Dibuntuti hingga Dijemput Paksa: Dugaan Strategi Mayawana Bungkam Perlawanan Adat

2025-12-10 17:28:06
Upaya penjemputan paksa oleh aparat kepolisian di kantor Link-AR Borneo, Selasa (9/12/2025) malam.

KUBU RAYA, insidepontianak.com – Langkah Tarsisius Fendy Sesupi di lorong Hotel Neo Pontianak, Senin pagi (9/12/2025), terasa lebih berat dari biasanya. 

Kepala Adat Dusun Lelayang itu baru saja menjadi pemateri dalam Media Briefing hasil pemantauan deforestasi di konsesi PT Mayawana Persada (MP). Tapi sejak ia melangkah keluar hotel, ternyata ia sedang dipantau aparat yang menyamar.

Agenda Fendy di Kota Pontianak cukup padat. Malam harinya, ia harus menjadi tamu diskusi di kampus Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Di sana ia juga berdiskusi soal konflik agraria dan kerusakan ekologi pada malamnya. Para penyamar itu pun mengikuti semua gerak gerik pria adat tersebut. 

Sebelum malam tiba, Fendy menyempatkan untuk menyambangi kantor Link-AR Borneo di Desa Kapur di sore hari. Di sanalah 'pencegatan' aparat non seragam terjadi.

Tiba-tiba di tengah diskusi, sekelompok personel Polres Ketapang dan Polda Kalbar datang dan membawa surat pemanggilan yang baru diterbitkan hari itu. juga sekaligus menempatkan Fendy sebagai tersangka ke-1 dalam dugaan pemerasan. Dan lebih mengejutkan lagi, mereka datang untuk menjemputnya secara paksa.

Momentum kedatangan aparat disebut para pegiat lingkungan bukan kebetulan. Sebab, baru beberapa jam sebelum upaya penjemputan, Fendy duduk di forum terbuka memaparkan temuan deforestasi, degradasi gambut, hingga dugaan pelanggaran PT Mayawana Persada di areal konsesinya.

“Ini ironi. Hari HAM sedunia dirayakan, tapi di Kalbar justru ada tindakan yang melanggar HAM dilakukan tanpa malu-malu,” kata Direktur Eksekutif Link-AR Borneo, Ahmad Syukri.

Dialog alot sempat terjadi di kantor Link-AR Borneo. Akhirnya aparat sepakat pemanggilan ulang dilakukan 15 Desember, dan Fendy tidak ditahan. 

Namun, bagi masyarakat sipil, pesan hari itu sangat jelas: ada tekanan agar Fendy tunduk, berhenti bersuara, atau menyerah.

Perseteruan panjang Fendy dengan PT Mayawana Persada bukan cerita baru. Konflik memuncak sejak 29 September 2022, ketika 8 pondok dan 1 lumbung padi warga Dusun Lelayang diduga dibakar oknum perusahaan.

“Pondok dan lumbung itu dibakar. Itu milik masyarakat adat,” kata Fendy kepada insidepontianak.com, Rabu (10/12/2025).

Mengikuti tradisi Dayak, warga menuntut penyelesaian melalui hukum adat. 3 Desember 2023, Fendy dan masyarakat mendatangi kantor Estate Kualan PT MP. Pihak perusahaan sepakat menjalani 'batang adat' ritual adat penebusan atas pelanggaran.

Karena perlengkapan ritual tidak tersedia, perusahaan mentransfer Rp16 juta ke rekening Fendy untuk membeli tempayan, piring, mangkuk, dan perlengkapan adat lainnya.

“Uang itu bukan untuk saya. Semua untuk alat ritual adat. Bukti lengkap,” tegas Fendy.

Namun, ketika ritual direncanakan, perwakilan perusahaan tidak hadir. Tak lama kemudian, surat panggilan polisi tiba. 

Fendy dilaporkan memeras, meski proses adat dilakukan atas kesepakatan bersama dan didokumentasikan dengan berita acara.

“Kalau ini bukan kriminalisasi, lalu apa? Saya menjalankan adat. Ada kesepakatan. Ada tanda tangan,” ujarnya.

Adanya Pola Kriminalisasi Masyarakat Adat

Pengamat Hukum, Herman Hofi Munawar, menilai situasi ini memenuhi pola kriminalisasi yang selama ini menimpa masyarakat adat di Kalbar.

“Yang paling mendesak jadi perhatian Pemda dan APH adalah indikasi kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan haknya,” kata Herman.

Ia menegaskan pola yang sama terjadi di berbagai daerah: Warga yang mempertahankan lahan melalui protes damai atau sanksi adat justru dibalik menjadi tersangka atau terdakwa melalui laporan perusahaan.

Ia mengungkapkan, dalam kasus Kualan Hilir, ada warga dan pemimpin adat dilaporkan, karena menahan kunci alat berat atau mencabut akasia di lahan sengketa. 

