Menanti Tenggelamnya Kuala Karang: Atlantis Kecil di Kalimantan Barat, Terancam Terhapus dari Peta
KUBU RAYA, insidepontianak.com - Sebuah desa yang jauh di pesisir bagian barat Kabupaten Kubu Raya, kini terancam menghilang dari peta. Layaknya, Atlantis. Desa itu mungkin akan dijuluki Atlantis-nya Kalimantan Barat. Abrasi dan banjir rob terus-menerus, tidak mustahil dalam dekade ke depan, desa ini tenggelam ke dasar laut.
Bagaimana tidak? Dalam lima tahun terakhir, kurang lebih satu kilometer daratan sudah tergerus air laut. Desa itu bernama Desa Kuala Karang, Kecamatan Teluk Pakedai. Luasnya 2 ribu hektare dengan jumlah penduduk 485 Kartu Keluarga (KK) tahun 2025. Rata-rata bekerja nelayan dan petani.
Cuaca ekstrem dan gelombang tinggi pada musim barat (November–Maret) dianggap penyebab utama abrasi dan banjir rob di sepanjang pantai barat Kubu Raya itu.
"Setiap tahun, daratan desa ini surut rata-rata 20 hingga 25 meter," kata Kepala Desa Kuala Karang, Edi Sudianto atau akrab disapa Atie.
Pada tahun 2021, satu Rukun Tetangga (RT) di desa itu benar-benar hilang disapu abrasi. Terpaksa, RT bernomor 07 itu direlokasi ke tempat yang aman.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD Kubu Raya mencatat, lebih 125 rumah warga hancur, karena abrasi dan banjir rob sejak 2019 hingga 2025. Jalan, pos kesehatan, dan tambatan perahu ikut lenyap.
“Pos bidan yang dulu tempat orang melahirkan, sudah kena air. Sekarang cuma sisa puing,” tutur Atie.
Kini, yang bertahap hanya SD Negeri 12 Kuala Karang, posisinya paling dekat dengan laut. Ancaman itu nyata kian masif jika tidak ada tindakan serius tanpa birokrasi sulit.
Hutan Mangrove Tak Mampu Jadi Benteng
Kuala Karang sejatinya dilindungi hutan mangrove yang menjadi benteng alami bagi desa. Namun, perubahan iklim global membuat laut tak lagi bisa ditebak.
Permukaan air naik, gelombang semakin tinggi, dan angin barat di penghujung tahun membawa ombak yang menggila.
“Dulu banyak mangrove, sekarang habis. Bukan ditebang, tapi hilang digerus air,” ujar Atie.
Upaya penanaman kembali sudah dilakukan. Tapi sia-sia. Begitu tanam begitu juga tersapu ombak. “Baru seminggu tanam, langsung hilang disapu ombak,” tambahnya.
Manajer Kelembagaan SAMPAN Kalimantan, Muhammad Aziz Fikri juga membenarkan hal itu, ia mengungkapkan, bahwa sebagian besar warga Desa Kuala Karang hidup dari laut.
Mereka nelayan, pencari kepiting, udang, dan kepah di sekitar kawasan mangrove. Bagi mereka, hutan bakau bukan hanya pelindung, tapi juga sumber kehidupan.
Namun, tanpa perlindungan fisik di garis pantai, setiap upaya rehabilitasi selalu kandas.
“Sudah beberapa kali masyarakat tanam mangrove di bibir pantai. Tapi, karena tak ada pelindung seperti barau (penahan ombak), ombak besar datang, bibitnya tercabut semua,” kata Aziz.
Aziz memastikan, bahwa berkurangnya habitat mangrove di Desa Kuala Karang, bukan karena penebangan.
Masyarakat di sana justru menjaga mangrove. Sebab, masyarakat tahu, kalau mangrove hilang, kampung mereka pun hilang.
Tim SAMPAN Kalimantan bersama Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Rimba Kuala bahkan sudah mencoba berbagai metode. Mulai menanam di dalam bambu, membuat rumpun pelindung, hingga menanam di musim ombak rendah. Tapi hasilnya nihil.
Ia menjelaskan, penanaman akan berhasil jika ada struktur penahan ombak yang kuat. Selanjutnya, di belakang penahan ombak ditanam mangrove.
