Seteru Cantrang di Laut Kalbar: Antara Solusi dan Janji Tak Pasti [PART II]

Dalam Jurnal Berjudul ‘Regulasi Larangan Penggunaan Cantrang untuk Penangkapan Ikan Bagi Nelayan Kecil’ ditulis Dosen Fakultas Hukum Trisaksi Sri Untari Indah Artati menyebutkan, cantrang merupakan alat penangkap ikan menyerupai trawl atau pukat harimau. Tali cantrang dapat mencapai 6.000 meter dengan cakupan sapuan tali mencapai 292 hektar. Penarikan jaring menyebabkan terjadinya pengadukan dasar perairan, menimbulkan dampak signifikan terhadap ekositem bawah laut. Hasil tangkapan layak konsumsi sebesar 46-51%, sedangkan 49- 54% merupakan bycatch.
Ahli Kelautan KKP Zaki Mubarok Busro menilai, pelarangan penggunaan cantrang sebenarnya melindungi kepentingan nelayan. Terutama nelayan lokal.
Tak heran jika pada tanggal 21 April 2025 lalu, HSNI Kalbar berunjuk rasa protes ke DPRD Provinsi Kalbar soal cantrang ini. Faktanya, meskipun dilarang banyak kapal masih menggunakan alat tangkap itu, terutama kapal yang mencari ikan di laut kalbar. Bahkan dengan ada istilah Jaring Tarik Berkantong (JTB) dianggap hampir sama dengan alat cantrang.
Ketua HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Kalbar Hermili Jamani saat orasi, meminta tegas aparat tak hanya memberi sanksi adminitrarsi ringan tapi hukuman berat, terutama jika pelanggaran berulang.
“Penuhi hak nelayan, tegakan aturan. Jangan banyak kompromi, karena ini merugikan nelayan,” ujarnya.
Pilih Hukum Adat
Menurut Direktur Lembaga Kelautan dan Perikanan Indonesia (LKPI) Kalbar, Burhanudin Abdullah, sanksi tak tegas pemerintah membuat nelayan harus menanggung susahnya.
Jika pada akhirnya nelayan lebih memilih penyelesaian adat setempat, mungkin bagi mereka itu adalah cara adil dalam solusi yang dihadapi.
“Jangan salahkan mereka. Pada akhirnya masyarakatlah yang bertindak karena negara tidak tegas lagi,” ujarnya.
Selama itu aturan bersandar pada aturan pemerintah, ia menganggap tidak ada masalah. Masyarakat pun nantinya bisa menemukan jalannya ketika tidak ada rasa adil lagi.
Hukum lokal untuk mengatasi persoalan nelayan lokal dan kapal-kapal luar yang melanggar ketentuan penangkapan ikan, dibentuk komunitas atau kelompok masyarakat guna perlindungan kawasan lingkungan hingga nelayan.
Seperti di Desa Pelapis Kecamatan Kepulauan Karimata, Kayong Utara yang membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Sadar dengan tujuan untuk menjadi penengah ketika ada persoalan masyarakat, termasuk nelayan.
Ketua Pokmaswas Idris menuturkan, persoalan nelayan dan kapal luar sudah berjalan lama dan cenderung tanpa solusi. Namun, dengan adanya kelompok ini akan memudahkan nelayan berkonsultasi terkait soal kapal cantrang.
“Tidak ada Tindakan anarkis, kita tangkap itu kapal, lalu kita kenakan sanksi sesuai adat yang berlaku. Bisa sanksi adminsitarsi berupa surat pernyataan bisa juga sanksi materi sesuai jumlah adat,” katanya.
Desa Padang pun melakukan hal yang sama. Masyarakat yang mengandalkan 99% ekonominya pada laut sudah lama menerapakan aturan adat yang mengikat. Pembentukan hukum adat didasari untuk melindungi kepentingan warga di sana, yang notabenenya adalah nelayan.
Menurut tokoh adat Desa Padang, Teaku Ridwan, dasar pembentukan hukum adat ini lantaran banyak nelayan mengadukan keluhan akan keberadaan kapal kapal luar, khususnya kapal kapal tangkap yang bertonase besar yang menggunakan cantrang.
“Ini persoalan yang tidak mampu masyarakat mengatasi. Ada berapa hal lain yang perlu kita tindak lanjut, kenapa masyarakat tidak bisa mengatasi itu, maka hukum adat lahir,” ujarnya.
Sebenarnya, sejak jaman dulu sudah berlaku hukum adat tapi seiring waktu tidak digunakan lagi dan terlupakan. Namun, dengan permasalah yang kompleks sekarang ini dan tidak ada sanksi jera untuk kapal-kapal luar itu, maka hukum adat dihidupkan lagi.
