Pendampingan Hukum Gratis Bagi Warga Miskin
Kepastian dan keadilan hukum merupakan sesuatu yang diinginkan semua warga negara. Kepastian hukum dijamin oleh Undang-Undang (UU). Bahkan, Konstitusi RI, UUD 45, menempatkan hukum sebagai hal paling mendasar dalam bertata negara, berbangsa dan bermasyarakat. Ia menjadi kalimat pembuka bagi sistem tata negara yang sudah kita sepakati bersama.
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.”
Negara menjamin kemerdekaan warga untuk menentukan nasib sendiri. Menjamin setiap warga negara melakukan kegiatan sesuai dengan bidang dan kemampuan yang dimiliki. Tidak melakukan pelanggaran dan bertentangan dengan hukum yang ada, sehingga berimbas pada kemerdekaan yang terampas atau di penjara.
Dalam beberapa kebudayaan lama, seperti kebudayaan Yunani, ada Dewi Themis. Ia digambarkan sebagai Dewi Keadilan. Ia mengenakan penutup mata. Tangan kanan memegang pedang. Tangan kiri memegang neraca atau timbangan.
Mata ditutup dengan selembar kain merupakan simbolisasi syarat makna. Penutup mata memberi simbol, keadilan tidak memihak kepada siapa pun. Baik itu kaum bangsawan, tentara atau paria. Hukum harus selalu adil (simbol timbangan). Ada pedang menjadi simbol penegakan hukum. Namun, pedang tidak digunakan saat awal penegakan hukum. Pedang menjadi akhir dari proses penegakan hukum.
Dewi Themis tak hanya menjadi simbol bagi keadilan. Ia juga menjadi simbol bagi kebijaksanaan. Penasehat yang baik. Termasuk, mewakili kehendak para Dewa.
Dalam mitologi masyarakat Romawi pun, Dewi Justitia muncul sebagai Dewi Keadilan. Sosok perempuan membawa neraca di tangan kiri, pedang di tangan kanan, dan mata tertutup selembar kain.
Namun, keadilan bukan sesuatu yang netral. Dia dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya, aparat penegak hukum. Karenanya, keputusan hukum terkadang tidak sesuai dengan rasa keadilan. Hal itu terjadi karena tidak singkronnya, antara aturan hukum dengan perangkat hukum yang ada.
Sering kali kita melihat, orang ‘kecil’ yang tidak paham hukum, serta tidak memiliki akses terhadap pranata peradilan, kalah ketika menghadapi masalah hukum. Walaupun, sebenarnya mereka benar dari sisi hukum.
Tak heran bila kita selalu mendengar istilah, "Hukum tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah."
Tak hanya di level bawah, hukum juga “dipermainkan” di level atas. Kita baru saja menyaksikan, keputusan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), terhadap masalah pembatasan usia calon Presiden RI. Ketua Hakim MK, Anwar Usman, meloloskan kasus uji perkara batas usia Capres/Cawapres.
Pembatasan usia dari 40 menjadi 35 tahun, bila disahkan dapat menguntungkan Gibran Rakabuming Raka sebagai Capres. Gibran adalah anak Presiden RI, Joko Widodo. Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi merupakan ipar Presiden Joko Widodo.
Walaupun, akhirnya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mencopot Hakim Ketua MK, Anwar Usman. Hakim MK Suhartoyo, diangkat menggantikan Anwar Usman.
Melihat realitas yang terjadi itulah, pendampingan hukum terhadap masyarakat miskin, menjadi hal yang patut dilakukan. Tujuannya, supaya mereka yang tak lemah dan tersandung masalah, bisa dilakukan pendampingan secara hukum.
Seperti kita ketahui, mereka yang tersandung hukum, biasanya merupakan kepala atau tulang punggung keluarga. Bila harus mendekam di penjara untuk kasus yang tidak mereka lakukan, dampaknya tentu saja berimbas pada kehidupan dan ekonomi keluarga.
Bisa dibayangkan, betapa kesulitan hidup dan masalah sosial baru bakal terus tumbuh, bila hal itu tak diselesaikan.
Ada hal yang mendasari, program “Pendampingan Hukum Bagi Warga Miskin” menjadi program pertama dan utama. Sebagai Pengacara yang memiliki lisensi dan dapat beracara, setiap waktu menyaksikan berbagai masalah dan kasus hukum. Tentu saja, hal itu turut mendasari program ini.
Apalagi sebagai warga negara yang berangkat dari akar rumput, dan telah mengalami berbagai peristiwa dalam hidup, terutama terkait dengan makna perjuangan dan pencapaian. Kerja keras saja tidak cukup untuk mendapatkan hasil. Hal itu harus diimbangi dengan pemahaman terhadap aturan atau regulasi. Sebab, kalau salah, walaupun sebenanrnya tak bermaksud melanggar, orang bisa masuk bui atau penjara.
Itulah salah satu kelemahan warga miskin. Terkadang mereka kurang paham dengan aturan atau hukum. Karena itu, pendidikan juga menjadi faktor utama agar kehidupan menjadi lebih baik. Tanpa pendidikan yang baik, mindset atau pola pikir juga tidak bisa berubah menjadi lebih baik.
Penulis:
Muhammad Mochlis, SH, MH (Ketua DPD PKS Melawi)
Leave a comment