"Itu satu-satunya cara agar akar mangrove bisa hidup minimal dua tahun,” tegas Aziz.
Proyek Penahan Ombak Terhenti
Di tengah kegelisahan warga. Pemerintah sebenarnya telah membangun penahan ombak sepanjang 220 meter melalui Balai Wilayah Sungai Kalimantan (BWSK) I pada tahun 2023-2024.
Namun, proyek senilai lebih dari Rp20 miliar dari APBN itu, tak kunjung selesai. Alasannya force majeure (keadaan tak terduga). Progresnya terhenti diangka 93 persen.
"Kapal pengangkut material proyek terdampar akibat cuaca ekstrem di muara Sungai Kuala Karang,” kata Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Kubu Raya, Syarif Usmardan.
BPBD Kubu Raya, kini mengajukan proposal Rp58 miliar ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB untuk membangun turap dan menanam mangrove di sepanjang 20 kilometer pantai.
“Tapi kalau menunggu anggaran cair, laut enggak mau menunggu,” ujarnya.
Karena itu, ia berharap, proyek pemerintah pusat itu dapat dilanjutkan. Sebab, sepanjang pantai Kuala Karang hingga dua kilometer ke arah utara masih sangat rawan abrasi.
“Kita butuh keberlanjutan proyek itu, karena menyangkut keselamatan warga,” tegas Usmardan.
Sementara itu, tahun 2024 menjadi titik terang baru bagi masyarakat Kuala Karang. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK menerbitkan SK Nomor 8463 Tahun 2024.
Yakni, memberikan hak kelola hutan desa seluas 1.504 hektare kepada LPHD Rimba Kuala. Kawasan itu berada di hutan lindung Desa Kuala Karang.
Ini adalah peluang besar. Masyarakat punya legitimasi untuk mengelola hutan desanya secara resmi.
“Tapi tentu saja, tanpa dukungan infrastruktur dan perhatian pemerintah, abrasi bisa tetap menghapus semuanya,” ujar Aziz.
Jadi Zona Kritis
Kondisi Desa Kuala Karang daratannya perlahan terhapuskan. Desa itu sudah masuk dalam kondisi darurat dan zona kritis.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup atau DLH Kubu Raya, Dedy Hidayat mengatakan, abrasi di wilayah pesisir, termasuk Desa Kuala Karang merupakan dampak panjang dari rusaknya ekosistem alam.
Penanaman vegetasi pesisir dan restorasi lahan dianggap akan menjadi program pemulihan ekologi yang menyentuh akar masalah.
“Kita akan tanam pohon endemik seperti api-api, jambu-jambuan, dan mahang," ujarnya.
Jenis tumbuhan itu, menurut Dedy, bisa memperkuat struktur tanah dan menahan ombak. Namun, penanganan ini baru akan berjalan dalam jangka panjang.
Sebab, perlu adanya koordinasi antara DLH Kubu Raya, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kalbar agar program penanaman bisa berjalan terpadu.
“Ini tidak bisa diselesaikan satu dinas. Harus kolektif,” tegas Dedy.
Sementara itu, Kepala UPT KPH Kubu Raya, Ya’ Suharnoto mengatakan, dalam upaya menangani wilayah zona kritis. Pihaknya kini fokus pada restorasi mangrove yang dinilai paling efektif menahan abrasi.
"Kami fokus pada restorasi mangrove dan rehabilitasi lahan gambut di kawasan ini,” kata Ya'.
Tahun ini, KPH Kubu Raya telah memberikan hak kelola hutan desa sebagai bagian dari upaya memperkuat peran masyarakat dalam menjaga ekosistem pesisir.
Di samping itu, Ya' mengungkapkan, bahwa KPH Kubu Raya saat ini tengah berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove) untuk melakukan kajian ekologi di wilayah bentang pesisir hingga 10 November mendatang.
“Kami sudah bekerja sama dengan LPP Mangrove untuk mengkaji model restorasi bentang pesisir,” ungkapnya.
Kajian tersebut akan menjadi dasar dalam menentukan pola tanam dan strategi restorasi yang efektif.
“Kami berharap Kuala Karang bisa mendapat solusi alternatif yang tepat dalam menekan abrasi," ungkapnya.
