Kanal Sawit Membelah Gambut, Banjir Teror Teluk Bakung
KUBU RAYA, insidepontianak.com – Natalius dan istrinya, mulai berkemas-kemas. Barang-barang penting diangkat ke loteng sejak pekan kemarin. Ia cemas banjir datang lagi. Sebab, curah hujan nyaris tiada henti seminggu ini.
Rumah Natalius berada di Dusun Gunung Loncek, Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kubu Raya. Jejak banjir awal tahun masih membekas di dinding rumahnya.
Garis kuning samar setinggi setengah meter belum hilang. Kini, bencana musiman itu sudah mengancam lagi. Trauma banjir tak pernah hilang dari kepalanya.
“Dalam setahun, banjir di kampung kami bisa dua kali. Kalau hujan seperti sekarang, kami sudah was-was,” ujarnya kepada Insidepontianak.com pekan kemarin.
Kekhawatiran Natalius beralasan. Data BPBD Kubu Raya menunjukkan banjir di Teluk Bakung tak lagi bergerak datar. Trennya naik. Pada Oktober 2024, banjir di desa itu hanya berdampak pada 29 kepala keluarga, dengan genangan air 30–70 sentimeter. Skalanya kecil dan terpusat di beberapa titik pemukiman.
Namun, awal 2025, sekitar April–Mei, banjir kian parah. Sebanyak 321 kepala keluarga terdampak. Hujan semalam suntuk memicu sungai meluap. Air naik hingga 1,5 meter di pemukiman warga. Rumah-rumah terendam. Tiga dusun paling parah: Lintang Batang, Reet, dan Teluk Lais.
“Banjir awal tahun kemarin paling tinggi. Kami sempat terisolir,” kenang Natalius, yang juga Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Teluk Bakung.
Kini, 2025 memasuki penghujung tahun. Curah hujan meningkat. Berpotensi menyebabkan banjir. BMKG Supadio telah mengeluarkan peringatan cuaca untuk dua hari ke depan: Kubu Raya berpotensi diguyur hujan sedang hingga lebat disertai angin kencang.
Desa Teluk Bakung sendiri dihuni 1.387 kepala keluarga, dengan luas wilayah 54 ribu hektare. Letaknya berada dalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Kapuas–Sungai Ambawang.
SAMPAN Kalimantan mencatat, dari 5.565 hektare hutan desa, 313 hektare telah berubah menjadi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan dikuasai empat perusahaan. Warga pun hidup berdampingan dengan kebun sawit. Dampak lingkungannya semakin terasa.
Kanal Membelah Gambut
Menurut Natalius, banjir yang sering mengepung kampungnya bukan semata akibat sungai tersumbat gulma atau sampah alam. Aktivitas perusahaan ikut memperburuk keadaan.
Kanal-kanal besar dibuat perusahaan sebagai saluran air kebun. Digali menggunakan alat berat. Dalam. Membelah gambut. Saat hujan deras, air menderu dari kanal dikirim ke sungai desa.
Akibatnya, sungai meluap. Pemukiman warga jadi korban. Banjir pun selalu menjadi ancaman setiap curah hujan tinggi. “Drainase kebun itu semua mengarah ke sungai. Hujan sedikit, lumpurnya langsung turun,” ucapnya.
Bahkan beberapa perusahaan, menurut Natalius, membangun kanal menganga yang berbatasan langsung dengan hutan desa, lalu mengalirkan air ke Sungai Ambawang.
Pada musim kemarau, kanal ini dipakai untuk irigasi, pengendalian air, dan pencegahan kebakaran gambut. Namun efeknya justru muncul saat hujan datang: kanal itu menyumbang air sungai meluap.
“Kanal perusahaan itu besar-besar. Air dari kebun langsung turun tanpa serapan. Lumpur ikut, sungai dangkal,” jelasnya.
