Begini Sejarah Alat Musik Angklung Hingga Jadi Google Doodle: Undang Dewi Sri Sebagai Dewi Padi

2024-09-22 04:29:11
Ilustrasi

Insidepontinak.com - Angklung merupakan alat musik khas Indonesia. hari ini, Google menampilkan alat musik tradisional tersebut sebagai Google Doodle pada 16 November 2022.

Alat musik tradisional atau Angklung ini terbuat dari tabung-tabung bambu, dan banyak dijumpai di daerah Jawa Barat kini tampil di halaman Google Doodle.

Terlihat pada halaman Google Doodle terdapat 6 orang yang sedang memainkan alat musik tradisional Angklung yang sudah diakui oleh UNESCO.

Baca Juga: Bangga! Alat Musik Tradisional Angklung Menggema di Piala Dunia Qatar 2022

Dilansir dari petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id Angklung telah terdaftar sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity dari UNESCO sejak November 2010, Sebagai bentuk pengakuan alat musik Indonesia.

Sedangkan suara atau nada Angklung dihasilkan dari efek benturan tabung-tabung bambu tersebut dengan cara digoyangkan.

Terdapat beberapa jenis alat musik Angklung antara lain, Angklung Kanekes, Angklung Dogdog Lojor, Angklung Gubrag, dan Angklung Padaeng.

Kata Angklung sendiri berasal dari bahasa Sunda angkleung-angkleungan yaitu gerakan pemain angklung dan membentuk suara klung yang dihasilkannya.

Secara etimologis angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti pecah. Jadi, angklung merujuk pada nada yang pecah atau tidak lengkap.

Bentuk angklung terdiri dari dua atau lebih batang bambu dalam berbagai ukuran sesuai dengan kebutuhan tinggi rendahnya nada yang dibentuk menyerupai alat musik calung.

Menurut Dr. Groneman, Angklung telah ada di Nusantara, bahkan sebelum era Hindu. Menurut Jaap Kunst dalam bukunya Music in Java, selain di Jawa Barat, Angklung juga bisa ditemui di daerah Sumatra Selatan dan Kalimantan.

Di luar itu, masyarakat Lampung, Jawa Timur dan Jawa Tengah juga mengenal alat musik tersebut.

Di lingkungan Kerajaan Sunda (abad ke 12 – abad ke16) , Angklung dimainkan sebagai bentuk pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Sri (dewi padi/dewi kesuburan),

Selain itu, konon Angklung juga merupakan alat musik yang dimainkan sebagai pemacu semangat dalam peperangan, sebagaimana yang diceritakan dalam Kidung Sunda.

Dua tokoh yang berperan dalam perkembangan Angklung di Jawa Barat adalah Daeng Soetigna sebagai Bapak Angklung Diatonis Kromatis dan Udjo Ngalagena yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog dan salendro.

Pada tahun 1938, Daeng Soetigna, menciptakan angklung dengan tangga nada diatonis.

Angklung inovasi Daeng Sutigna tersebut berbeda dengan angklung pada umumnya yang berdasarkan tangga nada tradisional pelog atau salendro.

Inovasi inilah yang kemudian membuat Angklung dengan leluasa bisa dimainkan harmonis bersama alat-alat musik Barat, bahkan bisa disajikan dalam bentuk orkestra.

Baca Juga: Meneropong Fenomena Wibu di Indonesia: Akulturasi Budaya hingga Punya Efek Ekonomi Lokal

Sejak saat itu, Angklung semakin populer, hingga akhirnya PBB, melalui UNESCO, pada November 2010, mengakuinya sebagai warisan dunia yang harus dilestarikan.

Setelah Daeng Soetigna, salah seorang muridnya, Udjo Ngalagena, meneruskan usaha Sang Guru mempopulerkan Angklung temuannya, dengan jalan mendirikan “Saung Angklung” di daerah Bandung.

Hingga hari ini, tempat yang kemudian dikenal sebagai “Saung Angklung Udjo” tersebut masih menjadi pusat kreativitas yang berkenaan dengan Angklung.***

Tags :

Leave a comment