"Setelah kajian bentang pesisir selesai, langkah konkret penanaman mangrove akan segera dijalankan,” tambahnya.
Langkah-langkah ini, kata Ya' menandai sinergi antara pemerintah daerah, provinsi, hingga lembaga penelitian untuk menghadapi ancaman abrasi yang kian parah di wilayah pesisir Kubu Raya.
Regulasi Lemah Ala Pemerintah
Abrasi di pesisir Desa Kuala Karang memang terus meluas. Dalam setahun, garis pantainya bisa mundur hingga 20 meter. Bukan hanya karena gelombang laut yang kian intens, tapi juga lemahnya pola penanganan dari pemerintah.
Pengamat lingkungan kelautan sekaligus Dosen Ilmu Kelautan Universitas Tanjungpura (Untan), Arie Antasari, menilai solusi mengatasi abrasi sebenarnya sudah ada tapi pelaksanaannya sering terlambat.
“Masalah utama bukan di teknis, tapi di timing (waktu yang tepat)," kata Arie.
Ia menyindir, proses penanaman mangrove oleh pemerintah yang selalu dilakukan akhir tahun. Alasannya, menunggu anggaran turun.
"Padahal waktu terbaik menanam itu Maret, setelah gelombang besar selesai,” ujarnya.
Menurut Arie, pemerintah perlu meninggalkan pola birokratis yang kaku. Ia menyarankan, sistem ‘tanam dulu, bayar belakangan’, agar masyarakat bisa menanam lebih awal tanpa terjebak siklus anggaran.
“Misalnya masyarakat menanam Maret, lalu dibayar Oktober. Jangan sampai kita terus terjebak siklus anggaran, sementara alam punya siklusnya sendiri,” sarannya.
Selain itu, Arie mendorong penggunaan jaring sabut kelapa atau peredam gelombang alami dari bahan lokal untuk menahan sedimen pantai sambil menunggu vegetasi tumbuh.
“Kalau mau cepat, pasang jaring sabut kelapa di dasar pantai. Itu menahan tanah supaya tidak terbawa gelombang. Dua langkah ini bisa jalan bersamaan,” jelasnya.
Sementara itu, untuk jangka panjang, ia menyebut reklamasi pantai bisa jadi opsi dengan syarat menjaga keseimbangan ekologi dan melibatkan masyarakat lokal.
“Pemerintah perlu berpikir adaptif. Kalau hanya menunggu proyek akhir tahun, abrasi akan terus makan daratan,” tegasnya.
Sekolah Jadi Penjaga Terakhir Daratan
Desiran ombak di Kuala Karang kian terdengar seperti ancaman yang berulang. Air asin mulai merangkak naik ke pemukiman, menyapu sisa rumah yang tinggal pondasi.
Di kejauhan, SD Negeri 12 Kuala Karang berdiri sendiri, seperti penjaga terakhir daratan yang sebentar lagi habis.
“Dulu lautnya jauh,” ucap Atie.
Ia mengungkapkan, sekarang dari SD Negeri 12 ke air laut, jaraknya tinggal 200 meter. Dan kalau ombak besar, sudah sampai halaman.
“Kalau begini terus, mungkin tahun depan sekolah itu sudah jadi laut,” khawatirnya.
Abrasi di Kuala Karang bukan lagi bencana musiman, tapi proses penghapusan perlahan.
Padahal, sebagian besar warga Kuala Karang hidup dari laut. Bertahan hidup dengan mencari ikan, tapi kini laut yang sama menjadi lawan yang tak bisa mereka kalahkan.
Senada dengan itu, dilansir dari kolom komentar Tik Tok @insidepontinakcom, @innayah992 bercerita tentang desa kelahirannya itu. Di mana, kondisi saat itu sangat jauh berbeda saat ia menetap di sana.
"Dulu jauh dari pesisiran, sekarang udah abes sekolahan disapunye, rumah sepupu saye jak abes tenggelam," katanya.
Menurutnya, kondisi itu dikarenakan populasi hutan mangrove yang semakin menipis, akibat digerus ombak setiap tahunnya.
"Dulu sih lebat mangrovenya, karena makin lama makin lama mangrove pun abes disapu ombak," ujarnya.
"Kalau dak salah tahun 2017 udah dibabat ombak," timpalnya.
