Babak Baru Skandal Manipulasi Nilai SIAKAD Fisip Untan
Lima akademisi di kampus Magister Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Tanjungpura (Untan), terlibat skandal manipulasi nilai SIAKAD, untuk mahasiswa Yuliansyah, Ketua Gerindra Kalimantan Barat. Ia caleg terpilih DPR RI, periode 2024-2029.
Praktik lancung itu terungkap dalam laporan tim investigasi internal Untan. Tim itu diketuai Dr Rupita. Sang Rektor, Prof Dr Garuda Wiko memilih bungkam, dan melempar kasus itu ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).
Padahal, sebagai rektor, ia punya kewenangan melakukan tindakan tegas, terhadap kasus manipulasi nilai tersebut.
Insidepontianak.com mendapatkan laporan tim investigasi internal Untan. Dr Rupita, menjadi ketua tim investigasi, dengan anggota: Prof Dr Arkanudin, Dr Rusdiono, Drs Sukamto, M.Si dan Dr Pardi.
Laporan setebal 28 halaman tersebut, membuka tabir skandal manipulasi nilai di Kampus Biru, julukan Kampus Fisip Untan.
Dari laporan investigasi internal itu, kita bisa melihat, istimewanya Yuliansyah, mahasiswa Prodi Magister (S2), Jurusan Politik, Fisip Untan. Yuliansyah tak pernah mengikuti perkuliahan. Tapi, seluruh nilai mata kuliah, muncul di SIAKAD.
SIAKAD merupakan sistem informasi akademik, untuk memasukkan nilai mata kuliah. Aplikasi ini dirancang mengelola dan memantau, data akademik mahasiswa setiap semester.
Setelah diunggah, nilai langsung masuk ke website Kemenristekdikti. Data tak bisa dihapus, karena langsung terhubung di pusat.
Melansir laman https://pddikti.kemdikbud.go.id, Yuliansyah mahasiswa Program Magister Imu Politik, Fakultas Fisip Untan, dengan nomor induk mahasiswa (NIM): E2092211008. Saat semester genap 2022, dan semester ganjil 2023, ia tercatat cuti kuliah.
Tapi, di data SIAKAD, yang Insidepontianak.com dapatkan, terpampang transkip nilai 12 mata kuliahnya dengan bobot A+, A-, hingga B. Transkip nilai itu, untuk mata kuliah semester ganjil-genap 2021/2022.
Belakangan kasus ini terbongkar, setelah Dekan Fisip Untan, Dr Herlan menerima pengaduan sejumlah dosen pengampu mata kuliah. Mereka tak pernah memberikan nilai kepada Yuliansyah, tapi nilai muncul di SIAKAD.
Sang dekan atas izin rektor Untan, membentuk tim investigasi internal. Tim mengusut aktor intelektual yang berperan memanipulasi nilai di sistem aplikasi SIAKAD.
Tim bekerja dan memanggil para saksi. Ada 12 orang dari unsur dosen. Tiga dari unsur mahasiswa. Dua tenaga kependidikan. Yuliansyah sebagai mahasiswa, tiga kali dipanggil. Namun, ia tak pernah mau datang ke kampus.
Hasil laporan tim investigasi mengungkap, lima akademisi berperan memanipulasi nilai. Juga memalsukan tanda tangan Daftar Peserta dan Nilai Akhir (DPNA), dan dosen pengampu mata kuliah.
Mereka terdiri dari mantan dekan dan wakil dekan. Di luar unsur akademis, seorang staf operator, ikut terlibat memasukkan nilai di SIAKAD.
Kelima dosen pengampu yang terlibat, Prof Dr Hasan Almutahar, Dr Elyta, Dr Ema Rahmaniah, Dr Erdi dan Dr Ira Patriani.
Mereka berperan mempermudah Yuliansyah, bisa mengikuti seminar tesis. Untuk diketahui, Hasan Almutahar merupakan ayah kandung Elyta dan Ema Rahmaniah.
Hasan Almutahar, Guru Besar Bidang Ilmu Sosiologi Fisip Untan. Ia dosen senior. Sang Guru Besar melabrak etika akademik dengan memanipulasi nilai akademik.
Pada 18 April 2024, tim investigasi memeriksa Hasan. Ia mengaku memberi nilai mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan kepada Yuliansyah, dengan nilai B+.
