NU Kalbar: Tayangan Trans 7 Lukai Hati Santri dan Kiyai

2025-10-14 15:57:09
Ilustrasi Boikot Trans 7/ist

PONTIANAK, insidepontianak.com - Bendahara Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Kalimantan Barat, Sudirman, menyampaikan tanggapan tegas terhadap tayangan program XPOSE di Trans7 yang belakangan menjadi sorotan dan menuai gelombang kritik tajam dari masyarakat luas.

Tayangan tersebut memunculkan tagar #BoikotTrans7 di berbagai platform media sosial lantaran dinilai melecehkan martabat kiai, santri, dan lembaga pondok pesantren.

Sudirman menyebut, tayangan itu bukan hanya sekadar bentuk kritik sosial seperti yang mungkin dimaksudkan oleh pembuatnya, tetapi telah menyentuh ranah keagamaan dengan cara yang tidak patut dan tidak berimbang. 

Dalam tayangan tersebut, kehidupan santri ditampilkan dengan cara yang mengesankan seolah dunia pesantren identik dengan keterbatasan, kekolotan, dan tekanan, padahal hal itu tidak sesuai dengan realitas yang ada.

“Kami di Kalimantan Barat merasa prihatin. Tayangan itu telah melukai perasaan para kiai, santri, dan keluarga besar pesantren di seluruh Indonesia. Kritik boleh, tapi jangan sampai menginjak harga diri dan kehormatan orang yang berjuang untuk agama,” ujar Sudirman, Selasa (14/10/2025).

Menurutnya, pesantren selama ini merupakan benteng moral bangsa, tempat
menanamkan ilmu, adab, dan nilai-nilai kebangsaan. Banyak tokoh nasional, pejuang kemerdekaan, dan pemimpin daerah lahir dari lingkungan pesantren.

Oleh karena itu, ketika pesantren digambarkan dengan citra negatif di media, maka bukan hanya lembaganya yang disudutkan, melainkan seluruh nilai luhur yang diwariskan di dalamnya.

“Pesantren bukan tempat keterbelakangan. Di situlah tumbuh kebijaksanaan, disiplin, dan kemandirian. Kalau media menyorot tanpa memahami nilai-nilainya, yang lahir bukan pemahaman, tapi prasangka,” tambahnya.

Sudirman menilai bahwa tayangan tersebut tidak memenuhi asas-asas jurnalisme yang
berimbang (cover both sides).

Dalam dunia penyiaran, setiap konten yang mengangkat isu sosial atau keagamaan seharusnya menggandeng narasumber dari kedua sisi agar penonton memperoleh informasi yang adil.

Dalam hal ini, pihak pesantren atau perwakilan organisasi keagamaan semestinya dilibatkan untuk memberikan pandangan dan klarifikasi.

“Media punya kekuatan besar membentuk opini masyarakat. Kalau yang ditampilkan
sepotong dan tidak ada konfirmasi, maka itu sudah menyalahi etika. Apalagi kalau
menyangkut lembaga agama, seharusnya ada rasa tanggung jawab moral,” ujarnya
menegaskan.

Lebih lanjut, Sudirman juga mengingatkan bahwa isu tentang santri dan pesantren sangat sensitif, terutama di tengah maraknya konten media sosial yang sering memelintir topik keagamaan demi sensasi dan klik. Dalam situasi seperti ini, peran media mainstream seperti Trans7 seharusnya menjadi penyeimbang, bukan malah ikut menambah keresahan.

“Kami berharap Trans7 dan semua media belajar untuk lebih beradab dalam
menyampaikan kritik. Dunia pesantren bukan bahan hiburan. Kalau mau bicara soal
kekurangan, mari dialog dengan cara yang santun. Jangan jadikan santri dan kiai sebagai objek cemoohan,” ungkapnya.

Sudirman juga mengajak publik untuk tidak terpancing emosi, tetapi tetap
mengedepankan sikap bijak. Namun, ia menegaskan bahwa pihaknya bersama jajaran. 

PWNU Kalbar akan mendorong agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers
menindaklanjuti tayangan tersebut secara profesional, karena dikhawatirkan telah
melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

“Kami tidak anti kritik. Tapi jangan jadikan kebebasan berekspresi sebagai alasan untuk menistakan nilai-nilai agama. Ada batas yang harus dijaga. Kalau media mau membangun negeri, mari bersama menjaga kehormatan para pendidik bangsa,” tegasnya.

Di akhir pernyataannya, Sudirman menyampaikan harapan agar pihak Trans7
menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada keluarga besar pesantren, kiai, dan santri di seluruh Indonesia.

Ia menilai, permintaan maaf bukanlah tanda kelemahan, tetapi bentuk tanggung jawab moral dan penghormatan terhadap nilai-nilai kebangsaan yang beradab.

“Kritik itu boleh, asal ada niat baik dan cara yang elok. Kami harap Trans7 berjiwa besar
untuk mengakui kekeliruan, agar hubungan antara media dan umat tidak tercemar.
Karena pesantren bukan hanya milik ulama, tapi milik bangsa,” tutup Sudirman (rilis)

Leave a comment