Pengakuan Kades Tebuah Elok: Mana Mungkin Saya Patahkan Leher Keluarga Sendiri

2024-11-22 15:01:36
Ilustrasi
SAMBAS, insidepontianak.com -Beginilah pengakuan Kades Tebuah Elok, Harun, soal kematian warganya bernama Marap (52) yang diduga akibat patah tulang leher usai dipiting olehnya di hari Paskah. "Apa yang disampaikan advokat bernama Lipi itu tidak benar," kata Harun lewat panggilan video WhatsApp, menjawab berita yang diterbitkan sebelumnya oleh Inside Pontianak, Minggu (28/5/2023). Simak selengkapnya pengakuan Kepala Desa Tebuah Elok, dari awal mula pertengkaran yang terjadi hingga pemakaman korban. Minggu 9 Mei 2023, saat itu Hari Raya Paskah. Kami orang Dayak khususnya di Desa Tebuah Elok selalu merayakan Paskah dan Natal bersama. Saya dan Pak Marap adalah sepupu. Rumahnya di depan rumah saya, kami ini saudara. Awalnya Pak Marap ini ada masalah dengan cucunya bernama Amin. Pak Marap ini adalah tukang urut saya, masuk akal ndak saya sampai mencelakakan tukang urut saya sendiri. Cucunya itu adalah anak adiknya. Pak Marap marah karena Amin menanam sawit, dia cincang sawit cucunya. Amin melapor ke Dewan Adat Dayak, tapi dewan adat tidak mau mengurusnya. Alasan mereka Pak Marap ini kalau diurus suka marah-marah. Amin lalu ke pengurus RT, ternyata RT juga menolak. Karena putus asa, melaporlah dia ke Polsek Subah. Saat melapor ke polsek, Amin langsung menelepon saya selaku Kepala Desa Tebuah Elok. Karena ada pertanyaan dari polisi, apakah saya sudah tahu masalah ini. Amin bilang ke polisi belum memberitahu saya, jadi polisi menyuruhnya melapor ke saya dulu, jangan langsung ke mereka. Saya ditelepon oleh Amin, dia minta maaf katanya sudah membelakangi saya selaku kepala desa. Saya melaporkan kakek saya, karena perbuatan kakek itu menurut saya sudah melebihi batas. Bukan dicabut, tapi sawit saya dicincang-cincangnya. Kalau saya ada mungkin saya dibunuhnya. Paman taulah orang itu, suka main parang. Begitu kata Amin kepada saya. Saya bilang, Min kalaupun dia bertindak seperti itu jangan lapor dulu ke polisi, biar bagaimanapun dia itu kakekmu sendiri. Amin bilang dia sudah lapor ke pengurus adat, mereka tidak mau, melapor ke RT juga tidak mau. Selain bisu (tunawicara), Pak Marap ini juga sulit diajak berurusan baik-baik. Kalau dia sudah tidak suka, dia temperamen sekali. Orang kampung ini tau semua, anak istri sering dipukul, saya yang menenangkan. Saya bilang ke Amin, biar bagaimanapun dia itu kakekmu. Saya justru membela Pak Marap. Saya tidak ingin antar keluarga ini bentrok. Paling tidak sebelum masalah ini semakin jauh, saya bisa membantu penyelesaiannya. Amin bilang ke saya, maksud dia melapor ke polisi supaya ketika Pak Marap marah-marah saat berurusan soal sengketa tanah itu, ada kepolisian yang mengamankan. Amin bilang kalau dia sama sekali tidak berniat menghukum kakeknya sendiri. Dia hanya ingin memberikan teguran dan pelajaran kepada kakeknya. Saya bilang iyalah, pantas polisi tidak menghubungi saya. Menjelang tiga hari setelah Pak Marap mencincang sawit cucunya. Anak istri saya ke Gereja karena hari itu Paskah, hanya ada saya dan menantu laki-laki saja di rumah. Amin, mamaknya, adiknya dan anaknya, kakaknya dan anaknya, bertamu ke rumah saya. Langsung saya bangun, tidak cuci muka tidak sempat apa-apa, langsung pakai baju ke ruang tamu. Saya langsung persilakan tamu makan kue Paskah. Siapapun tamunya saya selalu sambut dengan baik, tidak peduli siapa. Saya bilang makanlah kue, ini Paskah. Habis makan kue kami makan-makan di dapur. Saya sudah beli daging dan tulang babi