Asa Menjaga Sungai di Tengah Kepungan PETI dan Illegal Fishing

2025-10-20 16:35:33
Kondisi air Sungai Landak ketika dalam keadaan surut/IST

LANDAK, Insidepontianak.com – Siang itu, Riyan tampak termenung di pinggiran Sungai Landak. Ia ingat betul, sewaktu kecil ia bersama teman-temannya tak perlu pegi jauh ketika hendak memancing. Cukup di aliran Sungai Landak yang tepat berada di belakang rumahnya Desa Hilir Tengah, Kecamatan Ngabang, sudah mendapat hasil yang melimpah.

“Dulu di sini,” ucap Riyan sambil menunjuk daerah sekitar sungai Landak di belakang rumahnya, “Sudah bisa dapat banyak,” sambungnya saat bercerita, belum lama ini.

Sore itu, Riyan duduk di lanting yang ia bangun khusus sebagai tempat berkumpul dia bersama teman pehobi mancing yang tergabung dalam komunitas pemancing Lancang Kuning. Pandangannya jauh, mengikuti liuk Sungai Landak yang indah ditimpa cahaya matahari sore.

Namun, pandangan takjub yang Riyan perlihatkan bercampur dengan rasa prihatin dan cemas akan nasib Sungai Landak yang tiap harinya semakin tercemar.

Bertahun-tahun, aktivitas PETI di hulu dan hilir sungai, mencemari air, akibatnya warna air jadi keruh yang disebabkan limbah dari aktivitas PETI.

Keadaan itu makin diperburuk dengan maraknya aktivitas illegal fishing, seperti meracun dan menyetrum ikan.

Riyan khawatir, jika keadaan ini terus berlanjut, populasi ikan dan udang galah di Kabupaten Landak tercancam.

“Dulu ada ikan, kalau di sini namanya ikan langlik, mirip wader. Ikan itu menandakan kualitas sungai yang masih bagus. Sekarang saya lihat ikan itu tak ada lagi,” tutur Riyan.

Sore itu, hilir mudik perahu tampak sepi. Hanya satu hingga dua orang pemacing di atas perahunya terlihat menunggu umpan dilahap ikan. Sesekali terlihat juga sampah plastik yang hanyut.

Menurut Riyan, semenjak maraknya ilegal fishing, hasil tangkapan nelayan di Desa Hilir Tengah berkurang. Jika ingin mendapatkan hasil yang cukup banyak, para nelayan harus rela mengeluarkan biaya dan tenaga lebih, sebab harus membawa perahu mereka jauh ke hulu atau hilir sungai.

“Kalau saya sendiri, sekali jalan itu bisa sampai 400 ribu,” ucap Riyan.

Meski begitu, tidak menjamin tangkapan ikan yang didapatkan oleh neyalan bisa melimpah. Sebelum keadaan semakin parah, Riyan bersama komunitas Pemancing Lancang Kuning sering berpatroli, waspada akan aktivtas ilegal fishing di daerah mereka. 

Meski hanya sekedar menegur dan menyuruh para pelaku pulang. Untuk memberi tindakan kepada para pelaku, mereka tak punya wewenang.

“Kami polisi bukan, siapa-siapa bukan, tak bisa menindak. Paling kami suruh pulang,” ceritanya.

Menurut Riyan, aktivitas ilegal fishing terutama meracun dan menyetrum sangat mengganggu proses regenerasi ikan, karena menyasar ikan tanpa bandang bulu hingga anak-anak ikan (bibit).

Akibatnya, populasi ikan berkurang jauh. Belum lagi penggunaan bahan kimia untuk meracun ikan juga berpotensi membunuh tanaman-tanaman sungai.

Tak jarang, ketika berpatroli mereka harus beradu mulu dengan para pelaku, sebab tak terima ditegur. Penangkapan ikan menggunakan racun atau setrum sendiri sudah dilarang dalam UU No 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 2004.

Tapi lemahnya pengawasan atas peraturan tersebut, membuat aktivitas illegal fishing masih marak terjadi.

Riyan bersama dengan Komunitas Pemancing Lancang Kuning tetap menjaga asa melindungi lingkungan sungai dan popularitas ikan dengan rencana membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) agar dapat langsung menindak para pelaku ilegal fishing.

“Kami minta bantuan dinas terkait pembentukan POKMASWAS, untuk melegalkan kegiatan ini (patroli) jadi kami juga bisa menindak,” kata Riyan.

Riyan berharap apa yang telah ia dan teman-teman Komunitas Pemancing Lancang Kuning lakukan dapat menjaga kelestarian lingkungan Sungai Landak.

Ia bermimpi untuk dapat kembali lagi merasakan kondisi Sungai Landak persis seperti ketika ia kecil.

Saat populitas ikan melimpah dan jenisnya pun beragam. Jika kini ia berharap masyarakat yang menggantungkan pendapatan dari hasil sungai, tak perlu lagi pergi jauh untuk memperoleh ikan yang melimpah. Sehingga dapat mengurangi biaya perjalanan.

Riyan menilai Sungai Landak berpotensi menjadi destinasi wisata pencing yang menjanjikan, terutama dengan keadaan udang galah di sana. Tak jarang para pemancing dari luar Kabupaten Landak berkunjung hanya untuk merasakan sensasi memancing udang.

Selain itu, harga pasaran udang galah juga cukup menjanjikan. Untuk satu kilo udang galah tipe A yang bercapik Biru bisa menyentuh harga 200-170 ribu rupiah, sedangakan kualitas dibawahnya yang bercampur dengan udang-udang kecil dibandrol dengan harga 150 ripu rupiah.

Namun keberadaan illegal fishing mengancang keadaan itu, Riyan bercerita, udang galah yang terkena racun walaupun tak mati, tapi bisa membuat bola mata udang galah pecah dan jika seperti itu sudah dipastikan udang akan binasa.

“Udang kalau sudah kena racun matanya pasti pecah. Kalau begitu susah, pasti mati (udang),” tutup Riyan.

Tak terasa sudah hampir gelap, pelan-pelan matahari mulai merendah, hampir sejajar dengan permukaan sungai.

Riyan beranjak dari tempat duduknya, tapi sebelum meninggalkan lanting, ia berdiri terdiam sebentar, memandang jauh ke hilir sungai sebelum jatuh gelap yang pertama jatuh. (*)

Leave a comment