Di tepi pantai yang terus terkikis itu, SD Negeri 12 Kuala Karang kini seperti hidup di ujung waktu. Tiga ruang kelas sudah ambruk disapu abrasi, dua lainnya berdiri miring dengan fondasi retak.
Ketika air pasang besar datang, meja dan kursi diangkat ke atas meja agar tak hanyut.
“Kalau air masuk, anak-anak kami liburkan. Kadang belajar daring (online), kadang enggak belajar sama sekali,” kata Kepala SDN 12 Kuala Karang, Almuzanni.
Sekolah yang menampung 148 siswa itu, kini hanya memiliki dua ruang kelas yang masih bisa digunakan.
“Kalau gelombang besar datang, dinding bergetar. Kami enggak bisa apa-apa selain berdoa,” ujarnya.
Ia mengenang, dulu ada rumah dinas kepala sekolah, tapi sekarang sudah hanyut. Tiangnya tinggal seperti tulang karang yang dikupas laut.
“Kalau lima tahun lagi enggak direlokasi, sekolah ini enggak akan ada lagi,” ucapnya.
Relokasi Sekolah di Tengah Pemangkasan Anggaran
Pemangkasan anggaran dana transfer ke daerah (TKD) Kabupaten Kubu Raya 2026 senilai Rp334 miliar, mengakibatkan anggaran Dinas Pendidikan Kubu Raya dipangkas Rp71 miliar.
Namun, Disdik Kubu Raya memastikan, SDN 12 Kuala Karang akan direlokasi pada 2026. Lahan baru bahkan sudah disiapkan dari hibah warga.
“Pemangkasan sampai 85 persen,” kata Plt. Kadisdik Kubu Raya, Sy. Muhammad Firdaus.
Kendati demikian, pihaknya tetap berkomitmen mendorong relokasi SDN 12 Kuala Karang. Dan sudah berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan untuk meminta dukungan pembiayaan pembangunan sekolah baru.
“Kami sudah ajukan ke Kementerian Pendidikan. Ini bukan sekadar proyek, ini soal keselamatan anak-anak,” tegasnya.
Ia berharap, tahun 2026 bisa mulai direalisasikan, meskipun secara bertahap. Dan keterbatasan anggaran bukan alasan untuk berhenti.
“Dengan segala keterbatasan, kita tetap berbuat semaksimal mungkin," yakinnya.
Berdasarkan data dari BPBD Kubu Raya, pemerintah daerah kini tengah menyiapkan relokasi SDN 12 Kuala Karang ke lahan yang lebih aman.
Rencana pembangunan meliputi 6 ruang kelas baru (RKB), 1 ruang kantor, dan 3 unit WC, dengan nilai anggaran sekitar Rp4,5 miliar.
Suara DPRD untuk Selamatkan Kuala Karang
Dari gedung DPRD Kubu Raya, desakan datang. Wakil Ketua DPRD Kubu Raya, Jainal Abidin mengatakan, abrasi di Desa Kuala Karang sudah masuk fase darurat.
“Kalau terus dibiarkan, bukan cuma sekolah yang hilang, tapi kampung pun bisa lenyap dari peta,” ujarnya tegas.
Menurutnya, ini bukan persoalan baru. Sudah bertahun-tahun warga teriak, tapi belum juga ada solusi nyata dari pemerintah pusat.
Jainal menegaskan, bahwa DPRD Kubu Raya sudah berulang kali mendorong agar wilayah pesisir Kuala Karang dijadikan prioritas nasional.
Namun, hingga kini, belum bisa terealiasi. Alasannya, membutuhkan anggaran yang sangat besar.
“Sudah sejak 2020 rencana pembangunan tanggul penahanan abrasi pernah kita sampaikan,” ungkapnya.
Ia menilai, Pemkab Kubu Raya tak mungkin menghadapi masalah sebesar ini sendirian. Sebab, pembangunan turap atau tanggul penahan gelombang membutuhkan biaya besar dan diperlukan dana APBN.
"APBD daerah jelas tak sanggup menutupinya," tegasnya.
“Pemerintah pusat harus turun tangan. Dana APBN harus dikucurkan. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak kita inginkan,” tambahnya.
