Fikih Minoritas, Sebuah Ikhtiar dan Menjawab Kegelisahan Pekerja Migran Jalani Puasa Ramadhan di Taiwan

2024-11-22 21:47:51
Ilustrasi
BEIJING, insidepontianak.com - Bagi sejumlah pekerja migran Indonesia di Taiwan, suasana puasa Ramadhan tahun ini agak berbeda dibandingkan dengan momentum yang sama, pada tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan tersebut bukan dilihat dari semaraknya suasana, karena memang aktivitas masyarakat setempat tahun ini lebih leluasa, dibandingkan satu hingga dua tahun lalu yang banyak aturan untuk mencegah meluasnya penyebaran wabah COVID-19. Memanasnya situasi Selat Taiwan juga bukan menjadi pembeda, antara Ramadhan tahun ini dengan tahun lalu. Kehadiran seorang utusan dari Majelis Ulama Indonesia yang telah memberikan kesan tersendiri bagi para PMI di Taiwan. Ulama muda asal Kabupaten Malang, Jawa Timur, rela men-tasarruf-kan waktunya pada awal bulan Ramadhan ini untuk membersamai para PMI. Berbeda dengan para ulama atau dai dari Indonesia lainnya, yang biasanya datang ke Taiwan untuk mengisi ceramah pada acara pengajian yang digelar PMI setiap Ahad atau tanggal merah lainnya. KH Ma'ruf Khozin di sela-sela kegiatannya yang sangat padat sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, mampu bertahan selama berhari-hari pada awal Ramadhan. Ini sesuatu yang tidak lazim, ada seorang ulama muda yang kini sedang naik daun bersedia menyisihkan waktunya pada bulan puasa tidak di negeri sendiri. "Mereka berangkat sebagai pekerja migran, namun ternyata memiliki ghirah keislaman seperti para Wali Sanga," ucapnya, dalam perbincangan dengan ANTARA. Kekagumannya kepada para kaum pekerja migran itulah yang mendorong alumni Pondok Pesantren Al Falah, Ploso, Mojo, Kabupaten Kediri, tersebut membulatkan niatnya untuk ber-khidmah dalam model yang berbeda. Baginya, PMI yang berasal dari beragam latar belakang pendidikan dan keluarga itu bukan sekadar audiens atas dakwah dan ceramahnya seperti biasanya. Justru dari para PMI itulah dia mendapatkan berbagai pengalaman tentang bagaimana bisa menyeimbangkan kehidupan antara duniawi dan ukhrowi, sekaligus bisa survive sebagai kaum minoritas di negeri orang. Kalau Wali Sanga dulu datang dari Gujarat sebagai pedagang yang kemudian berdakwah, maka para PMI kita ini kurang lebih juga begitu. Datang sebagai pekerja migran. Yang lebih membuatnya terheran lagi, ternyata majelis-majelis taklim yang dibentuk oleh para PMI di Taiwan bukan saja untuk mewadahi golongan atau komunitasnya sendiri. Tidak sedikit majelis-majelis taklim PMI tersebut menjadi tempat bagi penduduk lokal Taiwan menyatakan ikrarnya masuk Islam, dengan mengucapkan kalimat Syahadat di depan para pemimpin atau pengurus lembaga pengajian tersebut. Setiap bulan ada tujuh sampai delapan warga lokal yang masuk Islam melalui majelis-majelis taklim yang didirikan para PMI tersebut. Dalam safari Ramadhannya pada 1-5 April 2023 itu, Ma'ruf juga mendapatkan kesempatan membimbing ikrar keislaman seorang warga setempat. Ikrar syahadat tersebut tanpa rekayasa karena jumlah mualaf di Taiwan dari tahun ke tahun terus menunjukkan tren meningkst di tengah eskalasi politik lintas-Selat. Data yang dihimpun ANTARA menyebutkan bahwa selama periode April 2022 hingga Februari 2023 tercatat 78 warga Taiwan yang masuk Islam melalui berbagai majelis taklim di bawah naungan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Taiwan. Memang tidak bisa dipungkiri tren tersebut dilatarbelakangi oleh faktor pernikahan karena para PMI perempuan biasanya mengajukan syarat agar calon suaminya bersedia mengikuti keyakinannya sebelum jauh melangkah untuk membangun mahligai rumah tangga. Problematika Beragama Kekaguman Ma'ruf tidak berhenti sampai di situ karena ternyata semangat keislaman para pahlawan devisa itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Di matanya, cara berdakwah kaum PMI itu sangat luar biasa, bahkan penuh dengan pengorbanan dan perjuangan. "Mereka ini menyewa tempat, yang kalau dirupiahkan bisa mencapai 25 juta per bulan untuk menjalankan kegiatan keagamaan," ucapnya. Jer Basuki Mawa Beya demikian filosofi masyarakat Jawa yang arti sederhananya adalah untuk mencapai keberhasilan atau kebahagiaan membutuhkan biaya. Dari segi lahiriah, PMI sudah mumpuni memenuhi ekonominya secara mandiri karena memang sudah menjadi tujuan utamanya sebelum meninggalkan Tanah Air. Namun mereka juga butuh pemenuhan ruhaniah apalagi mereka ini jauh dari