Hasan juga memerintahkan staf operator SIAKAD S2, Yanto memasukkan nilai. Usut punya usut, ternyata istri Hasan, masih ada hubungan keluarga dengan Yuliansyah.
Peran Hasan tidak berhenti di situ. Pada 29 Februari 2024, ia berupaya minta Ketua Prodi Ilmu Politik S2 Fisip, Dr Nurfitri Nugrahaningsih, menerbitkan SK Pembimbing Tesis.
Uniknya, ada kesan, Hasan ingin mengelabui Nurfitri. Hasan menemuinya sambil bawa blanko surat penunjukan pembimbing tesis Yuliansyah.
Hasan membawa blanko yang sudah ditandatangani Dr Dwi Haryono, dengan komposisi sebagai Pembimbing Utama, Dr Martoyo. Pembimbing Kedua, Dr Ema Rahmaniah.
Nurfitri tak serta merta setuju dengan permohonan Hasan. Ketua Prodi S2 Politik tersebut, memeriksa keseluruhan nilai mata kuliah Yuliansyah.
Ia juga melakukan konfirmasi ke para dosen pengampu mata kuliah. Hasilnya, beberapa dosen mengaku belum memberi nilai. Mereka di antaranya, Dr S.Y. Pudjianto, Dr Zulkarnaen, dan Dr Jumadi.
"Kita sangat prihatin, karena menodai moralitas dan integritas akademik,” kata Jumadi, menanggapi hal itu kepada Insidepontianak.com. Jumadi mengampu mata kuliah Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Infografis - Transkip nilai atas nama Yuliansyah. Sumber data: laporan tim investigasi Fisip Untan. (Tim Inside Pontianak)
Peran Sentral Elyta
Dr Elyta menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 di Untan. Jenjang S3 di Universitas Padjajaran, Bandung. Ia mengampu banyak mata kuliah.
Misalnya, Ekonomi Politik, Sejarah Sosial Politik Indonesia, dan lainnya. Bahkan, ia menjadi Kepala Pusat Studi Perbatasan Asia Tenggara Untan (PSPAT Untan).
Tapi, Elyta jarang sekali mengajar di kelas. Baik itu di jenjang S1 dan S2. Bisa dihitung dengan jari. Namun, sebagai dosen tetap, ia tentu dapat jatah mengajar.
Hasil investigas internal itu menyebut, Elyta sebagai Wakil Dekan 1 Fisip Untan. Ia memalsukan tanda tangan sejumlah dosen pengampu mata kuliah di Prodi Politik. Modusnya sederhana saja.
Elyta memerintahkan Yanto, staf operator S2 SIAKAD, mencetak blanko Daftar Peserta dan Nilai Akhir (DPNA) mata kuliah atas nama Yuliansyah. Selanjutnya, hasil print DPNA dibawa pulang oleh Elyta.
Jeda beberapa hari, Elyta mendatangi Yanto di ruang operator SIAKAD S2 Fisip Untan. Di ruangan tak begitu luas itu, Elyta menyerahkan kembali DPNA kepada Yanto.
Anehnya, DPNA mata kuliah Yuliansyah sudah terisi penuh, dengan tulisan tangan menggunakan tinta biru. Elyta memerintahkan Yanto, memasukkan nilai itu ke sistem SIAKAD.
Yanto tak sanggup menolak perintah Elyta. Sebagai anak buah, ia menuruti perintah atasan. Padahal, Yanto mengaku tak kenal Yuliansyah. Ia tak pernah bertemu. Apalagi mengenalnya secara pribadi.
Selain mengelabui Yanto, Elyta menjalankan modus yang sama kepada Dr Erdi Abidin. Ia dosen pengampu mata kuliah Pengelolaan Keuangan Daerah. Di Mata kuliah ini, Erdi sebagai Asisten Dr S.Y. Pudjianto.
Erdi mengaku sempat mengosongkan formulir DPNA. Ia tidak mengisi nilai mata kuliah Yuliansyah. Alasannya, mahasiswa ini tak pernah masuk kuliah. Tapi, belakangan, blanko DPNA Yuliansyah diisi sendiri oleh Erdi. Elyta meneleponnya.
“Bang, ini ada mahasiswa, Yuliansyah, tolong diberi nilai,” kata Elyta kepada Erdi.