Tak hanya itu, Jainal menyoroti aspek ekologis yang perlu menjadi perhatian . Di antaranya, penanaman pohon mangrove bisa menjadi langkah jangka panjang, tapi pelaksanaannya perlu waktu yang lama.
“Kalau untuk tanam pohon bisa gotong royong. Tapi untuk tanggul, itu harus APBN. Pemerintah pusat tak boleh lepas tangan,” tegasnya.
Selain itu, kata Jainal, pemerintah daerah harus mendata kawasan-kawasan di tepi pulau yang memang ada pemukiman warga.
Sebab, tanpa data akan sulit mengantisipasi terjadi gelombang pasang yang menakibatkan abrasi pantai .
“Kita belum tahu berapa banyak pulau kecil di Kubu Raya yang mengkhawatitkan,” tutur Jainal.
Menanti Gebrakan Ekologi Bupati Kubu Raya
Di tengah terancamnya Desa Kuala Karang menjadi Atlantis-nya Kalbar. Uluran tangan dari Bupati Kubu Raya, Sujiwo sangat dinanti, karena ia dianggap responsif menangani keluhan warga.
Sebelumnya, ia menyebut antensi Pemkab Kubu Raya untuk segera merelokasi sekolah dan rumah yang berada di titik rawan bencana ke tempat yang lebih aman.
Kebijakan itu diambil di tengah kesibukannya menata ibu kota Kubu Raya. Dan membuka ruang publik di mana-mana, di antaranya Dermaga Rasau Jaya, Tugu Pesawat, Tugu Alianyang dan lainnya.
Namun, kebijakan ekologi dari orang nomor satu di Kubu Raya itu masih belum terlihat signifikan.
Padahal, Sujiwo sendiri dikenal sebagai sosok yang sangat peduli dengan lingkungan. Di mana, ia sering mengajak dan mengadakan penanaman pohon bersama masyarakat.
Langkah relokasi mungkin tepat. Tapi alam juga perlu diperhatikan. Jangan sampai Kubu Raya kehilangan salah satu wilayahnya.
Sujiwo hanya menilai, abrasi yang melanda wilayah pesisir akibat, ketidakseimbangan antara manusia dan lingkungan.
Dan mengingatkan, pentingnya menjaga ekosistem, terutama mangrove sebagai benteng alami yang menahan laju gelombang laut.
“Ketika kita tidak memelihara alam, alam juga tidak akan bersahabat dengan kita,” katanya.
Ajakan menanam dan menjaga mangrove memang mengema dari ucapannya. Karena, ia tahu habitat mangrove di Desa Kuala Karang mulai jarang terlihat.
“Kalau pun sudah habis, lakukan penanaman. Pemerintah siap membantu bibit dan arahan," tambahnya.
Sementara itu, SAMPAN Kalimantan mendorong pemerintah untuk tak hanya fokus pada penanaman mangrove.
Tetapi juga, memperkuat struktur pantai dengan pembangunan penahan ombak seperti yang telah diterapkan di Kabupaten Mempawah.
Hal itu penting, sebab jika mau berhasil, harus ada penahan ombak yang kuat. Setelah itu baru tanam mangrove di belakangnya.
“Kalau langsung tanam tanpa pelindung, ya habis juga,” tegas Aziz.
Bupati Kubu Raya, Sujiwo pun memerintahkan aksi nyata dari dinas terkait. Persoalan abrasi di Desa Kuala Karang adalah persoalan serius.
“Dinas terkait harus gerak cepat merealisasikan pembangunan barau itu, jangan lagi ditunda,” pungkasnya.
Keberlanjutan pembangunan penahan ombak menjadi salah satu upaya yang harus didorong. Penanaman pohon tak hanya sebagai agenda ceremony, namun benar-benar mencegah lahirnya Atlantis-nya Kalbar.
Ini bukan persoalan sepela, tapi ini persoalan serius yang bisa menghilangkan satu generasi, satu kehidupan di Desa Kuala Karang. Pemerintah harus bisa lebih berani dalam membuat kebijakan dan mendorong semua pihak untuk terlibat dalam proyek abrasi ini. Jika tidak, dalam hitungan dekade, desa nelayan itu akan hilang ditelan ganasnya laut. (*)

Leave a comment