keluarga dan orang-orang yang dicintainya. Tentu saja biaya bukan masalah utama bagi para PMI untuk memenuhi kebutuhan ruhaniahnya itu. Fenomena inilah yang kemudian ditangkap dengan baik oleh ulama muda yang baru pertama kali menjalani ibadah puasa Ramadhan di luar negeri itu. Awalnya dia datang ke Taiwan untuk memberikan penguatan di bidang Ahlussunnah wal Jama'ah, namun bagi Ketua Aswaja Center Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur itu ada yang lebih penting. Materi fikih adalah tema yang menjadi dominasi kajian.Dalam safari Ramadhan ke berbagai daerah di Taiwan, dia menemukan berbagai problematika yang dialami para PMI. Najis mughaladah, najis level tertinggi dalam Islam yang terdapat pada anjing dan babi, merupakan masalah yang paling banyak dialami oleh para pekerja migran Muslim di Taiwan. Ma'ruf melihat ada semacam kontradiksi fikih dan budaya antara Indonesia dengan Taiwan. Umumnya umat Islam di Indonesia, termasuk para PMI di Taiwan, mazhab fikihnya menganut Syafiiyah. Namun di lain pihak, bagi sebagian besar PMI aktivitas dan kehidupan sehari-harinya di negeri itu tidak bisa lepas kedua hewan tersebut, baik sebagai binatang piaraan, penjaga rumah, atau kebutuhan konsumtif majikan dan keluarganya. Cara menyucikan najis jenis ini tergolong rumit, sebagaimana diajarkan dalam mazhab Syafi'i. Kiai Ma'ruf memberikan solusi dalam kondisi tertentu dengan menguraikannya sesuai perspektif mazhab Maliki bahwa menyucikan najis mughaladah seperti najis pada umumnya. Alternatif lain sebagaimana opini kedua mazhab Syafi'i adalah mengganti tanah dan debu setelah dibasuh tujuh kali dengan sabun dan deterjen, sehingga tidak perlu susah-susah mencari tanah. Masalah lain yang ditemuinya adalah PMI yang bekerja di kapal pencari ikan milik majikan warga Taiwan. Para PMI formal sektor perikanan yang kebanyakan waktunya berada di tengah laut ini, ketika tidak mampu menjalankan ibadah puasa wajib mengajukan tawaran pengganti berupa fidiah sebagai tebusan. Padahal, pembayaran fidiah itu hanya bisa dikenakan kepada orang yang tidak puasa Ramadhan karena sakit, bepergian jauh, atau uzur tetap. Dalam menanggapi tawaran tersebut, Kiai Ma'ruf memberikan solusi agar para PMI yang bekerja di kapal itu, melunasi utang puasanya dengan cara berpuasa setiap hari libur dalam rentang 11 bulan selain Ramadhan. "Mereka bisa meng-qadha puasa setiap hari Minggu. Tiga puluh hari Ramadan bisa rampung dalam delapan bulan jika kontinyu," ujarnya, mengalkulasi secara sederhana. Pertanyaan lain adalah soal salat jamak zuhur dan ashar karena kebanyakan para PMI yang bekerja di pabrik hanya mendapatkan waktu istirahat satu kali, yakni pada siang hari antara pukul 12.00 hingga 14.00. Menurut Kiai Ma'ruf, salat jamak taqdim zuhur dan ashar sangat memungkinkan bagi para PMI tersebut mengingat ada salah satu hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah melakukan salat jamak tidak dalam situasi bepergian atau uzur. Solusi tersebut relatif simpel dan mudah dijalankan oleh seorang Muslim dan Muslimah dalam kondisi tertentu yang sifatnya darurat. Kalau sudah di Indonesia atau dalam lingkungan normal, dia mengingatkan agar solusi-solusi ini jangan terus-terusan dilakukan, melainkan harus berpuasa secara normal. Solusi yang ditawarkan tersebut merupakan bagian dari Fiqh Aqliyat atau fikih yang diterapkan pada saat umat Islam dalam keadaan tidak memungkinkan melakukan amalan ibadah secara normal dan maksimal karena minimnya sarana dan situasi yang serba terbatas. Fiqih Aqliyat juga bisa disebut dengan Fikih Minoritas karena keberadaan pengamal fikih ini sebagai minoritas di tengah penduduk mayoritas yang non-Muslim. Seperti halnya para PMI yang tinggal bertahun-tahun di Taiwan untuk memperbaiki taraf hidup dan menjaga kelangsungan ekonomi keluarganya. Ma'ruf berpendapat bahwa Fikih Minoritas tersebut sebagai bentuk keringanan dari Allah yang tidak membebani hamba-Nya di luar kadar kemampuannya. Di sisi lain karena terbukanya perbedaan pendapat para ulama kita diperkenankan memilih pendapat yang lebih ringan dalam kondisi yang serba terbatas. Solusi tersebut sebenarnya bukan hanya untuk para PMI Taiwan, melainkan juga bagi WNI secara umum yang tinggal di negara atau wilayah yang populasi mayoritasnya non-Muslim. Diharapkan hal itu menjadi jawaban alternatif bagi mereka ketika hendak menjalankan kewajiban-kewajibannya dalam situasi yang serba terbatas dan darurat.(ant)***

Leave a comment