Gadis Kretek, Kota M dan Gempuran Kapitalisme Global di Industri Rokok (bagian 3)

2024-11-22 01:16:27
Gadis Kretek Artis Dian Sastrowardoyo menjadi pemeran utama sebagai Dasiyah dalam serial Gadis Kretek di Netflik. Ia tokoh sentral dalam serial Gadis Kretek.(Foto Netflik)

Pontianak, insidepontianak – Serial Gadis Kretek di platform streaming Netflik, memutar kembali ingatan orang pada industri rokok di tanah air.

Industri rokok mengalami pasang surut dan persaingan sengit. Bahkan, ada kerusuhan sosial terjadi, imbas dari persaingan usaha tersebut.

Tak hanya itu, industri rokok telah mendapat gempuran kuat dari modal besar dan trans-nasional. Ada gempuran kapitalisme global di industri rokok.

Perkembangan industri rokok kretek, tak lepas dari nama kota Kudus di Jawa Tengah. Dari sana, awal mula rokok kretek tercipta. Perusahaan rokok kretek besar, seperti Nojorono, Djambu Bol dan Djarum, lahir dan berkembang di Kudus.

Parada Harahap dalam bukunya, “Indonesia Sekarang (1952)” menulis, generasi awal pengusaha rokok di Kudus, antara lain: M. Sirin, pemilik rokok cap Teboe dan Jagung. M Atmowidjojo pemilik pabrik rokok cap Goenoeng. Ada juga H Nawawi, A Ashadi, H Rusjdi, HA Ma’roe, dan lainnya.

Bicara mengenai Kudus dan perkembangan industri rokok kretek, tak bisa dipisahkan dengan nama Nitisemito, pemilik NV Tjap Bal Tiga.

Nitisemito merupakan pengusaha Bumiputera terbesar, paling awal dan tertua yang berdiri pada zaman Hindia Belanda. Bahkan, tahun 1924, ia telah memiliki 15 ribu karyawan. 

Nitisemito pengusaha kretek visioner. Lahir 1863, Nitisemito tak sempat mengenyam bangku sekolah. Ia tuna aksara. Tak dapat membaca dan menulis. Namun, Nitisemito menerapkan berbagai macam cara menangani perusahaan secara moderen. Ada inovasi dilakukan.

Dalam pemasaran, misalnya, Nitisemito memberikan berbagai hadiah kepada pelanggannya. Pelanggan bisa menukar bungkus rokok dengan berbagai macam hadiah. Mulai dari sepeda, jam dinding, peralatan makan dan lainnya. Malahan, ada bus dengan kaca besar keliling untuk ‘jemput bola’ ke konsumen (Amen Budiman dan Onghokham, 1997).

Dalam beberapa scene dan adegan di serial Gadis Kretek, beberapa inovasi pemasaran dan promosi Raja Kretek Nitisemito, muncul di serial Netflik. Misalnya, Nitisemito menjual produk rokok pada berbagai macam acara keramaian dan pasar malam.

Ketika membuat sandiwara keliling, Nitisemito menyelipkan produk rokoknya. Ia juga mempromosikan produk kreteknya, menggunakan mobil untuk promosi dan pemasaran. Bahkan, Nitisemito menyebar pamflet dan promosi nama produksi rokoknya dengan pesawat terbang. Sesuatu yang tak pernah dilakukan di industri rokok hingga sekarang.

Industri rokok menyumbang kemajuan ekonomi di masyarakat. Alasannya, industri rokok menyerap jumlah tenaga kerja yang besar. Sebab, industri rokok mulai dari hulu hingga hilir, melibatkan banyak pekerja. Ada petani tembakau. Petani penggarap. Pengering tembakau di gudang. Yang mengeringkan tembakau selama satu hingga tiga tahun. Tembakau harus diputar secara terus, supaya tembakau kering secara sempurna.