"Ini merusak prinsip keadilan,” tegasnya.

Karena itu, Herman mendesak, agar menghentikan kriminalisasi dan menarik semua laporan atau tuntutan hukum terhadap anggota masyarakat adat yang bertindak untuk melindungi wilayah adat mereka.

Selanjutnya, segera meninjau kembali​ atau merevisi izin perusahan. Sebab, kondisi ini sudah sangat mendesak untuk meninjau dan mencabut izin konsesi jika terbukti perusahaan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk tidak menghormati prinsip hak adat. 

“Jika terbukti perusahaan melanggar HAM dan hak adat, konsesi harus dicabut," tekannya.

Dan tak kalah penting, kata Herman, yakni memastikan adanya pengukuran ulang batas-batas wilayah adat dan memberikan kompensasi yang adil atas lahan yang sudah terlanjur digusur tersebut.

Penetapan Tersangka Terlalu Dini

Kuasa hukum Fendy, Suparman, menilai penetapan tersangka kliennya dilakukan secara tergesa-gesa.

“Penetapan ini terlalu dini. Fendy tidak memeras perusahaan. Itu sanksi adat yang dijalankan sesuai kesepakatan. Ada berita acara,” kata Suparman.

Ia menegaskan, bahwa mekanisme jemput paksa yang dilakukan aparat keliru. Sebab, kliennya belum tiga kali mangkir.

“Bang Fendy itu belum tiga kali mangkir. Ini baru pemanggilan pertama sebagai tersangka. Tidak ada dasar membawa paksa," tegasnya.

Menurut Suparman, kriminalisasi tampak dari keberpihakan proses hukum. Karena, laporan perusahaan cepat diproses. Tapi laporan masyarakat soal perusakan tanaman, pembakaran pondok, tidak ada tindak lanjut.

“Itu janggal," ujarnya dengan nada kesal.

PT Mayawana Persada Bantah Kriminalisasi

Sementara itu, PT Mayawana Persada membantah bahwa telah melakukan upaya tindak kriminalisasi kepada Fendy. 

“Ini pidana murni. Ada laporan pemerasan dan penganiayaan. Semua ada di kepolisian,” kata Humas PT MP, Anang saat dikonfirmasi insdepontianak.com.

Ia menyatakan, kasus ini sudah sejak 2023, saat itu selain laporan pemerasan, terlaporkan juga adanya tindak penganiayan terhadap pihak PT MP.

"Itu dilakukan oleh kelompok adat dan rombongan TNI juga kalau gak salah sempat juga melakukan," terangnya.

Hingga ini, kata Anang, perusahaan hanya mengikuti proses hukum. Sebab, semua barang bukti: forensik dan visum sudah diserahkan kepada aparat kepolisian.

“Semua bukti ada di aparat. Silakan tanya ke kepolisian. Tidak ada kriminalisasi dari pihak kami," tandasnya.

Fendy: “Saya Tidak Akan Lari. Kebenaran Akan Menemukan Jalannya”

Di tengah tekanan dan upaya jemput paksa, Fendy tetap tenang. Sebab, ia menilai bahwa kebenaran pasti menemukan jalannya.

“Tanggal 15 saya ke Ketapang. Saya akan hadapi. Kebenaran pasti menemukan jalannya," ujar Fendy.

Fendy menegaskan, bahwa perjuangannya bukan untuk dirinya, melainkan untuk tanah leluhur Dayak Kualan.

“Saya hanya menjalankan adat. Saya tidak mengambil apa pun. Yang saya minta hanya keadilan," tegasnya lantang.

Dilain sisi, kelompok masyarakat sipil menilai eskalasi terhadap Fendy sebagai simbol intimidasi yang lebih besar terhadap pembela lingkungan dan hak adat. 

Karena itu, mereka menuntut:
1. Menghentikan upaya jemput paksa dan pemanggilan tidak berdasar terhadap Fendy.
2. Menghentikan proses pemeriksaan yang dinilai tidak memiliki dasar hukum kuat.
3. Membebaskan Fendy dari semua tuduhan yang tidak terbukti.
4. Menuntut PT Mayawana Persada menghentikan kerusakan ekologis, memulihkan dampak, dan berhenti mengkriminalisasi masyarakat adat.

Kasus Fendy bukan hanya sengketa adat. Ini cermin kelam relasi timpang antara masyarakat adat, perusahaan besar, dan negara.

Upaya jemput paksa di hari HAM, pembuntutan sejak pagi, rentetan laporan hukum, hingga pembalikan narasi adat menjadi pemerasan semuanya membentuk satu simpul persoalan: Ada upaya sistematis yang membuat Fendy menyerah. Tapi ia memilih bertahan. (Greg)

Leave a comment