik Tionghoa dan upaya meluaskan areal penambangan, membuat persaingan antar pemimpin distrik. Bahkan, sempat terjadi perang antar kongsi.
Yang terbaru adalah tekanan dari pemerintah Indonesia yang memperluas kepentingannya ke Kalbar. Yang tidak hanya bertujuan mengendalikan kegiatan politik dan ekonomi etnis Tionghoa, tetapi juga menyerang otonomi kebudayaan mereka.
Dalam upaya menundukkan minoritas Tionghoa, dilakukan juga cara-cara kekerasan yang mengakhiri sejarah Distrik Tionghoa dengan cara menggiring etnis Tionghoa keluar dari daerah-daerah perkampungan Provinsi Kalbar pada tahun 1967, tulis Mary Sommers Heindhues.
Tahun 1967, terjadi peristiwa kemanusiaan yang seakan hilang dalam sejarah Kalimantan Barat. Ketika itu, orang Tionghoa dan Dayak "dibenturkan" dalam sebuah peristiwa yang disebut sebagai Peristiwa Mangkok Merah.
Orang Tionghoa mengungsi dari berbagai pedalaman di Sambas, Bengkayang, Landak, Sanggau dan lainnya, dalam suatu peristiwa penumpasan PGRS/PARAKU.
Dalam istilah militer, operasi itu disebut operasi mengeringkan kolam. Memisahkan gerilyawan dengan penduduk. Banyak peristiwa kemanusiaan terjadi. Pengungsian sekitar 50 ribuan pengungsi, kematian, dan kemiskinan mendadak.
Sejarah Tionghoa di Kalbar, khususnya Hakka di Singkawang dan sekitarnya, merupakan sejarah panjang perjuangan anak manusia.
Sejarah yang lahir dari konflik laten yang tercipta, akibat perebutan sumber daya alam semasa pertambangan dan kongsi. Intervensi pemerintah terhadap otonomi kebudayaan Tionghoa. Juga, pengaruh dan ruang-ruang politik yang kian terbuka, dan lainnya.
Semua itu menghasilkan wajah baru warga Tionghoa Singkawang yang kian kompak, kuat dan adaptif terhadap berbagai perubahan.***
Leave a comment