Pahlawan Nasional dr Rubini, Dokter Pengabdi dan Aktivis Pergerakan Kemerdekaan di Kalimantan Barat

2024-11-22 02:43:53
Ilustrasi

PONTIANAK, insidepontianak.com - Sosok dr Rubini sosok tidak asing dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia tataran lokal di Kalimantan Barat. 

Sosok dr Rubini telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional dari Kalimantan Barat oleh pemerintah RI. Sosok dr Rubini tipe dokter pengabdi ke rakyat.

Nama dr Rubini sudah melekat dalam berbagai nama rumah sakit, jalan, taman dan fasilitas publik lainnya di Kalimantan Barat.

Baca Juga: Tes IQ: Hanya Orang Cerdas yang Bisa Menjawab Tanpa Berkedip! Temukan Perbedaan dalam Gambar Singa Ini

Sosok dr Rubini adalah seorang menak atau bangsawan Sunda yang lahir di Bandung pada tanggal 31 Agustus 1906, merupakan anak pasangan dari Ni Raden Endung Lengkamirah dan Raden Natawisastra, yang ditugaskan ke Pontianak, Kalimantan Barat pada 1934 sebagai dokter pemerintah di Rumah Sakit Militer.

Selanjutnya ditugaskan juga rumah sakit swasta milik Misi Katolik (Rooms Katholieke Ziekenhuis) Rumah Sakit Sungai Jawi yang sekarang bernama Rumah Sakit Santo Antonius. Raden Rubini salah satu cendekiawan atau kaum intelektual awal di Kalimantan Barat (Kalbar) sebelum kemerdekaan RI.

Menurut buku biografi yang ditulis Muhammad Rikaz Prabowo, dr Rubini salah satu dari beberapa dokter lulusan STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen atau Sekolah Kedokteran Bumiputra) dan NIAS atau Nederlands Indische Artsen School (Surabaya), seperti dr Agusjam, dr Ismail, dr Achmad Diponegoro, dr Sunaryo, dr Rehatta, dr Salekan, dan dr Sudarso.

Mereka berkarya lebih dari tugasnya sebagai dokter karena aktif dalam pergerakan kebangsaan melalui Partai Indonesia Raya (Parindra). Bahkan pada tahun 1939, dr Rubini dan rekannya itu masuk dalam daftar pengurus Parindra Kalimantan Barat.

Khususnya dr Rubini, selain sebagai pemimpin rakyat, dikenal juga sebagai tokoh yang pada era itu berusaha meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan terhadap ibu dan anak.

Dia ingin menurunkan angka kematian ibu dan anak saat melahirkan yang kerap terjadi di praktik bidan tradisional (dukun beranak).

Oleh sebab itu, selain membuka praktik kedokteran umum di rumahnya di Landraad Weg (kini Jalan Jenderal Urip Pontianak), ia juga membuka praktik kebidanan dengan ditangani bidan bersertifikat.

Rubini juga dikenal sebagai dokter yang rendah hati dan tanpa pamrih. Pasien tidak mampu dapat membayar dengan apapun, seperti hasil bumi, kelapa, dan ayam. Bahkan sering juga digratiskan.

Hal ini juga kerap ia temui dalam misi sebagai dokter keliling. Secara periodik ia mengunjungi desa-desa di luar Pontianak dengan kapal atau perahu agar dapat menjangkau daerah terdalam.

Selain bekerja di rumah sakit, dr Rubini juga membuka praktek di rumahnya untuk membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan pelayanan kesehatan dan pengobatan, bahkan kerap melayani masyarakat yang miskin sampai menyusuri bantaran Sungai Kapuas.

Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dr Rubini melayani tanpa memandang perbedaan strata sosial, suku, agama dan gender.

Banyak perempuan dan anak-anak korban kekerasan yang dilakukan oleh tentara pendudukan Jepang yang ditolong dan diobati oleh dr Rubini.

Selain menjalankan tugasnya sebagai tenaga kesehatan, dr Rubini juga bergabung secara aktif dalam organisasi kemasyarakatan berhaluan politik Partai Indonesia Raya yang mempunyai landasan nasionalisme dan menentang penjajahan, serta menuntut kemerdekaan Kalimantan Barat, menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Baca Juga: Polda Kalbar Ajak Media Bersinergi Sajikan Berita Secara Utuh

Istri dr Rubini yaitu nyonya Amalia Rubini sangat mendukung dan membantu pekerjaan mulia yang dilakukan suaminya sebagai tenaga kesehatan dan orang yang sedang berjuang menentang penjajahan Jepang untuk kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Nyonya Amalia aktif di gerakan Palang Merah dan juga Ketua Perkumpulan Istri Indonesia (PII) cabang Pontianak. PII merupakan salah satu anggota dari Perserikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII) yang tahun 1935 berganti nama Kongres Perempuan Indonesia dan tahun 1946 menjadi Kowani.