Selanjutnya, Erdi memberi nilai B+. Setelah menerima pemberian uang dari Elyta sebagai ucapan terima kasih, nilai itu berubah menjadi A.
Sayangnya, jurus Elyta mentok di Ketua Prodi Ilmu Politik S2, Nurfitri. Tepatnya, saat dirinya mengetahui, Nurfitri tak mengakomodir permintaan dari Hasan.
Elyta berinisiatif memanggil Nurfitri. Pertemuan berlangsung di ruang kerjanya. Dalam percakapan langsung, Nurfitri ditanya mengenai masalah Yuliansyah, dan berkas seminar yang dibawa Hasan Almutahar, ayah Elyta.
Nurfitri menjawab tegas, “Mahasiswa tersebut (Yuliansyah) tidak pernah kuliah.”
Seminggu setelahnya, Elyta bertanya kepada Nurfitri. "Bisa atau tidak, mahasiswa ini (Yuliansyah) diseminarkan? Kasihan mahasiswa daftar ulang lagi.”
Nurfitri tegas menimpali, “Tidak usah kasihan. Mahasiswa itu orang kaya.”
Elyta Panik
Belakangan, praktik lancung akademik itu terkuak. Sejumlah dosen pengampu mata kuliah berang. Marah. Sebab, mereka tak pernah memberikan nilai.
Namun, nama mereka dicatut dosen yang memiliki jabatan akademik di kampus Untan, Elyta. Satu di antaranya Jumadi.
Dosen mata kuliah Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah, tercatat ada di data transkip Yuliansyah, dengan nilai A-.
Jumadi memastikan, sama sekali tak pernah memberikan nilai. Sebab mahasiswa ini tak pernah masuk di kelasnya.
Ia kirim surat kepada Dekan Fisip dengan tembusan kepada Rektor Untan, Garuda Wiko. Isinya, menyatakan keberatan atas pemalsuan nilai mata kuliah yang diampu.
Dalam laporan tim investigasi, 3 April 2024, Jumadi mengajak Nurfitri dan Yanto menghadap rektor. Saat ketiganya di ruang tunggu, depan ruang kerja rektor, tiba-tiba Elyta datang dan membuat kericuhan.
Elyta marah-marah dan melabrak Yanto. Beruntung, staf rektorat cepat menarik Yanto untuk menjauh. Seketika itu, Elyta juga ikut mundur.
Elyta marah kepada Yanto, karena dianggap telah membocorkan praktik manipulasi nilai SIAKAD untuk Yuliansyah.
“Tidak usah takut. Kami akan memberi perlindungan,” kata Nurfitri, dalam keterangannya sebagaimana laporan tim investigasi.
Lantas, ia bertanya lagi kepada Yanto, "Siapa yang suruh masukkan nilai?"
Yanto menjawab, "WD 1 (Dr Elyta)."
Yanto juga ditanya, "Apakah Yuliansyah pernah kuliah?"
Yanto menjawab apa adanya, "Tidak pernah."
Merasa terpojok, Elyta panik. Ia menghubungi Yanto melalui telepon. Elyta menanyakan alamat tinggalnya. Klop. Di rumah Yanto, bilangan Komplek Korpri, Sui Raya Dalam, Kubu Raya, Elyta minta Yanto menandatangani surat pernyataan.
Elyta sudah mempersiapkan surat itu sebelumnya. Sebelum tanda tangan, Elyta minta Yanto menjauh dari rumah.
Alasannya, khawatir diketahui anak dan istri. Akhirnya, Elyta mengajak Yanto ke belakang teras masjid, hanya berjarak beberapa meter dari rumah Yanto.
Yanto mengaku, sebelum tanda tangan, Elyta mempersilakan agar baca lebih dahulu. Begitu membaca isi surat perjanjian, Yanto keberatan tanda tangan.
Di sini, suara sang dosen meninggi. Yanto takut. Akhirnya, ia manut. Surat pernyataan itu ditandatangani atas tekanan Elyta.
Elyta juga menghubungi ketua kelas, dan satu angkatan dengan Yuliansyah. Namanya, Kundori. Ia pemimpin redaksi dan pemilik beberapa media online.
Kundori mengatakan, Yuliansyah tidak pernah hadir kuliah, baik secara online maupun offline. Belakangan Kundori mengaku pernah ditelepon Elyta.
