Kuliah Gratis Bagi Siswa Berprestasi dan Kurang Mampu
Pendidikan merupakan pondasi dasar hidup manusia. Pendidikan menjadi sarana menuju kehidupan lebih baik, secara akal dan pemikiran. Di Indonesia, kita memiliki beberapa kali perubahan dalam penerapan UU terkait pendidikan.
Setelah kemerdekaan, kita memiliki Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950. UU itu mengatur sistem pendidikan, setelah sebelumnya sistem pendidikan di Indonesia, masih mengacu sistem kolonial. UU Pendidikan mengatur sistem pendidikan, tujuan, dan lainnya. Setelah itu, UU itu diganti menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954. Selanjutnya, mengalami perubahan menjadi Undang Undang No. 2 Tahun 1985, dan UU No 20 Tahun 2003.
Pendidikan merupakan pondasi bagi negara, untuk mempersiapkan penerus generasi selanjutnya. Karena itu, pendidikan harus memberikan pengetahuan, ketrampilan, kemampuan dasar bagi anak didik. Namun, pendidikan tentu saja bukan mesin pencetak tenaga kerja atau pabrik bagi kebutuhan industri tenaga kerja. Pendidikan harus memanusiakan manusia itu sendiri.
Paulo Freire, tokoh pendidikan dunia dalam bukunya, “Pendidikan yang Membebaskan” menjelaskan, "Seseorang hanya dapat mengetahui bila realitas natural, kultural, dan historis yang melingkupiny.a. Problematisasi seperti itu adalah antitesis dari apa yang oleh para teknokrat disebut problem-solving. Problematisasi ini berarti melibatkan seluruh rakyat dalam kodifikasi realitas total menjadi simbol-simbol yang dapat menggugah kesadaran kritis, serta mendorong mereka mengubah hubungan dengan alam dan kekuatan-kekuatan sosial."
Menurut UU No 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, ada beberapa prinsip dasar yang harus dimiliki dalam suatu sistem pendidikan. Salah satunya, keterlibatan semua warga negara untuk menyukseskan pendidikan. Bunyinya, “Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Prinsip di atas wajib diterapkan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional di Indonesia dalam rangka mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.”
Dalam konteks ini, siapa pun sebagai warga negara, harus terlibat dan membantu pelaksanaan pendidikan, sehingga dapat menyukseskan pendidikan. Misalnya, orang secara perorangan atau perusahaan, membantu agar anak-anak yang berprestasi dan kurang mampu, bisa meneruskan pendidikan atau kuliah.
Bantuan meneruskan pendidikan atau kuliah, bisa dilakukan dengan bantuan biaya uang kuliah, biaya tempat tinggal atau asrama, dan kebutuhan sehari-hari. Kenapa hal itu harus dilakukan? Karena masih banyak orang di Indonesia, belum mengenyam pendidikan dengan baik.
Data Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, pada pertengahan tahun 2021, jumlah warga negara di Indonesia mencapai sekitar 272,23 juta orang. Dari angka tersebut, warga tidak sekolah sebesar 63,49 juta orang (23,32%). Belum tamat SD, 31 juta jiwa (11,39%). Tamat SD, sebanyak 64,84 juta orang (23,82%). Tamat SLTP, sebanyak 39,67 juta orang (14,57%). Tamat SLTA, sebanyak 56,15 juta orang (20,63%). Pendidikan D1 hingga D3, sebanyak 17,08 juta orang (16,7%). Jenjang S1, sebanyak 11,58 juta orang (4,25%). Jenjang S2, sebanyak 822,47 ribu orang (0,03%). Jenjang S3, sebanyak 59,19 ribu orang (0,02%).
Bila kita melihat angka dan prosentase penduduk di Indonesia berdasarkan tingkat dan jenjang pendidikan yang diraih, tentu saja membuat kita miris. Tingkat pendidikan hingga S1, belum mencapai angka 5 persen dari semua jumlah penduduk di Indonesia. Padahal, bila bangsa Indonesia ingin maju, harus semakin banyak orang yang mengenyam pendidikan.
Selanjutnya, setelah orang mulai mendapatkan pendidikan layak, kualitas dan mutu pendidikan harus terus ditingkatkan. Misalnya, meningkatkan kualitas (mutu) dan kuatititas (jumlah) tenaga pengajar pendidikan. Selain itu, tentu terkait mutu dan jumlah fasilitas pendidikan. Semakin banyak dan bagus kualitas guru dan fasilitas pendidikan, bakal semakin baik kualitas pendidikan di Indonesia.
Meskipun pemerintah sudah menganggarkan 20% APBN dan APBD untuk memajukan pendidikan, nyatanya hingga saat ini, kualitas dan mutu pendidikan kurang bergeser maju.Terutama pendidikan di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Karenanya, semua warga negara harus terlibat dalam menuntaskan masalah pendidikan. Contohnya, orang mampu dan perusahaan yang bergerak di wilayah tersebut, harus memberikan perhatian lebih serius dalam bidang pendidikan.
Perusahaan harus lebih memprioritaskan Corporate Social and Responsibility (CSR) kepada warga di sekitar perusahaan, komunitas dan lingkungan, yang terdampak operasional perusahaan. Memberikan pendidikan yang baik melalui bea siswa kepada warga di sekitar perusahaan, tentu pilihan yang baik dan manusiawi, sehingga warga bisa merasakan kehadiran perusahaan dalam kehidupan mereka.
Berdasarkan BPS Provinsi Kalbar, data lulusan anak SMA di Kalbar, tahun 2020 sebesar 131.849 orang. Tahun 2021, sebesar 131.194 orang. Tahun 2022, sebesar 130.240 orang. Di Melawi, jumlah siswa SMU tahun 2020 berjumlah 5.625 orang. Tahun 2021, berjumlah 5.681 orang. Tahun 2022, berjumlah 5.524 orang. Artinya, jumlah itu bisa dibagi kepada perusahaan yang ada, serta perorangan yang memiliki kepedulian dengan pendidikan.
Jumlah itu, tentu tidak terlalu tinggi. Tinggal, bagaimana komitmen semua pihak untuk menyelesaikan masalah pendidikan bagi anak-anak berprestasi dan kurang mampu.
Saat ini, melalui sebuah yayasan di Melawi, kami sudah membantu anak-anak yang berprestasi dan kurang mampu, sudah bisa mengikuti kuliah gratis. Mulai dari biaya kuliah, asrama dan biaya makan sehari-hari. Tapi, jumlah mahasiswa yang dibantu kuliah masih 30 orang. Tentunya, jumlah itu harus terus ditingkatkan dengan keterlibatan semua pihak.
Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?
Penulis: Muhammad Mochlis (Ketua DPD PKS Melawi)
Leave a comment