Paradoks Industri Arang Membabat Mangrove: Menjadi Komiditi Ekspor Ilegal, Daerah Merugi

Produksi arang bakau di Desa Batu Ampar, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, menyisakan paradoks. Di satu sisi, menjadi mata pencaharian penyelamat perut banyak warga. Namun dampaknya, membuat kerusakan hutan mangrove yang vital. Di sisi lain, ada dugaan komoditas ini telah menjadi jaringan ekspor ilegal, merugikan daerah.
Dari kejauhan, Desa Batu Ampar tampak tenang. Tapi mendekat ke pusat desa, aroma asap arang menyergap kuat. Tungku-tungku besar berdiri di sana. Berderet seperti penjaga senyap hutan mangrove yang kini kian menyusut.
Setiap hari, orang-orang memikul batang mangrove atau kayu bakau, diambil dari hutan pesisir sekitar—dijadikan arang, demi menyambung hidup.
Sementara, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2025, melarang eksploitasi hutan mangrove yang mengarah pada pengubahan fungsi atau perusakan.
Di balik denyut ekonomi tradisional arang bakau, belakangan terkuak sesuatu yang lebih besar: komuditas yang dulunya usaha keluarga, bertransformasi menjadi industri jaringan ekspor jalur tak resmi, diduga dikendalikan korporasi.
Ini terbukti setelah pihak Lantamal XII Pontianak menyita 84 ton arang bakau pada 26 Juni 2025. Karena tak mengantongi Surat Keterangan Sah Hasil Hutan (SKSHH), dan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah Kubu Raya. Praktik ilegal ini disebut-sebut berpotensi merugikan negara senilai Rp16 miliar.
“Puluhan ton arang bakau ini diduga bakal diekspor ke luar negeri, tujuan Korea,” kata Komandan Lantamal XII, Laksamana Pertama TNI Hariyo Poernomo.
Ia menegaskan, penegakan hukum yang dilakukan demi menjaga keberlanjutan lingkungan. Penyelundupan hasil hutan tanpa izin merugikan negara, dan mengancam ekosistem pesisir, berdampak abrasi.
Lost Pajak
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Barat, Adi Yani memastikan, kegiatan ekspor arang bakau tak berkontribusi bagi pendapatan daerah dalam bentuk pajak.
"Tidak ada kotribusi bagi PAD sama sekali," tegasnya.
Ia pun memastikan, kasus penertiban arang bakau yang diungkap Lantamal XII Pontianak masih dalam penyelidikan aparat berwenang.
"Sedang diperiksa Gakkum LHK," ujarnya.
Sementara, pihak Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, belum memberikan penjelasan terkait perkembangan penangan kasus ini.
Upaya konfirmasi dilakukan Insidepontianak.com lewat pesan WhatsApp, menghubungi Kepala Seksi Gakkum LHK Wilayah III Pontianak, Rusadi dengan mengirimkan sejumlah pertanyaan, tapi belum dijawab.
Protes Warga
Pasca-aparat bertindak, demonstrasi warga pun meletus, pada Senin (7/7/2025). Penertiban ini dikhawatirkan berdampak pada produksi arang bakau tradisional tak berlanjut lagi. Di sisi lain, unjuk rasa warga menuntut kepastian legalitas produksi arang bakau.
"Kami mempertanyakan tentang legalitas, bukan protes terhadap penahan kapal,” kata Kiki, koordinator aksi, kepada Insidepontianak.com.
Ia mengklaim tiga ribuan masyarakat Desa Batu Ambar menggantungkan hidup dari jual arang bakau tradisional—mulai dari pencari bahan baku, penjaga tungku, hingga pengemas arang.
Camat Batu Ampar, Alfian menegaskan, produksi arang yang dihasilkan petani, sejak zaman dahulu tidak pernah bermasalah.
Namun, situasi berubah setelah hadirnya ‘perusahaan’ ikut menggarap sektor ini. Sehinga, arang bakau tak lagi menjadi produk lokal rumah tangga.