Sementara, normalisasi sungai yang dilakukan pemerintah tidak bertahan lama. Lumpur kiriman dari kanal kembali menumpuk. Gulma cepat tumbuh dan menyumbat aliran. “Sungai Kumpai itu cepat sekali tumbuh. Padahal baru dibersihkan beberapa bulan, sekarang sudah setengah sungai dipenuhi gulma lagi,” katanya.
Senada, Asisten Manajer SAMPAN Kalimantan, Lusiana, menyebut banjir yang berulang di Teluk Bakung disebabkan sungai-sungai kecil mati akibat lumpur yang mengalir dari kanal-kanal kebun.
“Sungai kecil jadi mati, penuh semak, sudah nggak pernah dilewati air,” ujarnya.
Risiko Alih Fungsi
Direktur Eksekutif Teraju Indonesia, Agus Sutomo, menegaskan banjir yang terus berulang di Teluk Bakung merupakan “bencana yang diciptakan”.
Penyebab utamanya adalah ekspansi besar-besaran alih fungsi lahan gambut menjadi kebun sawit korporasi. Akibatnya, lahan serapan menyusut. Setiap musim hujan, kampung-kampung rentan kebanjiran.
“Sawit tidak menyebabkan banjir kalau konteksnya hanya tanaman. Tapi ketika jadi komoditas monokultur dengan pembukaan lahan luas, apalagi di atas gambut, dampaknya besar,” katanya.
Gambut adalah spons raksasa yang menyimpan air dan mengatur alirannya ke sungai. Masalah muncul ketika kebun sawit membuka lahan gambut dengan kanal dalam, alat berat, dan sistem drainase yang mengeringkan kubah gambut.
“Begitu kubah gambut rusak, kapasitas menyerap air hilang. Air yang dulu ditampung gambut langsung lari ke pemukiman. Banjir jadi konsekuensi,” jelasnya.
Teluk Bakung sendiri berada di atas hamparan gambut dalam. Antara 1 hingga 5 meter. Ketika kanal terus dibuka dan hutan rawa gambut diganti monokultur sawit, maka banjir hanya soal waktu.
Mitigasi Pemerintah
Bupati Kubu Raya, Sujiwo, menegaskan mitigasi bencana musiman di akhir tahun sudah disiapkan. Normalisasi saluran dilakukan untuk meminimalisir banjir di wilayah rawan.
“Hampir 75 persen kawasan rawan banjir sudah kita normalisasi. Untuk yang jadi kewenangan kabupaten sudah dinormaliasi 100 persen,” kata Sujiwo, Kamis (4/12/2025) siang.
Ia menyebut dampak normalisasi sudah terlihat. Banjir di kawasan rawan, seperti Sungai Ambawang, perlahan mulai berkurang.
“Kemarin saya cek di beberapa titik. Curah hujan agak tinggi, tapi tidak ada banjir,” ujarnya.
Ke depan, selain normalisasi, perbaikan lahan gambut akibat karhutla juga menjadi perhatian. Upaya ini dilakukan secara kolaboratif dan komunikatif bersama perusahaan sawit.
“Saya akan membangun komunikasi dengan manajemen perusahaan-perusahaan untuk mengambil langkah strategis mengantisipasi banjir,” imbuhnya.
Sujiwo menyadari karakter sawit yang membutuhkan banyak air dan kurang efektif sebagai resapan ketika hujan deras.
Namun mengingat kontribusinya pada ekonomi masyarakat, pemerintah berkomitmen merawat perkebunan yang ada sambil mencari solusi bersama untuk memitigasi risiko bencana.
BPBD Kalbar telah memetakan wilayah rawan banjir, terutama di Kecamatan Sungai Ambawang yang meliputi Desa Lingga, Pancaroba, dan Teluk Bakung. Awal tahun kemarin, warga yang terdampak banjir di Kecamatan Sungai Ambawang mencapai 830 kepala keluarga dengan total 3.039 jiwa.*

Leave a comment