“Ini sudah lama aturan adat ini, cuman orang sekarang lupa. Maka kita hidupkan lagi, biar lebih mengikat kita libatkan pemerintah, karena untuk membuat efek jera harus kuat aturan adatnya,” katanya.
Tak jauh berbeda dengan Desa Betok Jaya. Desa yang masuk dalam administrasi Kecamatan Kepulauan Karimata ini pun ingin mengikuti jejak desa tetangganya itu. Mereka pun mengajukan Peraturan Bersama Kepala Desa atau Permakades.
Permakades ini secara luas akan mengatur sega urusan desa, termasuk membuat kebijakan sendiri soal kapal cantrang yang melanggar aturan.
Pemicu pembentukan Parmakades adalah banyaknya aduan nelayan yang masuk terkait persoalan kapal cantrang yang merugikan banyak nelayan di tiga desa ini.
Dalam Parmakades akan diatur soal bagaimana memberikan sanksi kapal cantrang yang melanggar aturan tapi sebelum itu pihaknya banyak berkonsultasi dengan banyak pihak agar tak salah menerapkan aturan.
Menurut Kepala Desa Betok Jaya, Hardianto, nelayan tidak bisa lagi berbuat anarkis tapi lebih mengedepankan aturan yang ada.
“Ini bisa jadi kekuatan hukum bagi nelayan kita yang dirugikan. Kita tahu hak dan kewajiban dimananya. Jika ada aturan jelas, semacam aturan adat yang kita buat bersama ini akan membuat desa kuat,” katanya.
Seberapa efektif Permakades ini? Hardianto optimis aturan adat bersifat kelokalan ini mampu mengakomodir kepentingan nelayan, mengingat ada trauma mendalam ketika tidak ada efek jera bagi kapal luar saat melanggar wilayah Karimata.
“Kita mencari bantuan ketika pelanggaran terjadi, tapi tak ada efek jera dari mereka. Masih banyak kapal yang lalu lalang santai melanggar wilayah nelayan kami, pakai cantrang seenaknya. Dengan adanya hukum adat yang mengikat dalam bentuk aturan dan denda. Kami yakin akan ada efek jangka panjang,” ungkap mantan nelayan ini.
Ambigunya Kebijakan
Kepala Fasilitas Pelatihan Darat Bidang Teknologi Perikanan Politenik Negeri Pontianak, Sadri menuturkan, sejauh ini persoalan zona penangkapan dan penggunaan alat cantrang masih kontroversial dan menjadi persoalan utama insiden pembakaran hingga penangkapan kapal di sejumlah wilayah di Kalbar.
Ahli Nautika ini pun memastikan sejumlah kasus melibatkan kapal-kapal luar yang masuk perairan Kalbar, terutama yang sudah ditangkap maupun yang dibakar itu pakai cantrang.
Aturan Permen KP No. 18 Tahun 2021 yang berubah menjadi Permen KP No. 36 Tahun 2023 mengatur penempatan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di zona penangkapan ikan terukur dan wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia di perairan darat.
Pelarangan cantrang lebih spesifik ketika adanya surat edaran Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 72/MEN-KP/II/2016 tentang Pembatasan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Cantrang di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Indonesia (WPNRI).
Cantrang dalam penggunaanya bisa menyentuh hingga dasar perairan. Di dasar perairan tumbuh jasad renik sejenis makanan ikan yang berpotensi rusak bahkan hilang. Daya rusak terhadap ekosistem substrat tempat tumbuhnya organisme kecil sangat massif. Tak hanya itu, produktivitas dasar perairan akan sangat berkurang.
Ada sejumlah perbedaan alat tangkap cantrang dan Jaring Tarik Berkantong (JTB). Salah satunya ada pada mata jaring. Cantrang mesh size-nya kecil, sehingga menangkap semua ukuran ikan, termasuk yang belum layak tangkap (bycatch tinggi) sementara JTB bisa disesuaikan dan umumnya sedikit lebih lebar agar ikan kecil tidak masuk dalam jaring kantong.
Perbedaan itu, kata Sadri tidak besar malah cenderung ambigu sehingga akan susah dilihat jika tidak detail saat pemeriksaan kapal.
“Banyak modus penggunaan cantrang yang baru akan ketahuan bagaimana cara tekong kapal itu menurunkan jaringnya. Bisa saja izinnya JTB saat pemeriksaan, tapi saat nelayan yang tahu saat menangkap menggunakan cantrang. Ini temuan lapangan biasanya terjadi dan jadi modus,” kata dosen yang mengajar Teknologi Perikanan ini.
