Mengenal Ritual Madagi Suku Dayak Salako, Tradisi Spiritual Menyambut Masa Panen Raya

2025-03-20 22:29:57
Tetua adat memimpin upacara madagi dengan merapal doa dan mempersempahkan sesajian. (Insidepontianak.com/Antonia Sentia)

SAMBAS, insidepontianak.com - Di tengah derasnya modernisasi, masyarakat Dayak Salako, di Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, masih menjaga tradisi leluhur dan kearifan lokal.

Salah satu budaya sakral yang terus dilestarikan adalah ritual madagi. Prosesi upacara adat sebagai bentuk rasa syukur kepada semesta, atas hasil bumi yang melimpah.  

Adapun ritual madagi dilakukan tiga hari setelah perayaan tahun baru padi. Masyarakat Dayak Salako menyebut ritual adat ini dengan istilah Ngarantika. Tanda musim panen telah tiba.

Usman (49), salah satu warga Dusun Tapang, menjelaskan, ritual madagi merupakan bentuk penghormatan kepada Tuhan. 

"Upacara madagi adalah acara mengucapkan rasa syukur sebelum panen. Juga meminta perlindungan kepada Jubata (Tuhan), sehingga hasil panen bisa baik dan bagus," ujarnya.  

Ritual madagai dipimpin tetua adat. Doa dipanjatkan. Sesajian dipersembahkan. Setelah prosesi ini, masyarakat menjalani masa Samsam. Masa yang sarat dengan pantangan.

Seperti tak boleh bepergian keluar kampung. Juga dilarang memanen hasil bumi, bekerja di ladang atau hutan, serta tak boleh mengonsumsi daging berdarah.

"Itu pantangannya. Balala atau Samsam dijalankan setelah acara madagi sampai besok paginya,” kata Usman.

Puncak dari ritual adat di masa panen adalah Naik Dango atau biasa disebut dengan istilah Ngabayant bagi masyarakat dayat Sajingan Besar. 

Jika ritual madagi merupakan upacara doa sebelum panen, maka Naik Dango adalah puncak perayaan syukur setelah panen usai.

"Rangkaian ritual adat ini tak lain untuk meminta berkat rezeki yang berlimpah atas hasil panen dan memohon perlindungan agar tetap sehat," jelasnya.

Bagi masyarakat Dayak Salako, Madagi bukan sekadar ritual, tetapi sebuah warisan budaya yang mencerminkan keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas.

“Di tengah arus modernisasi, tradisi ini tetap bertahan sebagai bukti kuatnya nilai-nilai kearifan lokal yang dijunjung tinggi secara turun-temurun,” pungkasnya.*** 

Leave a comment