Tepatnya, 3 dan 4 April 2024. Kala itu, Elyta menawari Kundori sebagai narasumber suatu kegiatan seminar.
Elyta juga minta Kundori, tak mempermasalahkan nilai mata kuliah Yuliansyah yang sudah masuk ke SIAKAD. Nilai tersebut akan dibatalkan. Yuliansyah diminta kuliah lagi.
Pada 5 April 2024, Elyta menemui Nurfitri. Saat itu, Nurfitri bermaksud menemui Dekan Fisip Untan. Tepat di halaman parkiran, Elyta mengejar Nurfitri sambil berujar, “Masalah wartawan sudah aman. Mahasiswa juga aman.”
Namun, dugaan Elyta salah. Kundori tetap memberitakan masalah manipulasi nilai tersebut.
Infografis - Tujuh dosen yang nilainya dimanipulasi dan lima dosen menginput nilai untuk mahasiswa Yuliansyah. Sumber data: dokumen laporan tim investigasi Fisip Untan. (Tim Inside Pontianak)
Ema Oh Ema
Ema Rahmaniah dosen aktif di berbagai seminar dan kegiatan. Ia doktor ilmu sosiologi. Sebagai ahli ilmu terkait prilaku masyarakat, ia kerap diminta mengisi berbagai acara seminar dan kegiatan LSM atau NGO.
Ia juga Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Kota Pontianak. Mafindo aktif memberikan pelatihan terkait berbagai cara mempelajari dan mengindentifikasi hoaks, cek fakta dan tercatat menjadi tim seleksi bagi calon anggota KPU dan Bawaslu di berbagai wilayah Kalbar.
Dalam laporan itu menyebut, peran Ema Rahmaniah dan Ira Patriani, tak bersentuhan langsung dengan Elyta. Tapi, keduanya sebagai dosen pengampu, mengaku memberi nilai untuk Yuliansyah.
Ema misalnya. Ia mengaku memberi nilai A kepada Yuliansyah, untuk mata kuliah Legislasi Daerah dan Demokratisasi.
Alasannya, nilai A, berdasarkan tugas disampaikan Yuliansyah secara lengkap, tanpa tekanan dari pihak mana pun.
Sepintas, tidak ada yang salah dari Ema. Tapi, belakangan terkuak. Pada mata kuliah tersebut, jabatan Ema sebagai asisten.
Adapun dosen pengampu utama, Jumadi. Dalam sebuah pertemuan, Jumadi marah dan menyebut Ema salah. Sebab, memberi nilai tanpa koordinasi dengan dirinya.
Posisi Dr Ira Patriani seperti tercepit. Dalam kasus ini, Ira mengajar dua mata kuliah. Yaitu, Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintah bersama Dr Herlan, dan Birokrasi Indonesia bersama Dr Zulkanaen.
Untuk nilai mata kuliah Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan, Ira mengaku memberi nilai A. Ada koordinasi dengan penanggungjawab mata kuliah, tak lain Dekan Fisip S2 Untan, Dr Herlan. Adapun bentuk koordinasi, bertemu langsung dan lewat pesan WhatsApp.
Hanya saja, untuk mata kuliah Birokrasi Indonesia, Ira menyatakan tidak pernah memberi nilai. Pada saat cek dalam blanko nilai, ia mengaku tak mengetahui, siapa yang memberi nilai.
Ira tak mengenal tulisan dan paraf di blanko penilaian DPNA. Semua pengakuan ini, tercatat secara rinci dalam laporan tim investigasi setebal 28 halaman itu.
Insidepontianak.com menemui langsung Hasan Almutahar. Awalnya, ia berbicara santai. Namun, saat kami menjelaskan maksud mewawancarai kasus SIAKAD, sosok dosen senior Fisip Untan ini, langsung menyatakan tak mau memberikan keterangan. Mukanya memerah.
"Mohon maaf saya tidak mau menanggapi. Saya tidak tahu. Tak tahu bilang tak tahu," katanya sembari pergi.
Begitu pun dengan Yuliansyah. Ia tak mau ambil pusing. "Saya no coment -lah, biarkan saja sesama dosen mengurusnya. Saya tak tahu," kata Yuliansyah kepada Insidepontianak.com.