di pasar untuk makan-makan keluarga. Amin itukan Ketua Pokmas Pamsimas saya, sementara kakaknya Sekretaris Pokmas Pamsimas yang sedang kami bangun sekarang. Saat kami makan, sambil ngobrol-ngobrol, tiba-tiba datang istri Pak Marap, namanya Elisabeth. Dia datang, langsung duduk tanpa salam atau apapun, malah langsung ngomong ke mamak Amin, menanyakan kenapa melaporkan suaminya ke polisi, kata nya mereka bisa ganti bibit itu. Dijawab oleh mamak Amin, bagaimana tidak dilaporkan, dia tidak memandang kami sebagai saudara, sawit anak saya dicincang-cincangnya. Bibit sawit itu bukan tidak dibeli pakai uang. Bahkan ada yang berhutang. Tapi suami kamu seperti itu, kalau dia marah ngomong baik-baik jangan dicincang. Kami ini orang susah. Begitu jawaban mamak Amin. Terus saya potong pembicaraan mereka. Ibu-ibu ini hari Paskah, jangan ribut, Tuhan Yesus marah. Begitulah gaya saya bicara, tapi tidak digubris. Malah semakin menjadi-jadi istri Pak Marap marah. Sejak awal memang dia yang memulai pertengkaran itu. Sekitar 20 menit, datang anaknya. Pakai baju tidak ada lengan, dengan muka masam. Duduk di kursi belakang mamaknya. Terus tidak ngomong apa-apa, dan perdebatan terus berlangsung. Saya bilang jangan ribut, kita ini bersaudara, tidak ada orang lain. Saya bilang ke istri Pak Marap. Bahwa Amin melaporkan suaminya bukan untuk dipenjara. Buktinya sampai hari ini tidak ditahan. Saya sudah bilang, Amin juga sudah saya tegur. Bahkan istri Pak Marap saya ajak makan babi dia tidak mau. Kami mau si Amin jangan tanam sawit di situ, saya tahu tanah itu tanah dia, maksud kami tunggu Pak Marap meninggal baru dia boleh tanam sawit di situ. Begitu kata istri Pak Marap, dan langsung diprotes oleh Amin. Dia bilang masa mau berusaha dihalangi seperti itu, lagipula tanah itukan hak saya. Bagian bapak saya kata Amin. Sudah diberikan ke saya, bolehlah saya tanami sawit, masa menunggu kakek meninggal, kapan saya mau mulai usaha. Setengah jam kami duduk di situ, tiba-tiba Amin kaget. Dia bilang Pak Marap datang bawa parang, sambil teriak-teriak. Di rumah saya ada istri dan anak Pak Marap, kalau memang mereka punya niat, sebelum Pak Marap masuk ke rumah saya, mereka pasti menahan. Pak Marap langsung masuk ke rumah saya dan ternyata yang dia bawa bukan parang, tapi hanya rotan yang dibalut dengan karet, juga ada paku yang sudah berkarat. Menurut saya itu berbahaya, apalagi ditangan orang yang sedang marah. Karena Pak Marap masuk sambil teriak-teriak, anak-anak menangis semua. Saya bilang dengan bahasa isyarat, supaya Pak Marap berhenti. Tapi malah makin jadi, sampailah Amin ikut marah. Amin mau melawan Pak Marap tapi menantu saya menghadang. Melihat situasi tidak aman, saya mengamankan tangan Pak Marap di belakang kepalanya (dipiting), karena dia membawa senjata, walaupun bukan parang. Pada saat saya amankan tangannya di belakang kepala itu dia melawan, dia beringas sekali. Berontak dan meronta-ronta. Akibat itulah bergeser tulang dan urat lehernya. Sebenarnya tidak ada patah tulang. Tiba-tiba dia lemah, dan dengan bahasa isyarat memberitahu bahwa lehernya sakit. Saya langsung panggil hansip. Dibawalah Pak Marap ke rumahnnya. Saya sendiri yang gendong, karena hansip itu bilang tidak berani. Saya yang menolong Pak Marap. Saya duduk di rumahnya. Pak Marap diberi minum. Saya langsung pamit pulang lagi, karena ada tamu dirumah. Berjalan waktu, istri dan anak saya pulang dari Gereja. Bertanyalah mereka, benar atau tidak Pak Marap menyerang ke rumah. Terus istri saya menasihati, apapun yang terjadi, Pak Marap adalah