Jadi Pembicara Seminar Nasional Apvokasi, Sutarmidji Dorong Revitalisasi Pendidikan Vokasi

2024-09-27 06:15:20
Sutarmidji didapuk menjadi salah satu narasumber Seminar Nasional Apvokasi bertajuk: Arah Kebijakan Pendidikan Vokasi di Masa Pemerintahan Mendatang. Kegiatan ini berlangsung di Balai Petitih, Kantor Gubernur Kalbar, Kamis (26/9/2024). (Istimewa)

PONTIANAK, insidepontianak.com - Sutarmidji didapuk menjadi  narasumber Seminar Nasional Apvokasi bertajuk: Arah Kebijakan Pendidikan Vokasi di Masa Pemerintahan Mendatang. Kegiatan ini berlangsung di Balai Petitih, Kantor Gubernur Kalbar, Kamis (26/9/2024).

Selain Sutarmidji, seminar yang digelar DPW Apvokasi Kalbar bersama Pemprov Kalbar itu juga menghadirkan Ketua Umum Apvokasi, Marsudi Wahyu Kisworo, sebagai narasumber.

Marsudi Wahyu Kisworo merupakan akademisi, berlatar belakang entrepreneur, yang juga dikenal sebagai professor pertama bidang IT di Indonesia.

Dalam kesempatan itu, Sutarmidji menyampaikan, selama ini masih banyak aturan yang tidak sejalan antara pemerintah pusat, dengan daerah terkait dengan pendidikan vokasi.

Hal itu bahkan sudah ia rasakan semenjak menjabat sebagai wakil wali kota, kemudian wali kota dua periode, sampai menjabat gubernur.

"Jadi banyak aturan di kementerian yang justru mempersulit kita (pemerintah daerah) untuk mengembangkan pendidikan vokasi ini," katanya.

Midji-sapaan karibnya, lantas menceritakan beberapa pengalaman yang pernah dialaminya ketika menjabat sebagai wali kota Pontianak dulu.

Pertama tentang pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pelayaran di Kota Pontianak yang digagasnya.

Menurut Midji, latarbelakang dibangunnya SMK tersebut karena ia sempat membaca artikel bahwa banyak perusahaan pelayaran di negara-negara Eropa tutup.

Tutupnya perusahaan itu dikarenakan kurangnnya tenaga kerja bidang pelayaran. Kondisi ini, dianggapnya sebagai peluang.

Dengan harapan, anak-anak dari Kota Pontianak bisa berkarier di luar negeri atau di perusahaan-perusahaan pelayaran internasional.

Namun untuk sampai ke sana, para lulusan SMK pelayaran itu, tentu harus masuk ke akademi pelayaran yang berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan.

"Saya bangun SMK pelayaran, SMK 9 (Pontianak) itu, begitu (pelajar) tamat, orang tuanya melaporkan saya ke Polda. Kenapa? Karena anaknya tidak bisa masuk akademi pelayaran, (untuk masuk lulusan SMK) harus memenuhi 15 approval dulu baru bisa masuk Akademi Pelayaran, itu sampai jenggotnya putih pun tidak bisa saya bilang," ceritanya.

Terkait masalah itu, Midji sempat menyampaikan protes ke Kementerian Perhubungan. Namun tetap tidak ada solusi.

Malah lucunya, lulusan SMK pelayaran disarankan oleh orang kementerian mengambil paket c agar setara dengan lulusan SMA, baru kemudian bisa mendaftar ke Akademi Pelayaran.

Dari situ, Midji merasa bingung. Lulusan SMK pelayaran yang jelas-jelas belajar, dan menimba ilmu tentang pelayaran justru dipersulit, dibandingn para lulusan SMA biasa.

"Masa mereka sudah lulus (dengan ilmu) mengarah ke sana (pelayaran), malah diminta paket c, itu tidak beres," tegasnya.

Aturan-aturan yang demikian, menurutnya yang menghambat daerah dalam pengembangan pendidikan vokasi.

Contoh lainnya soal kebijakan yang tidak sinkron, juga ia temukan dari keberadaan Balai Latihan Kerja (BLK) yang berada di bawah naungan Kementerian Ketenagakerjaan.

Di banding membangun fasilitas sendiri untuk BLK, Midji menilai, justru lebih baik jika kementerian membantu melengkapi sarana, prasarana di SMK yang sudah ada.

Seperti membangun workshop, dan pengadaan alat-alat praktik yang mutakhir. Keberadaan SMK yang representatif, justru akan memiliki dampak yang lebih besar.

Selain meningkatkan kemampuan para pelajar di SMK tersebut, fasilitas yang ada juga bisa dimanfaatkan untuk pendidikan non formal.

Seperti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan di luar jam pelajaran sekolah. Maka ia maunya BLK itu dihilangkan. Dijadikan pusat sertifikasi keahlian saja, supaya anak-anak lulusan SMK bisa disertifikasi.