Infografis - Kesimpulan dan rekomendasi tim investigasi Fisip Untan memuat empat poin penting. Sumber data: dokumen laporan tim investigasi Fisip Untan. (Tim Inside Pontianak)
Rektor Bungkam
Empat bulan sudah, hasil kerja tim investigasi dibentuk Dekan FISIP Untan, Herlan. Kasus manipulasi nilai Yuliansyah, seolah tak berujung.
Rektor belum mengumumkan hasil kerja tim investigasi. Insidepontianak.com berupaya mengonfirmasi Garuda Wiko via pesan WhatsApp dan menemuinya, terkait perkembangan penanganan kasus ini. Namun, hingga kini tak dapat balasan apapun.
Padahal, awal mencuat kasus ini, Garuda Wiko menyampaikan komitmennya. Memberikan sanksi tegas sesuai aturan, jika ditemukan pegawai dan dosen melakukan pelanggaran.
"Jika memang terbukti ada pelanggaran, kita akan melakukan tindakan tegas, seusuai aturan kode etik pegawai dan dosen. Yang jelas, kami bekerja serius untuk menjelaskan duduk perkara ini," kata Garuda Wiko kepada Insidepontianak.com, suatu ketika.
Belakangan diketahui, Guru Besar Ilmu Hukum, tak berani ambil keputusan, setelah tim investigasi internal menyelesaikan dan memberikan hasil laporan.
Padahal, laporan tim investigasi sudah jelas mengungkap, pihak-pihak yang terlibat dalam skandal akademik manipulasi nilai tersebut.
Berdasarkan Permen Ristekdikti Nomor 74 Tahun 2017, tentang Statuta Untan, sudah begitu gamblang dan jelas. Yakni, pasal 32 ayat 2, huruh H.
Isinya, menjatuhkan sanksi kepada dosen dan tenaga kependidikan. Yang melakukan pelanggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Jangankan memberi sanksi kepada lima akademisi Fisip yang bersalah, Rektor justru menyerahkan hasil rekomendasi tim investigasi kepada Dirjen SDM Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi," kata sumber anonim kepada Insidepontianak.com.
Tak hanya pihak internal kampus, kasus manipulasi nilai, memantik banyak pihak berkomentar. Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Fisip Untan, Iwan Darmawan minta pihak-pihak yang berkompeten menangani kasus ini. Termasuk, memberikan sanksi tegas terhadap oknum-oknum pelaku sesuai dengan peraturan yang berlaku.
"Apabila, bila terbukti bersalah," kata Iwan menegaskan.
Pengamat Hukum Universitas Panca Bhakti Pontianak, Herman Hofi Munawar menilai, aktor intelektual yang diduga memanipulasi nilai SIAKAD di Magister Fisip Untan, bisa diproses pidana.
"Kuncinya, asal dosen yang menjadi korban pemalsuan nilai itu, mau membuat laporan polisi dengan dasar pemalsuan dokumen," kata Herman.
Jika laporan itu sudah dibuat, penyidik kepolisian akan melakukan penyelidikan, dan memeriksa pihak-pihak terkait.
"Di sana, nanti akan ketahuan siapa saja, pihak yang dapat diminta pertanggungjawabannya secara pidana," kata Herman.
Hingga empat bulan berlalu, situasi di kampus Untan, masih sama. Kasus manipulasi nilai belum terselesaikan. Elyta masih mengajar, dan menjabat sebagai Wakil Dekan 1 Fisip Untan.
Kita semua berharap, masalah ini segera diselesaikan, supaya tak jadi preseden buruk bagi dunia pendidikan. Tak hanya di Fisip, juga bagi semua jenjang pendidikan dan jurusan di Untan.(Tim Inside)
Catatan:
Pada 29 April 2024, tim investigasi internal menuntaskan laporan dan rekomendasi. Pada 2 Juli 2024, Insidepontianak.com sudah ajukan surat permohonan informasi hasil laporan investigas, melalui laman PPID. Jawabannya, masih diproses.
Insidepontianak.com kembali melayangkan surat keberatan atas jawaban dari PPID Untan. Pada, 9 Juli 2024, ada jawaban lewat email Insidepontianak.com. Isinya, pihak PPID Untan, tak bisa memberikan hasil investigasi internal Untan.
Leave a comment