AlPeKaJe Serukan Perduli Kelompok Rentan
PONTIANAK, insidepontianak.com – Agar pemangku kebijakan dan masyarakat umum bisa semakin memberi tempat yang pantas bagi kelompok rentan.
Ditegaskan Ketua AlPeKaJe, Norberta Yati Lantok dalam memaknai Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day (IWD), yang diperingati setiap 8 Maret.
Untuk itu Aliansi Perempuan Kalimantan untuk Perdamaian dan Keadilan Gender (AlPeKaJe) menggedor kesadaran masyarakat mengenai kondisi kelompok rentan yang masih terus terancam dalam berfungsinya pembangunan.
Melalui siaran pers di Pontianak AlPeKaJe menjelaskan, mereka termasuk kelompok yang mencakup kelompok rentan perempuan, anak, penyandang disabilitas, masyarakat adat, serta kelompok gender lainnya.
“Mereka ini akan menerima dampak paling berat dari suatu kinerja pembangunan yang tidak bijaksana. Harus semakin mendorong munculnya pelibatan perempuan dalam pegambilan kebijakan,” kata Norberta Yati.
Wakil Ketua AlPeKaje, Laili Khainur, menekankan pentingnya upaya Pengarus Utamaan Gender (PUG) dalam proses pembangunan.
Sebab, pembangunan selama ini masih sarat dengan ketimpangan gender secara nilai. Nilai maskulinitas lebih mendominasi dibandingkan yang feminimitas.
“Kondisi ini seharusnya menyelesaikan dengan adanya keberimbangan dengan tampilnya perempuan untuk mengangkat kebutuhan aspirasi dan hak mereka agar terakomodir,” jelasnya.
Kaum perempuan melakoni peran domestik seperti mengasuh dan merawat anggota keluarga, hingga sebagai pelaku ekonomi. Pentingnya penekanan inklusi ekonomi terhadap perempuan.
“Meskipun sebagai pelaku ekonomi, perempuan lebih terdengar sebagai pencari nafkah tambahan karena suami sebagai kepala keluarga. Namun pada kondisi lain perempuan justru harus berperan sebagai kepala keluarga. Posisi ini menempatkan perempuan sebagai pelaku ekonomi mikro serta sektor informal lainnya,” papar Laili Khainur.
Secara kodrat, perempuan memiliki kebutuhan yang khas yang berbeda dengan kaum laki-laki. Oleh karena itu, kebutuhan mereka juga sangat khas.
Anggota pengurus AlPeKaJe, Reni Hidjizah, mengungkakan, dalam posisi perempuan yang serba gamang tersebut, mereka memanggul beban berat di bahu.
"Isu kekerasan berbasis gender juga harus tetap menjadi perhatian khusus," urainya.
Sekretaris AlPeKaJe, Herculana Ersinta, mengatakan kasus bermunculan di permukaan tiada habis-habisnya. Belum lagi kasus-kasus yang tidak terungkap dengan alasan tabu, malu, atau alasan sosial, termasuk tidak jelasnya penyelesaian kasus-kasus.
“AlPeKaJe menyatakan kegeraman atas situasi ini, karena kelompok rentan seperti perempuan dan anak masih belum mendapatkan rasa aman dan keadilan ketika menjadi korban,” tegas Herkulana Ersinta.
Di Kalimantan Barat sendiri, tahun lalu publik heboh dengan kasus kekerasan terhadap anak secara tak terduga dengan pelaku yang merupakan public figur.
Kemudian kasus kekerasan hingga menyebabkan kematian anak di dunia, yang tak terduga pelaku merupakan orang tua angkat. Pemberitaan lainnya juga mengisahkan, para pelaku sering muncul dari kalangan orang dekat korban sendiri.
“Kondisi ini semakin menegaskan posisi korban sebagai pihak yang sangat rentan dan tidak berdaya. Diperlukan tindak penegakan hukum yang tegas dan memahami masalah, agar di depannya bisa lebih tetangani dengan baik,” harap Herkulana Ersinta.
Beberapa pemberitaan terkait "Kekerasan Berbasis Gender, Potret Gelap Indonesia", menjelaskan masih banyak kasus kekerasan seksual yang diselesaikan di luar proses peradilan. Pihak aparat penegak hukum juga kerap memfasilitasi “damai” dan menghentikan penyidikan dengan alasan keadilan restoratif karena telah diselesaikan kekeluargaan.
Meski sebenarnya, Indonesia memiliki sejumlah produk hukum untuk melindungi perempuan dari berbagai kekerasan.