Amalia Rubini juga berinteraksi dengan perkumpulan istri dokter di Pontianak untuk berbagi informasi dan keterampilan seputar pemberdayaan perempuan dan anak. Kebetulan istri dr Agusjam, yakni R.A. Sujarah, ketua organisasi Aisiyah yang mengelola sejumlah sekolah di Pontianak, seperti Taman Kanak-Kanak, pengajian perempuan, dan kursus-kursus keterampilan.

Selain pada bidang kemanusiaan, sebagai pengurus Parindra, ia turut bergerak di bidang politik. Ia ikut mendorong partai ini untuk memberikan perhatian pada program-program pemajuan kehidupan rakyat. Oleh sebab itu, Parindra juga mendirikan sejumlah sekolah, klub olahraga, klub kesenian, dan kursus-kursus politik.

Di samping itu, ia kerap menyuarakan kepada pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan pelayanan kesehatan masyarakat di Kalbar yang menurutnya masih jauh tertinggal dari wilayah lain, baik fasilitas maupun SDM-nya.

Menjelang masuk tentara Jepang karena berkobar Perang Pasifik, pada 1941 pemerintah kolonial mengadakan evakuasi terhadap pejabat-pejabat Belanda, penduduk, dan tokoh-tokoh masyarakat penting pribumi, termasuk dr Rubini yang turut diajak. Kecintaannya kepada Kalbar dan pengabdian, dia menolak dievakuasi oleh pemerintah kolonial ke Jawa. Ia memilih tetap tinggal.

Setelah dievakuasi tenaga-tenaga dokter Belanda, keadaan semakin rumit karena kekurangan tenaga kesehatan. Padahal pada Desember 1941 Pontianak sudah mulai dijatuhi bom oleh Jepang yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

Atas dasar itu, pemerintah kolonial yang semakin terdesak kemudian mengangkat dr Rubini sebagai perwira kesehatan cadangan dengan pangkat letnan 2 untuk mengurusi rumah sakit militer yang ditinggalkan dokter-dokter Belanda.

Merawat Korban

Bersama dokter-dokter pribumi lainnya yang menolak dievakuasi, dr Rubini merawat para pasien korban pemboman Jepang.

Sekitar bulan Februari 1942, Jepang yang telah berkuasa di Indonesia, membubarkan seluruh organisasi dan kegiatan politik, termasuk Parindra. Di sisi lain, dr Rubini yang tetap berprofesi sebagai dokter, berusaha untuk pura-pura bekerja sama dengan Jepang agar kegiatan-kegiatan politik yang dia bina secara sembunyi tidak terbongkar.

Para aktivis itu kemudian mendirikan organisasi Nissinkwai yang seolah-olah mendukung Jepang. Di sisi lain dr Rubini mulai menerima laporan-laporan kejahatan Jepang terhadap rakyat, terutama pada kaum perempuan yang menerima kekerasan seksual.

Bahkan, dr Rubini juga turut merawat kaum perempuan malang tersebut, baik di rumah sakit maupun rumah praktiknya. Hal ini semakin membulatkan tekad dirinya untuk melawan penindasan Jepang.

Jepang kemudian menilai pergerakan aktivis di Nissinkwai sebagai bentuk ancaman. Organisasi itu kemudian dibubarkan. Para aktivisnya bergabung di Pemuda Muhammadiyah agar dapat berdiskusi membicarakan langkah perjuangan dalam selubung kegiatan keagamaan. Awal tahun 1943, dr Rubini menerima dr Susilo dan Makaliwey yang datang dari Banjarmasin.

Mereka menyampaikan bahwa di Banjarmasin akan ada gerakan melawan Jepang dan di Pontianak juga untuk turut serta. Dengan begitu dr Rubini mulai mengadakan konsolidasi aktivis dan sejumlah tokoh kesultanan, untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang yang rencananya pada Desember 1943.

Menurut laporan Jepang, dr Rubini yang dianggap sebagai pemimpin gerakan itu membentuk pasukan bersenjata yang bernama "Soeka Rela".

Nahasnya, rencana aksi ini diketahui Jepang karena adanya sejumlah orang yang berkhianat sebagai mata-mata Jepang. Selain itu, kegagalan aksi di Banjarmasin juga menyeret sejumlah nama di Pontianak, termasuk dr Rubini dan rekan-rekannya.

Mulai bulan Oktober 1943, aksi-aksi penangkapan terhadap para tokoh yang dianggap terlibat atau berbahaya bagi Jepang diciduk dan kemudian banyak yang dieksekusi di Mandor. Puncaknya pada tanggal 28 Juni 1944.

Koran Borneo Sinbun, 1 Juli 1944, memberitakan bahwa Jepang telah mengeksekusi orang-orang yang terlibat dalam komplotan perlawanan. Sebanyak 48 di antaranya dianggap sebagai pemimpin perlawanan, termasuk dr Rubini dan istrinya, Amalia Rubini.

Puluhan ribu orang dibunuh secara kejam dan keji. Jenazah mereka kemudian dimakamkan di Makam Juang Mandor.

Sejak tahun 2007 sampai sekarang setiap tanggal 28 Juni oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat diperingati sebagai Hari Berkabung Daerah Kalimantan Barat sebagai bentuk penghormatan dan mengenang kepada mereka yang gugur, dan juga agar peristiwa seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi di bumi Indonesia tercinta.

