Kopi Tubruk: Filosofi Rasa yang Jujur Bagi Ari Jinu
LANDAK, Inisidepontianak.com - Bagi Ari Jinu, pemilik dan pendiri Kana Cafe di Ngabang, secangkir kopi adalah perkara yang harus disikapi dengan kejujuran. Bukan hanya jujur pada rasa biji, melainkan juga jujur dalam menikmati setiap prosesnya.
Di tengah maraknya ritual kopi modern yang mengandalkan alat presisi dan teknik rumit, Ari kukuh berpegang pada cara paling sederhana, yakni kopi tubruk.
“Mau menikmati kopi itu simpel, ya sudah, dibuat tubruk saja,” ujar Ari, seorang fotografer yang kemudian banting setir menjadi pengusaha kedai kopi.
Kopi tubruk adalah proses yang sangat sederhana biji kopi yang digiling halus atau sedang langsung diseduh dengan air panas, tanpa alat penyaring. Dalam kesederhanaannya inilah letak kejujurannya.
Dengan metode ini, tidak ada yang tersembunyi. Rasa si biji kopi, dengan segala keasaman, kemanisan, dan kepahitan alami, akan keluar apa adanya, tanpa filter.
Ampas kopi yang mengendap di dasar gelas justru menjadi saksi bisu dari proses yang jujur ini. Jika biji kopi itu berkualitas, rasanya akan enak.
Jika tidak, rasanya pun akan terungkap tanpa ada yang bisa disalahkan selain kualitas biji itu sendiri.
Tubruk, dengan segala kesederhanaannya, menjadi jembatan bagi penikmat untuk mencicipi esensi sesungguhnya dari biji kopi yang diseduh. Ari percaya, metode ini adalah cara paling tulus untuk mengungkap karakter biji.
“Semua yang dipunya dari beans itu akan keluar di waktu kita bikin kopi itu di tubruk,” jelas Ari, Senin (08/12/2025).
Meskipun di kalangan profesional menguji kualitas biji kopi lebih mengutamakan proses cupping atau decapping yang terstandardisasi.
“Tapi kalau buat saya pribadi, ya tubruk sajalah. Simpel, enak, rasa paling jujur ya tubruk,” kata Ari sambil tertawa ringan.
Namun, filosofi ini dihadapkan pada tantangan nyata di Ngabang. Kompleksitas rasa kopi yang dipercaya Ari tidak hanya sebatas pahit justru berbenturan keras dengan memori rasa lidah masyarakat lokal.
Tantangan itu dimulai sejak ia merintis Kana Cafe pada tahun 2022. Ari menyadari, banyak orang terlanjur meyakini bahwa kopi yang enak harus identik dengan rasa pahit yang kental.
“Sedangkan yang saya tahu, kopi itu tidak hanya rasa pahit,” ungkapnya.
Kopi, lanjut dia, juga memiliki rasa asam, rasa manis, dan kompleksitas lain yang menuntut kepekaan lidah. Ia bahkan menyarankan, khususnya untuk single origin Arabika, gula sebaiknya dihindari karena justru merusak karakter kopi itu sendiri.
Kesalahan Ari, adalah kurang mendalami karakter dan budaya ngopi masyarakat Ngabang. Ingatan ngopinya masih terpaut kuat dengan kebiasaan di Yogyakarta, tempat ia banyak menghabiskan waktu, di mana sore hari adalah waktu paling ideal ditemani suasana dan pemandangan menyenangkan.
“Di sini (Ngabang) ternyata sore itu ya sudah, orang-orang pulang kerja. Ya sudah, pulang. Tidak terlalu banyak aktivitas di sore hari,” ujarnya membandingkan.
Tantangan terbesarnya bukan pada waktu, melainkan pada selera. Kebiasaan masyarakat Ngabang hanya mengenal kopi harus memiliki rasa pahit.
“Jadi, ketika kita bikin kopi tapi tidak ada rasa pahitnya, itu sama saja dengan tidak ngopi,” kata Ari.
Menghadirkan kopi dengan profil rasa yang kaya, misalnya dominan asam atau buah-buahan, sama saja dengan menjual minuman yang tidak dianggap kopi di pasar lokal.
Meski harus beradaptasi dengan selera pasar yang menuntut rasa pahit, filosofi Ari dalam mendirikan Kana Cafe tetap berpusat pada pengalaman ngopi yang intim dan mendalam.
Kana adalah representasi dari dirinya, yang menyukai tempat ngopi yang tidak terlalu ramai dan tidak berisik. Ia ingin orang yang datang benar-benar menikmati minumannya dan santai dengan obrolan yang terjadi.
“Bisa fokus ngobrol. Lagi break ngobrol, kita ngopi, oh kopinya enak. Itu akan sangat-sangat bikin mood tuh naiklah,” papar Ari.
Ia menyadari, pasarnya di Ngabang masih banyak yang menginginkan tempat yang hits, yang bisa memberikan identitas baru bagi pengunjung. Namun, Ari tetap berpegang teguh pada prinsipnya.
“Yang terpenting kita jualan sesuatu yang minimal kita suka,” tegasnya.
Dengan menyukai produknya sendiri, ia yakin akan ada satu dua orang yang memiliki pemikiran yang sama. Ari menyimpulkan bahwa ia ingin orang-orang mencapai tujuan ngopi yang sesungguhnya ngobrol intens dan menikmati kopi yang enak.
“Ya udahlah, namanya buka usaha yang penting buka aja dulu. Belajarnya belakangan. Trial error-nya itu belakangan,” tutup Ari, merangkum perjalanan jujurnya bersama kopi di Ngabang. (*)

Leave a comment