Industri arang kayu di Indonesia pun menjadi menggoda setelah tahun 2021, karena nilai ekspornya mencapai USD 292,1 juta. Menjadikan eksportir arang kayu terbesar dunia.
Pangsa ekspor arang kayu dari Indonesia mencapai 20,3 persen di pasar global. Pasar utamanya: Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok.
Semua negara ini mengincar arang berkualitas tinggi dari mangrove atau bakau. Mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kalbar, Gatot menyebut arang ini lebih unggul dari arang batok kelapa.
Potensi ekspor yang besar, namun dengan regulasi yang lemah dan lemahnya pengawasan, menjadikan hutan mangrove di Batu Ampar sebagai korban utama.
Mangrove Sekarat
Penelusuran Insidepontianak.com, menemukan informasi bahwa industri rumahan arang bakau di Desa Batu Ampar telah bertransformasi menjadi rantai pasok ekspor tidak transparan.
Sebuah koperasi diduga berperan sebagai pengepul. Arang dikumpulkan, lalu dijual ke sebuah perusahaan cangkang, berbasis di Adisucipto, Kubu Raya.
Perusahaan ini diduga menjadi jembatan ekspor arang bakau dari Desa Batu Ampar ke luar negeri. Namun, jalur perdagangannya gelap. Tak jelas pajaknya. Juga tak transparan dokumennya.
Sumber dari Lembaga JARI Borneo pun menyebut, tidak ada kontribusi signifikan dari industri ini terhadap pemasukan daerah.
Di sisi lain, dampak ekologis dari pembabatan hutan mangrove dijadikan arang, telah mencapai level kritis. Data LIPI mencatat, lebih dari 35% mangrove Batu Ampar telah rusak.
Hutan ini adalah rumah bagi spesies langka seperti bekantan, pesut, dan beruang madu. Jika eksploitasi terus dibiarkan, kehancuran total hanya tinggal menunggu waktu.
Hera Yulita dari JARI Indonesia Borneo memperingatkan, kerusakan hutan manrove juga memicu bencana erosi, dan banjir rob.
"Kita kehilangan hutan, kehilangan ikan, kehilangan masa depan," tegasnya.
Ironisnya, program perhutanan sosial dengan lahan seluas 33.000 hektare yang sudah diberikan sejak 2017 kepada masyarakat Desa Batu Ampar, belum dimanfaatkan optimal.
Padahal, inilah solusi nyata yang disiapkan negara. Bukan menebang kayu, melainkan memanfaatkan hasil hutan non-kayu seperti madu, kepiting, dan tanaman herbal.
“Kita sudah arahkan masyarakat ke hasil hutan non-kayu. Tapi mereka butuh pendampingan serius dan jaminan pasar,” kata Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah Kubu Raya Ya’ Suharnoto.
Pelajari Perizinannya
Wakil Bupati Kubu Raya, Sukiryanto memastikan, pemerintah daerah akan segera mempelajari secara menyeluruh jalur perizinan produksi arang yang kini menjadi paradoks.
"Nanti coba kita akan pelajari, sejauh mana perizinan arang," kata Sukiryanto, Rabu (9/7/2025).
Ia mengklaim, masyarakat yang memproduksi arang bakau di Batu Ampar, bukanlah pelaku industri. Tetapi mereka hanya kelompok tani dan warga desa yang memanfaatkan limbah atau kayu dari hutan rakyat.
"Karena itu, regulasi yang diterapkan harus mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi masyarakat lokal," ucapnya.
Untuk memberikan kepastian kepada petani arang bakau di Desa Batu Ampar, ia berjanji segera berkoordinasi dengan instansi teknis, seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Kehutanan, guna menelusuri alur legalitas produksi dan distribusi arang.
“Kita ingin carikan jalan tengah agar mereka bisa tetap produksi tanpa melanggar hukum. Mudah-mudahan nanti kita dapat menemukan solusinya," harapnya.***
Leave a comment