Selain itu, terdapat nama-nama lain, seperti Sultan Syarif Muhammad Alqadri (Sultan Pontianak), Pangeran Agung, Pangeran Adipati, dokter, insinyur, guru, dan masih banyak kaum intelektual lain, termasuk sultan/panembahan.

Gelar Pahlawan Nasional

Untuk mengenang perjuangan tokoh-tokoh intelektual dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, seperti dr Rubini dan rekannya, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat pada 2007 menetapkan tanggal 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah. Namun, penghargaan ini dianggap belum cukup, melalui Dinas Sosial, dr Rubini tahun ini diajukan sebagai calon pahlawan nasional.

Usulan calon pahlawan nasional dr Rubini kemudian dibahas oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) yang berkedudukan di Jakarta.

Dari 18 usulan calon pahlawan nasional (CPN) se-Indonesia yang masuk tahun ini, hanya delapan calon memenuhi syarat umum dan khusus sehingga diadakan verifikasi lapangan ke Kalbar. Dokter Rubini termasuk delapan CPN yang memenuhi syarat.

Oleh karena itu, Prima Nurahmi, anggota TP2GP didampingi Sunniyah dan Andita Rahma Yustisiani dari Direktorat Potensi dan Sumber Daya Sosial Kementerian Sosial.

Verifikasi pada 27-29 Juli 2022 dengan sejumlah agenda. Pada Rabu (27/7) pertemuan dengan gubernur/wakil gubernur dan pemaparan tentang perjuangan dr Rubini di Kantor Dinas Sosial Kalbar dari Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD).

Tim diterima Kepala Dinas Sosial Kalbar Golda M. Purba beserta jajarannya. Kamis (29/7/2022), berkunjung ke Pontianak, Mandor, dan Mempawah untuk mengadakan verifikasi lapangan.

Keesokan harinya kunjungan ke Mandor dan Mempawah untuk memverifikasi dan mengumpulkan data-data yang menguatkan tentang perjuangan dr Rubini, baik berupa sumber lisan, tertulis, maupun persepsi-persepsi masyarakat.

Berbagai bukti menyebutkan bahwa dr Rubini berperan sebagai dokter aktif di Parindra Komisariat Kalbar, sedangkan pada masa pendudukan Jepang aktif dalam Nissinkwai dan gerakan bawah tanah.

Melalui organisasi pergerakan yang diikuti, Rubini selain sebagai dokter juga aktif menanamkan semangat nasionalisme kepada rakyat di daerah itu. Dia gugur setelah diculik dan dibunuh oleh Jepang pada tahun 1944.

Kelayakan disebut pahlawan nasional atas dr Rubini karena perjuangannya menentang penjajahan Belanda dan Jepang pada masa itu.

Baca Juga: Anggota DPRD Kalbar Irsan Ingatkan Pemprov Kalbar Tidak Molor Lelang Proyek Pembangunan APBD 2023

Namanya telah diabadikan di sejumlah tempat untuk mengenang jasa dan perjuangannya, seperti nama jalan di Kota Mempawah, Pontianak, dan Bandung, serta RSUD di Mempawah. Selain itu, dr Rubini menjadi nama taman di Mempawah.

Penetapan sosok itu sebagai pahlawan nasional dinilai penting oleh Muhammad Rikaz Prabowo, karena figur dan keteladanan dr Rubini penting untuk diwariskan kepada generasi penerus bangsa.

Selain itu, perjuangan dr Rubini bisa diangkat dalam buku-buku sejarah, baik tingkat SMA maupun kajian di perguruan tinggi.

Hasil verifikasi lapangan oleh TP2GD akan diserahkan kepada Dewan Gelar RI dengan ketua Menko Polhukam Mahfud M.D. untuk pembahasan lebih lanjut. Hasil pembahasan diserahkan kepada Presiden RI untuk secara prerogatif dipilih CPN yang berhak mendapatkan gelar pahlawan nasional tahun ini.

Masyarakat Kalimantan Barat menunggu kabar baik tersebut. Kabar ditetapkan Raden Rubini Natawisastra atau dr Rubini sebagai pahlawan nasional.

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dr Giwo Rubianto Wiyogo mengatakan pemerintah memberi gelar pahlawan nasional.kepada dokter Rubini Natawisastr.

“Akhirnya permohonan keluarga ahli waris dr. Rubini Natawisastra melalui Kowani untuk mengusulkan dr. Rubini Natawisastra sebagai pahlawan nasional disetujui oleh Pemerintah Indonesia dan diumumkan oleh Menko Polhukam Prof Dr. Machfud MD selaku Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan pada tanggal 03 November 2022 lalu,” ujar Giwo di Jakarta, Senin.

Selain dr Rubini, sejumlah nama lain yang mendapatkan gelar pahlawan nasional yakni dr Soeharto, KGPAA Paku Alam VIII, H Salahuddin bin Talibuddin, dan KH Ahmad Sanusi.***

Tags :

Leave a comment