FSBKS-KB Ungkap Dugaan Pelanggaran HAM di Perkebunan Sawit Kalbar: Terjebak Kerja Paksa hingga Perbudakan Modern
PONTIANAK, insidepontianak.com –Di balik hijaunya kebun sawit yang selama ini dipuja sebagai mesin ekonomi Kalimantan Barat, tersimpan praktik gelap yang menyerupai perbudakan modern.
Federasi Serikat Buruh Kebun Sawit Kalbar (FSBKS-KB) membongkar dugaan pelanggaran HAM yang sistematis dan eksploitasi berat terhadap buruh di sejumlah perusahaan sawit, hasil dari assessment dan advokasi mendalam di 10 perusahaan, dengan fokus pada tiga perusahaan di Ketapang, Sanggau, dan Sekadau.
Seluruh hasil investigasi tersebut dirangkum dalam laporan setebal 100 halaman, dilengkapi dokumen, foto, serta keterangan para saksi korban.
Ketua FSBKS-KB, Yublina Yuliana Oematan, menyatakan bahwa dari 10 perusahaan yang ditelusuri, pihaknya memfokuskan pendalaman pada tiga perusahaan dengan indikasi pelanggaran paling serius.
“Assessment yang kami lakukan menemukan adanya sistem eksploitasi yang terstruktur dan melanggar kedaulatan hukum Indonesia,” tegas Yublina.
Menurutnya, temuan tersebut bukan lagi sebatas pelanggaran ketenagakerjaan, melainkan telah mengarah pada indikasi kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dari Upah Murah hingga Perbudakan Modern
Selain persoalan klasik seperti upah, status kerja, BPJS, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), serta pemberangusan serikat (union busting), FSBKS-KB menemukan praktik yang jauh lebih ekstrem: indikasi kerja paksa dan perbudakan modern.
Pada kasus PT AAG, Sekretaris FSBKS-KB, Firmansyah, mengungkap dugaan penahanan dokumen identitas (KTP dan KK) terhadap buruh yang direkrut dari NTT, Nias, dan Lombok.
Tanpa dokumen tersebut, para buruh kehilangan kebebasan untuk pergi meninggalkan tempat kerja.
Ironisnya, anak-anak para buruh tidak didaftarkan ke BPJS Kesehatan. Bahkan, terdapat kasus balita meninggal dunia tanpa jaminan kesehatan.
Buruh juga dijanjikan status karyawan tetap (PKWTT), namun dalam kontrak justru dicantumkan klausul yang menghapus hak untuk menuntut status tersebut.
Lebih memilukan, FSBKS-KB menemukan sejumlah perempuan adat berusia di atas 60 tahun yang telah bekerja lebih dari sepuluh tahun masih berstatus buruh harian lepas. Permintaan pensiun mereka diabaikan, bahkan ada buruh yang mengalami stroke namun seluruh biaya pengobatan ditanggung sendiri karena tidak terdaftar dalam BPJS.
“Perusahaan juga meliburkan buruh tanpa kebijakan tertulis. Jika ingin kembali bekerja, beban kerja justru dinaikkan. Ini jelas indikator perbudakan modern,” ujar Firmansyah.
Di perusahaan lain, PT KSP, FSBKS-KB menemukan praktik “dana talangan” yang baru diketahui buruh sebagai utang setelah mereka bekerja lebih dari tiga bulan.
Biaya kecelakaan kerja dan sakit justru dipotong dari upah, sehingga buruh terjebak dalam siklus hutang berkepanjangan (bonded labour).
Target kerja yang tinggi memaksa buruh membawa istri dan anak-anak, bahkan balita, ke kebun sawit untuk membantu tanpa upah.
Parahnya lagi, seorang pengurus serikat buruh diduga mengalami union busting dan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
Sementara di PT SJAL, ditemukan dugaan intimidasi verbal terhadap pengurus serikat oleh pimpinan perusahaan yang mengklaim memiliki “uang dan kekuasaan untuk mengatur siapa pun, termasuk penegak hukum”.
Kasus kecelakaan kerja pun diabaikan. Seorang buruh, Marselina Midon, mengalami cedera serius hingga lututnya bergeser, namun tidak mendapatkan pertolongan maupun biaya pengobatan dengan alasan tidak ada laporan dari mandor.
Menurut FSBKS-KB, praktik-praktik tersebut diduga kuat melanggar berbagai regulasi nasional, di antaranya: UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja (Union Busting), UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (K3).
“Ini bukan hanya soal pelanggaran administratif, tetapi sudah masuk wilayah pidana dan pelanggaran HAM berat,” tegas Firmansyah.
FSBKS-KB mendesak Dinas Ketenagakerjaan Provinsi dan Kabupaten untuk melakukan pengawasan ketat dan menjatuhkan sanksi administratif maksimal hingga pidana.
Mereka juga meminta Kementerian Ketenagakerjaan melakukan investigasi nasional terhadap sektor perkebunan sawit, sekaligus mengevaluasi perusahaan yang telah mengantongi sertifikat ISPO.
Selain itu, Gubernur, Bupati, dan DPRD diminta segera membentuk Perda Khusus Perlindungan Buruh Sawit.
Mereka mendesak aparat penegak hukum didesak mengusut tuntas dugaan pidana ketenagakerjaan, penipuan, hingga pelecehan seksual.
Disamping itu, perusahaan pembeli CPO bersertifikasi RSPO diminta melakukan audit independen rantai pasok dan Human Rights Due Diligence (HRDD).
"Ini persoalan kemanusiaan," ungkapnya.
Firmansyah menegaskan, apa yang diungkap FSBKS-KB adalah potret nyata rapuhnya perlindungan buruh sawit di Kalbar, meski sektor ini memberi kontribusi besar bagi perekonomian daerah dan negara.
“Eksploitasi ini bukan sekadar persoalan hubungan industrial. Ini adalah persoalan kemanusiaan dan keadilan. Kami mendesak semua pihak untuk tidak menutup mata. FSBKS-KB akan terus mendampingi buruh dan menempuh seluruh jalur hukum, termasuk advokasi internasional,” pungkasnya. (Andi)

Leave a comment