saudara, dan saya adalah Kades. Istri saya menyarankan agar Pak Marap dibawa berobat ke rumah sakit. Supaya tahu apa yang terjadi. Langsung saya telpon ambulan. Saya bertanggungjawab dengan peristiwa itu. Bahkan yang menaikan Pak Marap ke ambulan itu saya, tenaga kesehatan dan Amin cucunya yang mau dia pukul tadi. Muncul fitnah katanya waktu dinaikkan ke ambulan, Pak Marap dalam keadaan koma, itu tidak benar. Justru dia segar bugar, saya melihat sendiri dengan mata kepala saya. Tidak ada koma-koma itu. Saya membawa Pak Marap ke rumah sakit atas dasar kemanusiaan. Padahal dia adalah pelaku penyerangan di rumah saya. Pertama, dia adalah keluarga saya. Kedua, dia adalah warga saya yang harus saya urus. Saya tidak memandang salah benar, walaupun dia sudah menyerang ke rumah saya. Inilah fakta, bahwa saya yang diserang dan sayalah yang mengobati Pak Marap. Apakah masih kurang. Seharusnya saya yang melaporkan Pak Marap ke polisi. Tolong sampaikan dalam berita, bahwa pasal tentang kelalaian yang disangkakan ke saya itu sangat tidak tepat. Bahkan sayalah yang merawat dan mengobati Pak Marap. Sebab dia adalah keluarga saya. Kalau saya lalai, saya mengabaikan dan tidak pernah mengobati Pak Marap. Ini saya yang bawa dia ke rumah sakit, biayanya juga saya yang bantu membayar. Sampai ketika Pak Marap dirujuk ke RSUD Pemangkat karena di sana ada dokter saraf. Di sana, Pak Marap ini makan minumnya lancar. Lusanya, saya, istri, pengurus LPM, dan cucunya Amin tadi datang membantu. Lalu iba-tiba setelah itu anak Pak Marap bilang lewat WA ke Amin, bahwa tulang leher bapaknya patah. Pada akhirnya bertemulah saya dengan asisten dokter yang menangani Pak Marap dan menyampaikan hasil pemeriksaan. Betul hasil rontgen itu nampak seperti patah tulang. Tapi sebenarnya tidak demikian. Itu hanya bahasa dari mereka saja. Asisten dokter waktu itu bilang, pihaknya tidak bertanggungjawab jika ada keluarga, atau siapapun yang menyampaikan hasil diagnosa tidak seperti yang mereka sampaikan. Bahwa yang benar adalah pasien ini hanya salah urat (dislokasi), tidak ada fraktur (bahasa medis patah tulang). Anaknya lalu bilang, kemarin dokter bilang patah tulang. Saya langsung tanya dokter yang mana. Jangan kamu menyebarkan hoax saya bilang, sudahlah kita ditimpa masalah ini, jangan munculkan masalah baru. Saya bilang begitu. Saya kemu pamit pulang, sebelum itu saya bertemu anak Pak Marap dan menitipkan uang Rp.500 ribu untuk makan minum mereka beberapa hari di rumah sakit. Saya berpesan jangan beli rokok yang mahal-mahal, gunakan uang itu untuk makan minum. Tidak lama setelah dirawat, pihak keluarga lalu meminta Pak Marap dibawa pulang dan berobat ke tabib kampung. Saat di rumah dia baik-baik saja. Tabib bilang dia bisa menangani itu, karena tulangnya cuma bergeser saja. Bahkan dua orang tabib sudah mengatakan hal yang sama. Waktu itu, tabib pernah menarik leher Pak Marap sampai keluarlah bunyi krek-krek, dengan bahasa isyarat Pak Marap beri kode dengan acungan jempol. Katanya sudah merasa mendingan. Kalau patah, tabib itu pasti bilang patah tulang dan perlu perawatan medis. Makanya dia bilang itu tidak patah, hanya tulangnya bergeser sehingga menonjol. Tonjolan itu terasa. Pak Marap juga pernah kita bawa berobat ke Sanggau Ledo. Sampailah dia meninggal, peti matinya saya yang menyiapkan. Saya sangat menyesalkan bahwa ada pihak-pihak yang berusaha memprovokasi dalam masalah ini. Kami sudah pernah mediasi di Polsek Subah. Semuanya sudah sepakat untuk damai. Tiba-tiba saya dilaporkan ke Polres Sambas. (Yak)

Leave a comment