Ikan Laut Makin Menyusut Pasca Tambang Masuk Konservasi Kendawangan, Ini Suara Nelayan Pulau Cempedak Ketapang

2024-12-23 05:27:30
Ilustrasi nelayan/PIXABAY

PONTIANAK, insidepontianak.com – Kawasan laut sekitar Konservasi Kendawangan, Kabupaten Ketapang tak lagi menjadi tempat aman dan nyaman bagi penghuni ‘laut’ yang ada didalamnya.

Penghuni laut di Kawasan Konservasi Kendawangan dari mulai penyu, dugong hingga sejumlah spesies ikan yang biasanya jadi mata pencaharian warga pulau yang tinggal di sekitar kawasan yang dilindungi tersebut.

Konservasi Kendawangan dikukuhkan sebagai satu dari lima kawasan konservasi yang ada di Kalbar sejak tahun 2020 lalu. Kawasan konservasi lainnya adalah Taman Pulau Kecil Pulau Randayan (Bengkayang), Taman Pesisir Paloh (Sambas), Taman Pesisir Kubu Raya hingga Kawasan Konservasi Perairan Kubu Raya dan Kayong Utara.

Ada sejumlah pulau di Kawasan Konservasi Kendawangan, seperti pulau Gambar, Pulau Bawal, Pulau Penabung, Pulau Gelam hingga Pulau Cempedak. Pulau Cempedak pulau dengan paling banyak penghuninya. Pulau-pulau di Kawasan Kendawangan bagian rumah bagi sejumlah mahluk hidup laut yang dilindungi, baik dugong, padang lamun dan penyu.

Mengapa ekosistem laut di Kawasan Konservasi Kendawangan terancam? Alasannya adalah adanya dua perusahaan tambang PT Sigma Silica Jayaraya dan PT Inti Tama Mandiri yang mulai melakukan kegiatan eksplorasi pasir putih silika di pulau dilindungi Kawasan utama Konservasi Kendawangan.

Konservasi Kendawangan masuk Kecamatan Kendawangan yang terdiri 32 pulau, 4 diantaranya berpenghuni dan 28 lainnya tidak berpenghuni.

Menurut warga dan nelayan Pulau Cempedak, saat ini ada sejumlah spesies ikan yang sudah jarang ditemukan pasca dua perusahaan tersebut melakukan aktivitas tambang. Padahal, ada aturan yang mengikat aktivitas yang merugikan kawasan konservasi.

Ini tertuang dalam Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 193/DKP/2017 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Provinsi Kalimantan Barat.

Kemudian dikuatkan dengan terbitnya Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Barat 2018-2038.

Area pencarian ikan umumnya dilakukan Salmin dan nelayan lainnya ada di Kawasan Konservasi Kendawangan. Salmin dan nelayan lain sangat menggantungkan hidup di laut Kendawangan.

“Hidup kami di sini. Jika laut tercemar, kami mau makan apa. Maka kami menolak apapun aktivitas tambang yang bisa merusak laut,” kata Salmin.

Tak hanya ikan, Kawasan Kendawangan punya potensi besar akan lobster, rajungan (sejenis kepiting air laut) hingga ikan popular (baronang, bawal, dll).

“Jika tambang apapun kegiatan yang bisa merusak, pelan tapi pasti apa yang ada di laut akan mati. Dampaknya langsung kami,” katanya lagi.

Ini juga ditegaskan Arsad, nelayan yang juga menggantungkan hidupnya dari sektor laut di Kawasan Konservasi Kendawangan.

Dosen Ilmu Kelautan Ketua Jurusan Kajian Hosenografi Pesisir MIPA Universitas Tanjungpura, Arie Antasari Kushadiwijayanto menuturkan, kegiatan seperti pertambangan rentan merusak kondisi lingkungan, tak terkecuali perairan dan ekologi.

Sementara jika ditarik lebih spesifik untuk Pulau Gelam tak jauh berbeda jika itu berkutat terhadap aktivitas warga setempat. Namun, akan berbeda jika ada kegiatan komersil, seperti pertambangan dan sawit.

Arie Antasari menuturkan, kondisi terganggu hingga bisa berbahaya jika ada kegiatan yang mengganggu aktivitas ekologi, apalagi di zona inti maupun perairan sekitar.

Meski hal itu pun harus dilihat cara yang dilakukan perusahaan saat melakukan aktivitas kerja atau jika itu kasus tambang. Paling dikhawatirkan dari tambang adalah materi limbahnya.

“Adanya pelepasan sedimen ke laut dari pengolahan, logam-logam berat yang melebihi ambang batas dan itu jelas membahayakan ekosistem di sana jika masif aktivitas tambangnya,” terang dosen aktif ini.

Untuk tahu lebih jelas kondisi ekologi Pulau Gelam terbaru, perlu penelitian lebih lanjut. Kelemahannya saat ini adalah penelitian tentang kawasan Konservasi Kendawangan, terutama Pulau Gelam yang kontroversi belum dilakukan.

“Kondisi yang paling terasa jika sedimen berbahaya masuk ke laut dan mengotori kawasan di sana, yang paling terasa adalah lingkungan ekosistem dan bahkan menyebabkan kematian terumbu karang, padang lamun hingga hewan yang ada di sana meski tergantung banyak atau tidaknya, terutama di Pulau Gelam itu,” ungkap Arie Antasari. (*)

 

 

Leave a comment