Komite Keselamatan Jurnalis: Kasus Jak TV, Kejagung Harus Berkoordinasi dengan Dewan Pers

PONTIANAK, insidepontianak.com - Kejaksaan Agung menetapkan tiga tersangka, yaitu advokat Junaedi Saibih (JS) dan Marcela Santoso (MS) serta Tian Bahtiar (TB) Direktur Pemberitaan Jak TV.
Dalam sangkaan para tersangka diduga melakukan permufakatan jahat untuk mengganggu penanganan kasus dugaan suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) kepada tiga korporasi, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group yang bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Kejagung menilai bahwa para tersangka berupaya membuat narasi negatif melalui publikasi sejumlah berita untuk mengganggu konsentrasi penyidik.
Ketiganya disangkakan melanggar Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Dalam siaran pers tersebut, Kejagung menjadikan sejumlah topik pemberitaan yang dipublikasikan oleh Perusahaan Media Jak TV sebagai alat bukti yang disita. Sejumlah konten publikasi pemberitaan pun telah dihapus dan sudah tidak dapat diakses oleh publik.
Dalam rilis yang dibagikan Komite Keselamatan Jurnalis, publikasi pemberitaan media yang dinilai digunakan oleh aparat penegak hukum sebagai alat untuk merintangi dan menghalangi proses hukum (obstruction of justice) tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi para jurnalis, perusahaan media serta kelompok masyarakat sipil lainnya.
Penghalangan proses hukum (obstruction of justice) harus merupakan tindakan secara langsung/material menghalangi penyidikan, penuntutan dan persidangan. Pemberitaan, opini publik, penyampaian pendapat di muka umum jelas bukanlah tindakan perintangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi.
Fokus atau tidaknya Konsentrasi penyidik akibat membaca pemberitaan media dan penilaian masyarakat dalam kinerja penanganan perkara jelas tidak berhubungan dengan penyidikan dan penuntutan, juga tidak menghalangi penyidikan dan penuntutan. Kami melihat terdapat kesewenang-wenangan kekuasaan di sini.
Konten publikasi yang dimaksud sebagai alat bukti harus bisa diakses publik dan pihak-pihak terkait seperti Dewan Pers agar dapat dinilai apakah konten tersebut melanggar kode etik jurnalistik atau kritik terhadap proses hukum yang sedang berlangsung.
Tindakan aparat penegak hukum harus dipandang sebagai tindakan pengawasan yang wajar untuk dijalankan oleh Masyarakat sipil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sehingga tidak dapat dikenakan delik pidana apapun.
Selain itu, UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers memiliki mekanisme penyelesaian sengketa Pers yang harus dilalukan melalui Dewan Pers. Ketentuan ini bahkan juga tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam Pasal 2 meliputi kerjasama dalam kegiatan.
Dimana ketentuan MoU tersebut memandatkan institusi Kejaksaan untuk terlebih dahulu berkoordinasi dan melakukan konsultasi perihal substansi pemberitaan yang digunakan oleh Kejaksaan Agung sebagai alat bukti utama dalam indikasi tindak pidana obstruction of justice.
Dewan Pers nantinya akan mengeluarkan Penilaian terhadap muatan keseluruhan konten artikel pemberitaan tersebut, dan dapat memberikan petunjuk kepada Aparat Penegak Hukum perihal indikasi pelanggaran etik atau pelanggaran Pidana dalam proses dan muatan penyusunan berita yang disita sebagai alat bukti tersebut.
Pengabaian atas mekanisme penilaian etik dalam rezim hukum kemerdekaan Pers akan berpotensi mengafirmasi indikasi praktik kriminalisasi terhadap ekosistem kebebasan berekspresi dan kemerdekaan Pers.
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mendukung penuh praktik pemberantasan korupsi secara holistik, sekaligus mendorong Aparat Penegak Hukum untuk menggunakan instrumen hukum pidana yang relevan dalam mekanisme penyelesaiannya.
Penggunaan sejumlah pasal seperti Pasal 21 UU Tipikor (Obstruction of justice) harus digunakan secara hati-hati karena berpotensi digunakan sebagai pasal karet terhadap kritik yang seringkali disampaikan publik pada proses penegakan hukum pada kasus tindak pidana korupsi.
Penggunaan Pasal 21 UU Tipikor secara serampangan juga akan mengganggu kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945 dan UU lainnya.
Untuk itu, Komite Keselamatan Jurnalis mendorong :
1. Kejaksaan Agung melakukan koordinasi langsung dengan Dewan Pers perihal seluruh konten media yang dijadikan sebagai alat bukti sebagaimana ketentuan nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kejaksaan Republik Indonesia.
2. Kejaksaan Agung untuk meninjau ulang penggunaan delik Pidana Obstruction of Justice dan membuka akses atau menjelaskan substansi konten yang dijadikan alat bukti, agar publik dapat menilai apakah konten tersebut memenuhi unsur pidana atau sekadar kritik terhadap proses hukum.
3. Mendesak Dewan Pers segera melakukan pemeriksaan etik terhadap oknum jurnalis yang diduga melakukan pelanggaran, termasuk menelusuri secara menyeluruh karya jurnalistik yang telah dipublikasikan oleh yang bersangkutan.
Langkah ini penting agar publik mendapatkan kejelasan dan keadilan, serta untuk memastikan bahwa karya jurnalistik yang beredar benar-benar memenuhi prinsip dasar jurnalisme yang beretika, akurat, dan berpihak pada kepentingan publik.
4. KKJ tetap mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi, namun mendorong agar proses hukum dilakukan secara akuntabel dan proporsional, tanpa melanggar prinsip-prinsip kebebasan pers.
5. Komite Keselamatan Jurnalis mendorong jurnalis dan media bekerja secara profesional dalam melakukan liputan dan memproduksi karya jurnalistik. Jurnalis harus dapat menjaga independensi dalam menjalankan tugas jurnalistik.
Setiap jurnalis wajib menaati kode etik jurnalistik termasuk diantaranya tidak boleh menyalahgunakan profesi dan menerima suap. Berdasarkan ketentuan pasal 15 ayat (2) huruf c UU Pers, Dewan Pers berfungsi menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik. (RED)
Leave a comment