Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan Belum Menghitung Dampak Kerusakan Lingkungan
JAKARTA, insidepontianak.com - Posisi Indonesia dalam konteks implementasi ‘sustainability’ dan mitigasi perubahan iklim bukan lagi pilihan, tapi kewajiban.
Itulah yang mendorong Indonesia ikut ‘Paris Agreement’. Mencoba melakukan transisi energi menuju energi terbarukan. Dan memiliki rencana “net zero emission” di tahun 2060.
Namun, untuk mencapai semua yang telah direncanakan, sepertinya tak semudah membalikkan telapak tangan.
Energi yang digunakan dalam pembangunan masih banyak menggunakan energi fosil. Terutama batu bara yang justru menjadi kontributor utama emisi gas rumah kaca.
Hal itu terungkap dalam acara ‘Green Webinar’ dengan tema: Tantangan Pembangunan dan Ekonomi Berkelanjutan.
Seminar ini terselenggara berkat kerja sama Asosiasi Media Siber Indonesia atau AMSI dan BBC Media Action yang berlangsung secara daring pada Selasa (9/1/2024).
Salah satu upaya pemerintah untuk mengimplementasikan ‘sustainable development’ atau pembangunan berkelanjutan adalah melakukan transisi energi menuju energi terbarukan.
Langkah pemerintah itu memang terlihat dari peningkatan penggunaannya dalam bauran energi primer. Namun, jumlahnya sedikit dibanding batu bara, minyak, dan gas bumi.
Di sisi lain, transisi energi pun dinilai bukan solusi ‘one size fits all’ dalam konteks pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Menurut salah satu pembicara, guru besar ekonomi, Bambang Brodjonegoro, yang pernah menduduki sejumlah posisi menteri di kabinet menyebut bahwa, dalam konteks ‘sustainability’ yang paling sulit dari pembangunan ekonomi adalah implementasinya yang belum menghitung ‘depletion’ atau berkurangnya nilai aset lingkungan ke dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya, pembangunan ekonomi biasanya akan berujung pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto atau PDB.
“Yang intinya memang belum memasukkan unsur-unsur dari lingkungan hidup, artinya faktor kerusakan lingkungan yang terjadi ketika melakukan, misalnya, ekstraksi dalam pertambangan dianggap normal untuk mencari pertumbuhan,” ujarnya.
Tak hanya pemerintah, peran swasta dan pelaku usaha sangat diperlukan dalam upaya mengimplementasikan pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Namun, menurut Chairperson of advisory board, Social Investment Indonesia, Jalal, hampir tidak ada pelaku usaha yang punya komitmen dalam konteks ‘sustainable financing’.
Hal itu tak luput dari ‘roadmap’ keuangan berkelanjutan yang baru dimulai di tahun 2014 dan implementasi regulasinya yang baru berlaku di tahun 2019.
Lambatnya penerapan pembangunan dan ekonomi berkelanjutan berdampak pada laju krisis iklim. Di tahun 2023, dampak dari perubahan iklim semakin terasa.
Mulai dari suhu bumi yang meningkat, bencana alam, hingga gagal panen yang memunculkan kekhawatiran adanya krisis pangan.
Karena itu, pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi yang berwawasan lingkungan perlu terus didorong dan semua pihak mengambil perannya masing-masing.
Ketua umum AMSI Wahyu Dhyatmika, pun mengajak pers dan semua pihak untuk memahami pentingnya isu lingkungan, dan membangun kesadaran bersama bahwa perubahan iklim bisa dicegah selama semua pihak memahami dan mau bekerja sama.
“Kalau kita tidak bisa mengubah gaya hidup kita, kalau kita tidak bisa menemukan model pembangunan ekonomi alternatif maka kita akan terus bergerak ke arah jurang yang akan menjadi titik balik dari bumi yang kita diami bersama,” ucapnya.***
Leave a comment