Itu katanya kerap ditemukan fakta di lapangan modus-modus seperti itu. Para tekong kapal besar asal luar Kalbar itu, dengan mudah bisa mengganti JTB ke mode cantrang.
“Tak sampai 30 menit, JTB bisa berubah jadi cantrang karena sekecil itu perbedaannya. Bedanya ada di jaringnya saja, kecil dan sempit untuk cantrang karena bisa menyapu semua yang ada di zona lumpur tempat hidup cumi dan udang,” terangnya.
Masalahnya kata dia, apakah ketika pengawasan kapal dilakukan, petugas bisa telaten dan detail dalam menangkap sejumlah modus itu.
“Iya izinnya JTB, tapi prakteknya itu cantrang. Kebanyak kapal cumi yang menggunakan itu, dan biasanya masuk area nelayan yang juga mencari cumi,” ujarnya.
Pengawasan ‘ala-ala’ Pemerintah
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalbar mengakui banyak kelemahan untuk melakukan pengawasan bersama, mengingat luasan perairan Kalbar hingga mencapai 2.004.000 hektar.
Namun, ia memastikan penindakan tegas dilakukan. Jika terjadi melakukan pelanggaran, terutama persoalan kapal luar yang melanggar zona tangkap hingga penggunaan cantrang akan ada sanksinya.
Tercatat, sepanjang tahun 2023 hingga 2024 pelanggaran perairan Kalbar masih didominasi kapal-kapal local di bawah 10 GT. Umumnya, pelanggaran yang terjadi adalah soal adminsitrasi, di mana nelayan tidak melengkapi surat-surat yang diperlukan.
Menurut Kepala DKP Kalbar, Fran Zeno, nelayan wajib diberi perlindungan dan rasa aman ketika melakukan aktivitas melaut.
Fakta lapangan mencatat, konflik yang biasanya terjadi kebanyakan melibatkan kapal cumi luar pulau bertonase industri. Kapal cumi besar memang kerap berperkara dengan nelayan lokal karena mereka terang-terangan melanggar zona dan alat tangkapnya.
“Mereka, terutama kapal cumi memang banyak yang bermasalah. Karena, incaran mereka kan cumi dan ikan karang, jadi terkadang ada yang enak 12 mil zonanya,” katanya.
DKP kata Zeno tetap melakukan protap dan prosedur pengawasan hingga penindakan sesuai kapasitas dan area tugasnya.
Untuk menguatkan hal itu, DKP berencana mengajukan Raperda Pengelolaan Laut. Salah satu pasalnya akan menguatkan kebijakan soal perlindungan nelayan, terutama dari dominasi kapal luar Kalbar yang banyak melanggar aturan.
“Ini baru wacana tapi akan sangat membantu nelayan dan pengelolaan secara kongkret seperti apa,” ucapnya.
Tak jauh berbeda diungkapkan PSDKP Pontianak yang katanya sudah maksimal melakukan pengawasan laut, meski faktanya banyak kapal luar Kalbar yang kerap masuk dan menimbulkan perkara dengan nelayan setempat.
PSDKP pun masih menggunakan metode lama dengan sosialisasi dan edukasi akan pelarangan cantrang kepada nelayan.
“Sebenarnya, nelayan dan pemilik kapal tahu Lokasi atau zona tangkap mereka, dan alat tangkap apa yang dibolehkan. Soal cantrang masih menjadi pekerjaan rumah kita, tapi edukasi terus kita lakukan,” kata Kepala PSDKP Pontianak, Bayu Yuniarto.
Dengan luas laut Kalbar yang besar, kordinasi dan Kerjasama soal pengawasan tak bisa dilakukan sendiri. Belum lagi, adanya aturan adat nelayan Kalbar yang juga mendorong penegakan hukum bisa menyeluruh.
“Pengawasan laut kita libatkan banyak pihak, termasuk masyarakat dan nelayan juga,” katanya.
Butuh Solusi Bukan Janji
Banyak nelayan yang kecewa dengan penerapan sanksi administrasi dari pemerintah terhadap pelanggar aturan perikanan. Sanksi adminsitrasi dianggap terlalu ringan dan mudah untuk ‘masuk angin’.
HNSI mencatat, dengan masih banyaknya kapal laut luar Kalbar masuk zona ilegal tangkap belum lagi menggunakan cantrang membuat tingkat kepercayaan publik kepada lembaga negara berkurang drastis.