Dalam proses produksi rokok, ada tukang rajang tembakau. Pelinting rokok yang biasanya dilakukan di rumah. Ada abon, bagian pengepul dari pelinting rokok. Ada tukang saus. Bagian pengemasan, dan lainnya. Rantai dan proses itu saling jalin menjalin.    

Persaingan di Industri Rokok

Persaingan di industri rokok sangat kuat. Mata rantai produksi rokok yang melibatkan banyak orang, bisa saja ketika ada satu proses produksi yang berkianat, dapat membuat hasil rokok menjadi tak enak rasanya.

Hal itu terjadi pada produk rokok Nitisemito. Ada kompetitor bekerja sama dengan Abon. Rokok Nitisemito menggunakan tembakau yang baik. Tapi, dalam proses pelintingan misalnya, Abon meminta pelinting rokok, menggunakan kualitas tembakau atau kertas rokok kurang baik. Rasa rokok Nitisemito menjadi rusak.    

Tak hanya diproses produksi, perkembangan industri rokok yang sedemikian maju, membuat orang Tionghoa mengikuti jejak para pengusaha lokal dalam industri rokok kretek. Persaingan itu sedemikian kuatnya, sehingga berimbas pada kerusuhan sosial di Kudus, tahun 1918. Kerusuhan di berbagai wilayah lain turut terjadi, berkaitan dengan persaingan usaha.

Kerusuhan berdampak pada rumah dan pabrik rokok kretek terbakar. Banyak korban harta dan benda. Pascakerusuhan, banyak pengusaha lokal dihadapkan pada pengadilan. Mereka dihukum. Akibatnya, banyak perusahaan lokal gulung tikar. Tak ada yang menjalankan lagi. Sebaliknya, posisi pengusaha Tionghoa semakin kuat dan maju (Amen Budiman dan Onghokam, 2017).

Tak hanya persaingan antar pengusaha lokal, bisnis rokok turut melibatkan perusahaan trans-nasional. Berdasarkan data pemerintah, impor rokok putih ke Hindia Belanda tahun 1923, mencapai 1 miliar batang. Bahkan, tahun 1925, perusahaan patungan antara Inggris dan Amerika, British America Tobacco (BAT), mendirikan pabrik di Cirebon. Selanjutnya, berdiri pabrik di Surabaya, 1928.

Uniknya, pemerintah Hindia Belanda melindungi pengusaha rokok kretek dengan berbagai peraturan yang menguntungkan. Misalnya, penerapan cukai rokok putih lebih tinggi. Penerapan pembuatan mesin untuk membuat rokok, harus dengan izin pemerintah.

Proteksi pemerintah Hindia Belanda kepada pengusaha rokok kretek, tentu bernilai ekonomis. Ketika usaha rokok kretek terus berjalan, pemerintah Hindia Belanda tetap dapat mengumpulkan pajak, dari para pengusaha rokok kretek lokal.

Kondisi itu tak membuat pengusaha rokok putih tinggal diam. Mereka menggunakan berbagai macam cara, menghancurkan pasar rokok kretek di berbagai daerah. Di Jawa Barat, pengusaha rokok putih membujuk warga di suatu pedesaan, menebang pohon kawung yang menjadi pembungkus rokok.

Tak adanya persediaan pohon kawung, diharapkan membuat perusahaan rokok gulung tikar. Tak ada bahan baku pembungkus rokok. Tapi, usaha itu tak berhasil. Pengusaha rokok kretek bekerja dengan cepat. Menanam pohon kawung lagi, menggantikan pohon kawung yang ditebang.

Bahkan, setiap ada daerah muncul pengusaha rokok kretek baru, perusahaan rokok putih membuat produk yang murah harganya. Rokok putih itu bermerek Pirate (Bajak Laut). Ketika rokok kretek itu sudah tak laku, produk rokok putih itu ditarik dari pasaran.

Praktik itu dilakukan secara berulang di berbagai daerah. (Muhlis Suhaeri).

 

Leave a comment