Mulai dari UU Penghapusan KDRT, Tindak Pidana Perdagangan Orang, hingga UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang diundangkan tahun 2022 lalu.
Bahwasannya implementasi UU tersebut masih menghadapi berbagai kendala, terutama lemahnya perspektif aparat penegak hukum.
Hingga kini para perempuan korban kekerasan mengalami kesulitan dalam mengakses keadilan. Kasus KDRT, terutama kekerasan terhadap istri, masih menduduki peringkat tertinggi.
UU TPKS yang dinilai sangat progresif, belum bisa jadi “senjata pamungkas” dalam mencegah dan menangani kasus-kasus TPKS.
Pemahaman masyarakat dan penegak hukum, tetap menjadi hambatan terbesar dalam implementasi UU TPKS. Di tingkat masyarakat, kurangnya sosialisasi mengenai produk hukum ini pun menjadi tantangan tersendiri.
Organisasi, lembaga, dan komunitas perempuan, bermaksud menjadikan sosialisasi produk hukum ini sebagai bagian dari program yang massal dan terarah.
“Dengan demikian, kedepannya akan semakin banyak kelompok rentan, terutama perempuan dan anak, yang mendapatkan pengetahuan bagaimana mereka mendapatkan perlindungan,” kata Herkulana Ersinta.
Pengawas AlPeKaJe Kalimantan Tengah, Mastuati Saha, mengingatkan pentingnya pendidikan dan pelatihan bagi perempuan terkait hal ini.
Adanya pendidikan dan pelatihan itu akan membuat kaum perempuan semakin menyadari hak-haknya. Juga mengetahui kerentanan yang ada, sehingga mampu memperkuat diri jika merasaakan dijadikan target kekerasan.
AlPeKaJe juga menyoroti proses pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Pembangunan IKN Nusantara di Provinsi Kalimantan Timur berpotensi menimbulkan kerusakan iklim serta peminggiran kelompok rentan tersebut.
Untuk kerusakan iklim, gejalanya sudah tampak dengan dibukanya hutan untuk keperluan infrastruktur IKN.
Salah satu pemberitaan juga menyatakan Satelit NASA menampilkan perbandingan foto lokasi IKN pada ApriL 2022 yang tutupan hutan masih tampak dalam hamparan hijau.
Sementara pada Februari 2024, kawasan itu terlihat sebagai "tanah telah tersingkap untuk membangun infrastruktur jalan yang membelah hutan Kalimantan."
Sementara di sisi lain IKN akan menjadi kota metropolitan yang "hijau dan dapat dilalui dengan berjalan kaki", didukung oleh energi terbarukan, dengan 75 persen dari kota yang tersisa adalah hutan.
Norberta Yati mengulas, perubahan iklim yang berdampak pada ketahanan pangan, berpengaruh langsung pada perempuan.
Sebab, kaum perempuan dalam kehidupan sehari-harinya bersinggungan erat dengan pangan untuk memenuhi konsumsi keluarga. Banyak di antara mereka yang bekerja di sektor informal seperti berkebun, bahkan meramu sayuran di hutan.
“Krisis iklim berdampak pada kelangkaan pangan dan harga pangan di pasaran yang tidak terjangkau oleh masyarakat kelas bawah. Saat ini saja, orang sudah mengeluhkan harga beras yang mahal,” ujar Norberta Yati.
Sementara itu, anggota Pengurus AlPeKaJe, Julia, berbaur isu permusuhan lingkungan yang memantik kekhawatiran, dengan beberapa kali mengemukanya wacana pembagunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Disalah satu pemberitaan juga menyatakan Dewan Energi Nasional (DEN) mengkaji proyeksi total kapasitas terpasang PLTN bisa mencapai 70 gigawatt (GW) pada tahun 2060. Potensi wilayah paling banyak ada di Kalimantan Barat.
DEN menerangkan PLTN di Kalimantan Barat akan dibangun di Pulau Semesak, Kabupaten Bengkayang. Mereka menilai, kawasan tersebut dipilih dengan mempertimbangkan aspek sosial, keamanan, dan geologi.
Julia menyebut, meski solusi menjadi pasokan listrik, PLTN masih menjadi momok dengan beberapa kejadian bocornya reaktor nuklir di sejumlah negara.
“Juga, dampak lingkungan seperti pengelolaan limbah radioaktif yang masih belum menemukan cara terbaik, selain memendamnya di dalam tanah, tetap menjadi ancaman masa depan lingkungan,” tutupnya. ***
Leave a comment