“Bagaimana mau percaya jika pelanggaran seperti cantrang dan zona tangkap cuman sanksi yang kita tahu rentan gembos. Kita bukannya curiga tapi itu banyak kita alami di lapangan. Gimana mau percaya, di lapangan masih banyak kapal luar Kalbar tanpa pengawasan dan bebas saja melaut di wilayah kami,” kata HNSI Kubu Raya, Busrah Abdullah.
Bagaimana tanggapan DPRD Provinsi Kalbar soal ini? Nah menurut wakil rakyat Kalbar, Syarif Amin Muhammad, persoalan kapal cantrang terutama kapal cumi sudah lama dan belum pernah menemukan titik ‘damai’.
Perseteruan ini membuat rugi nelayan, terutama yang hanya mengandalkan kapal kecil untuk melaut.
Amin menilai, wajar jika nelayan Kalbar merasa tidak sefrekuensi dengan kapal cantrang asal Jawa ini. Mereka tak hanya menimbulkan kerugian tapi dengan kapasitas besar mereka menjadikan persaingan di laut tak imbang.
“Saya paham psikologis nelayan karena persaingan yang tidak imbang. Sebenarnya, asal kapal cumi ini tidak melanggar aturan dengan zona tangkap dan alat tangkapnya, tak masalah. Namun, faktanya selama ini mereka bahkan beroperasi di bawah 12 mil untuk mendapatkan ikan, terutama cumi,” terangnya.
Menurut Amin, dalam aturan pemerintah jelas tertulis apa yang boleh dan tidak dan boleh dilakukan. Belum lagi, setiap daerah punya aturan ‘lokal’nya sendiri yang harus dihormati.
“Ibarat masuk rumah orang lain, harus tunduk donk aturan local di sana. Jika mereka ingin menangkap ikan silahkan saja asalkan sesuai aturan,” ujarnya.
Hingga saat ini DKP atau dinas terkit belum memberikan solusi atau jalan tengah akan persoalan ini.
“Mereka butuh solusi, bukan janji. Kita pastinya akan mengawal setiap kebijakan dan meminta nelayan Kalbar kita diprioritaskan,” pinta Amir.
Sama juga diungkap Anggota DPRD Kalbar lainnya, Roby Nazaruddin. ia meminta ada pengawasan terbuka yang bisa bergerak cepat ketika ada pelanggaran.
“Bangun mekanisme pelaporan cepat, seperti hotline, grup WA resmi, posko pengaduan,” ucapnya.
Tak hanya itu, dialog rutin juga harus dilakukan DKP, PSDKP, Polair dan kelompok nelayan. Nelayan lokal perlu didengar dan diproses jika melapor sehingga tak harus bertindak sendiri.
Edukasi katanya sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada nelayan, di samping pemberdayaan ekonomi nelayan yang harus dikuatkan.
“Kita tahu urusan ekonomi tak bisa diganggu gugat. Jika ekenomi stabil, tak akan ada masalah. Maka, pemerintah harus memperkuat nelayan kita dengan program hingga bantuan. Perbaikan sarana pelabuhan dan cold storage itu juga persoalan lama dan belum selesai,” paparnya.
Hingga saat ini, perjuangan nelayan pun masih terus dilakukan. Pada akhirnya, nelayan hanya bisa berjuang untuk mencari solusi, baik sendiri atau masih mengandalkan pemerintah.
Dari data PSDKP Pontianak 2022-2024, ditemukan kapal besar luar Kalbar yang kedapatan menggunakan cantrang dan JTB yang dianggap sama dengan cantrang. Dari data itu bisa dilihat, solusi petinggi negeri belum sepenuhnya berhasil diterapkan.
Sanksi administrasi yang diumbar menjadi duri dalam daging nelayan lokal karena dianggap terlalu ringan, tak menimbulkan efek jera. Dianggap tak mewakili keberlangsungan para nelayan lokal.
Solusi menyelesaikan tuntas dan tegas, masih jadi janji manis pengambil kebijakan. Pengamanan wilayah laut yang diamanahkan di pundak DKP, PSDKP, TNI AL hingga Polair Polda jadi pekerjaan rumah para lembaga ini untuk membuktikan janji dan solusi efektif keamanan laut Kalbar.
Nelayan Kalbar masih menunggu sejauh mana ketegasan pemerintah menuntaskan persoalan ini. Dibutuhkan sanksi mengikat tanpa kompromi. Tujuannya satu, tak ada lagi pelanggaran, tidak ada lagi bentrok nelayan. Paling penting, kesejahteraan mereka terjamin. Terjamin negara dan laut mereka. (*)
Oleh: Wati Susilawati
Leave a comment