Gadis Kretek, Kota M dan Gempuran Kapitalisme Global di Industri Rokok (bagian 3)
Pontianak, insidepontianak – Serial Gadis Kretek di platform streaming Netflik, memutar kembali ingatan orang pada industri rokok di tanah
air.
Industri rokok mengalami pasang surut
dan persaingan sengit. Bahkan, ada kerusuhan sosial terjadi, imbas dari persaingan
usaha tersebut.
Tak hanya itu, industri rokok telah
mendapat gempuran kuat dari modal besar dan trans-nasional. Ada gempuran
kapitalisme global di industri rokok.
Perkembangan industri rokok kretek, tak
lepas dari nama kota Kudus di Jawa Tengah. Dari sana, awal mula rokok kretek
tercipta. Perusahaan rokok kretek besar, seperti Nojorono, Djambu Bol dan
Djarum, lahir dan berkembang di Kudus.
Parada Harahap dalam bukunya, “Indonesia
Sekarang (1952)” menulis, generasi awal pengusaha rokok di Kudus, antara
lain: M. Sirin, pemilik rokok cap Teboe dan Jagung. M Atmowidjojo pemilik
pabrik rokok cap Goenoeng. Ada juga H Nawawi, A Ashadi, H Rusjdi, HA Ma’roe,
dan lainnya.
Bicara mengenai Kudus dan perkembangan
industri rokok kretek, tak bisa dipisahkan dengan nama Nitisemito, pemilik NV
Tjap Bal Tiga.
Nitisemito merupakan pengusaha
Bumiputera terbesar, paling awal dan tertua yang berdiri pada zaman Hindia
Belanda. Bahkan, tahun 1924, ia telah memiliki 15 ribu karyawan.
Nitisemito pengusaha kretek visioner.
Lahir 1863, Nitisemito tak sempat mengenyam bangku sekolah. Ia tuna aksara. Tak
dapat membaca dan menulis. Namun, Nitisemito menerapkan berbagai macam cara
menangani perusahaan secara moderen. Ada inovasi dilakukan.
Dalam pemasaran, misalnya, Nitisemito
memberikan berbagai hadiah kepada pelanggannya. Pelanggan bisa menukar bungkus
rokok dengan berbagai macam hadiah. Mulai dari sepeda, jam dinding, peralatan
makan dan lainnya. Malahan, ada bus dengan kaca besar keliling untuk ‘jemput
bola’ ke konsumen (Amen Budiman dan Onghokham, 1997).
Dalam beberapa scene dan adegan
di serial Gadis Kretek, beberapa inovasi pemasaran dan promosi Raja Kretek
Nitisemito, muncul di serial Netflik. Misalnya, Nitisemito menjual produk rokok
pada berbagai macam acara keramaian dan pasar malam.
Ketika membuat sandiwara keliling, Nitisemito
menyelipkan produk rokoknya. Ia juga mempromosikan produk kreteknya,
menggunakan mobil untuk promosi dan pemasaran. Bahkan, Nitisemito menyebar
pamflet dan promosi nama produksi rokoknya dengan pesawat terbang. Sesuatu yang
tak pernah dilakukan di industri rokok hingga sekarang.
Industri rokok menyumbang kemajuan
ekonomi di masyarakat. Alasannya, industri rokok menyerap jumlah tenaga kerja
yang besar. Sebab, industri rokok mulai dari hulu hingga hilir, melibatkan
banyak pekerja. Ada petani tembakau. Petani penggarap. Pengering tembakau di
gudang. Yang mengeringkan tembakau selama satu hingga tiga tahun. Tembakau
harus diputar secara terus, supaya tembakau kering secara sempurna.
Dalam proses produksi rokok, ada tukang
rajang tembakau. Pelinting rokok yang biasanya dilakukan di rumah. Ada abon,
bagian pengepul dari pelinting rokok. Ada tukang saus. Bagian pengemasan, dan
lainnya. Rantai dan proses itu saling jalin menjalin.
Persaingan di Industri Rokok
Persaingan di industri rokok sangat
kuat. Mata rantai produksi rokok yang melibatkan banyak orang, bisa saja ketika
ada satu proses produksi yang berkianat, dapat membuat hasil rokok menjadi tak
enak rasanya.
Hal itu terjadi pada produk rokok
Nitisemito. Ada kompetitor bekerja sama dengan Abon. Rokok Nitisemito
menggunakan tembakau yang baik. Tapi, dalam proses pelintingan misalnya, Abon
meminta pelinting rokok, menggunakan kualitas tembakau atau kertas rokok kurang
baik. Rasa rokok Nitisemito menjadi rusak.
Tak hanya diproses produksi,
perkembangan industri rokok yang sedemikian maju, membuat orang Tionghoa
mengikuti jejak para pengusaha lokal dalam industri rokok kretek. Persaingan
itu sedemikian kuatnya, sehingga berimbas pada kerusuhan sosial di Kudus, tahun
1918. Kerusuhan di berbagai wilayah lain turut terjadi, berkaitan dengan
persaingan usaha.
Kerusuhan berdampak pada rumah dan
pabrik rokok kretek terbakar. Banyak korban harta dan benda. Pascakerusuhan,
banyak pengusaha lokal dihadapkan pada pengadilan. Mereka dihukum. Akibatnya,
banyak perusahaan lokal gulung tikar. Tak ada yang menjalankan lagi. Sebaliknya,
posisi pengusaha Tionghoa semakin kuat dan maju (Amen Budiman dan Onghokam,
2017).
Tak hanya persaingan antar pengusaha
lokal, bisnis rokok turut melibatkan perusahaan trans-nasional. Berdasarkan
data pemerintah, impor rokok putih ke Hindia Belanda tahun 1923, mencapai 1
miliar batang. Bahkan, tahun 1925, perusahaan patungan antara Inggris dan
Amerika, British America Tobacco (BAT), mendirikan pabrik di Cirebon.
Selanjutnya, berdiri pabrik di Surabaya, 1928.
Uniknya, pemerintah Hindia Belanda
melindungi pengusaha rokok kretek dengan berbagai peraturan yang menguntungkan.
Misalnya, penerapan cukai rokok putih lebih tinggi. Penerapan pembuatan mesin
untuk membuat rokok, harus dengan izin pemerintah.
Proteksi pemerintah Hindia Belanda
kepada pengusaha rokok kretek, tentu bernilai ekonomis. Ketika usaha rokok
kretek terus berjalan, pemerintah Hindia Belanda tetap dapat mengumpulkan pajak,
dari para pengusaha rokok kretek lokal.
Kondisi itu tak membuat pengusaha rokok
putih tinggal diam. Mereka menggunakan berbagai macam cara, menghancurkan pasar
rokok kretek di berbagai daerah. Di Jawa Barat, pengusaha rokok putih membujuk
warga di suatu pedesaan, menebang pohon kawung yang menjadi pembungkus rokok.
Tak adanya persediaan pohon kawung,
diharapkan membuat perusahaan rokok gulung tikar. Tak ada bahan baku pembungkus
rokok. Tapi, usaha itu tak berhasil. Pengusaha rokok kretek bekerja dengan
cepat. Menanam pohon kawung lagi, menggantikan pohon kawung yang ditebang.
Bahkan, setiap ada daerah muncul
pengusaha rokok kretek baru, perusahaan rokok putih membuat produk yang murah
harganya. Rokok putih itu bermerek Pirate (Bajak Laut). Ketika rokok kretek itu
sudah tak laku, produk rokok putih itu ditarik dari pasaran.
Praktik itu dilakukan secara berulang di
berbagai daerah. (Muhlis Suhaeri).
Leave a comment