“Ada pusat sertifikasi daerah yang sertifikatnya berlaku untuk pekerjaan di dalam negeri, lalu ada pusat sertifikasi nasional, nantinya yang untuk berkerja di luar negeri," ucapnya.

Midji juga sebelumnya menjadi salah satu gubernur yang menantang keras, wacana lamanya sekolah di SMK yang akan ditambah menjadi empat tahun.

Menurut pemikirannya, waktu belajar di SMK justru harus dipersingkat. Semisal haya dua tahun, dengan satu tahun teori, lalu tahun berikutnya paraktik, dan magang.

Atau paling maksimal tiga tahun, dua tahun teori, dan satu tahun praktik. Tempat praktik, atau magangnya juga harus langsung di dunia kerja, seperti ke pemerintahan, atau perusahaan-perusahaan.

"Magang harus dibayar. Perusahaan-perusahaan harus fasilitasi. Apalagi di kantor-kantor pemerintahan itu, kasihan anak-anak magang. Bahkan seharusnya dia magang dibayar, ini minum pun kadang susah,” ucapnya.

Menurut Sutarmidji, pemerintah sebenarnya bukan tak mau memberikan honor kepada siswa SMK magang. Hanya saja aturannya. Sehingga jika program itu diadakan, bisa menjadi temuan BPK.

“Ini yang mau kita dorong. Coba dilindungi, pemerintah (pusat) buat aturan, anak magang harus dibayar sesuai UMR, ini kan tidak ada aturannya," paparnya.

Ia juga mendorong dilakukan revitalisasi program-program studi di SMK, yang disesuaikan dengan kebutuhan di daerah masing-masing.

Sehingga lulusan SMK harus bisa menjawab kebutuhan tenaga kerja, minimal di daerah tempat SMK tersebut berada.

Apalagi Kalbar banyak perkebunan sawit, namun sayang, tidak ada SMK yang sepesifik membidangi ilmu perkebunan.

“Bauksit kemarin (smelter) diresmikan Presiden Jokowi, tidak ada jurusan itu (pertambangan), jadi memang revitalisasi penting," tegasnya.

Selama menjadi kepala daerah, Midji cukup gencar memperjuangkan pendidikan vokasi di Kalbar. DPW Apvokasi Kalbar pun mengakui hal itu.

Saat menjabat wali kota Pontianak, Sutarmidji juga pernah Perda memberikan diskon tarif Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk hotel-hotel yang baru dibangun, sebesar 75 persen.

Asal, syaratnya ketika sudah beroperasi, hotel-hotel tersebut harus menggunakan tenaga kerja lokal lulusan SMK.

Minimal 85 persen dari total tenaga kerja di hotel tersebut harus lulusan SMK Perhotelan di Kota Pontianak. Kala itu kewenangan SMK memang masih berada di bawah pemerintah kabupaten/kota.

Akhirnya semua itu, mempekerjakan lulusan SMK. Bahkan siswa SMK kelas dua sudah diproyeksikan akan direkrut menjadi pekerja jika sudah tamat.

“Kita juga buat hotel untuk latihan mereka,” katanya.

Latihan itu diberikan supaya anak-anak SMK perhotelan ini bisa belajar bagaimana memberikan pelayanan di hotel bintang empat.

Tak hanya sampai di situ, untuk pendidikan vokasi, Midji berusaha membuat program studi, yang sekaligus dapat mencarikan lapangan kerja yang tidak putus.

Contoh ketika melihat data bahwa di Kota Pontianak bangunan yang ber-IMB jumlahnya tidak sampai 60 persen. Ia kemudian membuat SMK yang memiliki program studi desain grafis.

Saat menejabat wali kota, ia juga membuat aturan yang pro lulusan program studi tersebut. Yakni mengeluarkan kebijakan pemutihan IMB untuk sekitar 40 persen bangunan yang terlanjur tidak memiliki IMB.

Dengan syarat tak perlu melampirkan gambar bangunan secara detail, melainkan cukup sketsa saja. Dan itu tak perlu dikerjakan arsitek, melainkan cukup dikerjakan oleh lulusan SMK program studi desain grafis.

"Tapi gambarnya harus dari anak-anak ini (SMK) tamatan (desain grafis)," tuturnya.

Meski sempat ada masukan dari pejabat terkait, bahwa kebijakan pemutihan IMB itu akan mengurangi pendapatan daerah, Midji justru berpikir lebih ke depan.

Bahwa dengan kebijakan itu, maka dapat mengurangi angka pengangguran di Kota Pontianak.

"Coba maindset penyelenggara negara (jangan seperti) itu, kalau sudah bicara pendapatan tidak mikir, pokoknya pendapatan harus masuk. Kita harus berpikir manfaat yang lebih luas," pungkasnya.

Seperti diketahui seminar nasional yang ketiga kalinya diadakan DPW Apvokasi Kalbar itu melibatkan stakeholder vokasi, serta keikutsertaan peserta nasional melalui tautan zoom.***

Leave a comment