Jerat Cantrang dan ‘Matinya’ Lumbung Nelayan Karimata

2025-05-08 18:32:41
Laut di Kepulauan Karimata, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. (Istimewa)

Dulu, laut adalah impian dan lumbung harapan nelayan. Kehidupan generasi dimulai dari laut. Namun, kedatangan kapal-kapal cantrang merusak impian nelayan akan masa depan. Merenggut semangat, dan daya juang para pelaut ini. Wajah-wajah keruh dan payah mereka pun makin kentara. Lesu dan hilang sinar.

KARIMATA

Among (62) hanya bisa terdiam saat bubu, sejenis keramba apung miliknya teronggok karam di pinggiran laut, tak jauh dari bibir pantai.

Terlihat 12 tiang pancang kayu cerucuk sebagai penyangga bubu apung itu patah. Jaring kasa hitam terkulai menyedihkan di antara kayu dan air laut. Rumpon, yang ia tanam mengambang berserak di ombang ambing air laut.

Warga Desa Pelapis, Kecamatan Kepulauan Karimata, Kayong Utara ini hanya bediri di atas perahu motor 3 GT miliknya itu sambil melihat hasil kerja kerasnya selama Seminggu hilang. Berharap ikan terjaring, malah fakta berkata lain.

Ini bukan bubu pertama milik Among yang rusak. Ini bubu ketiga miliknya dalam beberapa bulan ini. Bubu sengaja ia tanam untuk menangkap ikan di perairan dangkal tak jauh dari desanya itu.

Bubu dengan panjang hampir 2 meter dan lebar 1,5 meter ini biasanya jadi andalan nelayan di sana untuk penghasilan tambahan selain melaut di area yang lebih jauh.

Bubu menjadi favorit nelayan karena banyak ikan karang berkualitas yang bisa terjerat. Di Kepulauan Karimata, biasanya ikan kerapuk, terutama kerapuk sunuk (Plectropomus leopardus), ikan semerah (Lutjanus argentimaculatus), ikan ekor kuning (fusilier Caesio teres) hingga ikan baronang (Siganus sp) paling banyak masuk perangkap bubu nelayan.

Sebagai nelayan, cukup sulit untuk membuat bubu apung, bukan soal merakit tapi biaya yang dibutuhkan tak sedikit. Among dan nelayan lain harus merogoh kocek Rp250-Rp300 ribu per bubu.

Bukan hanya satu bubu yang disebar, satu nelayan bisa menebar beberapa bubu. Tak heran, jika di sepanjang pinggiran laut, banyak bubu nelayan, tak hanya nelayan Desa Pelapis, tapi desa tetangga, Desa Betok Jaya dan Desa Padang ikut memasang perangkap ikan tersebut.


Alat tangkap ikan tradisional bubu milik nelayan di Kepulauan Karimata, Kayong Utara, Kalimantan Barat. (Istimewa)

Bertaruh Peluh di Laut

Menahan rasa kantuk, Among ayah lima anak ini berjalan lamban. Ia membuka pintu dapur dan mendapati sang istri sedang memasak.  Sekitar pukul 03.00 WIB dini hari, biasanya sang istri bangun duluan sebelum giliran Among.

Subuh itu, sang istri memasak untuk keperluan melaut Among. Maklum, subuh itu ia akan melaut hingga pagi selalanjutnya. Satu harian ia akan berada di tengah laut. Tak sendiri, ia mengajak dua rekan nelayan lain. Patungan, biar biaya tak terlalu mahal.

Azan tak lama berkumandang. Usai berbersih diri, Among lantas bergegas salat. Pria berusia 63 tahun mengaku merasa tenang, ketika ia melaksanakan salat sebelum melaut.

“Biasanya subuh udah turun. Bisa sore atau besoknya pulang. Kita kan nelayan kecil, buat makan dan dijual hari itu sudah cukup,” katanya.

Dalam sehari melaut, Among dan nelayan kecil lainnya harus merogoh biaya dari Rp 500 ribu hingga Rp 1 Juta, terutama biaya BBM yang menyita.

Sebagai nelayan yang hanya bermodal perayu sederhana bermesin 3 GT, sangat susah mendapatkan BBM harga rendah. Ia selalu mendapat biaya tinggi karena membeli harga eceran. Letak desa yang terisolasi dari pusat kota menjadi penyebab biaya BBM mahal.

Namun, karena sejak muda bekerja sebagai nelayan dan laut adalah mata pencaharian tunggal Among, ia tak terlalu mempermasalahkan itu.

Tak tentu pendapatan laut pria tua ini. Bisa puluhan hingga jutaan. Bisa hanya Rp 50 ribu per hari atau Rp 3 jutaan bahkan lebih. Ada juga pendapatannya kosong hari itu.

“Namanya melaut, tak pasti. Kalau musim ikan bisa jutaan tapi kalau musim kosong, yaa ga ada ikan. Ada pun jadilah buat jajan anak,” ujarnya.

Kerap kali ia menabung, pendapatan tak seberapa sebagai nelayan selalu ia sisihkan untuk modal membuat rumpon dan bubu apung. Cara tangkap ini membantu Among menambah cuan, terutama ketika tubuhnya tak bisa lagi melaut terlalu lama dan jauh.

“Umur segini, tidak bisa seperti dulu kagi. Ada kalanya sakit lama, perlu rehat. Jadi, bubu menjadi alternatif. Makanya kalau ada lebih dari penjualan ikan saat melaut, saya tabung ke istri,” ujarnya.

Bubu jadi pendapatan lain bagi Among dan nelayan Desa Pelapis atau desa tetangganya. Tak perlu menghabiskan waktu lama tapi menguntungkan, meski biaya pun tak sedikit.

Tapi semenjak lima tahun belakangan ini, pendapatan melaut dan hasil tangkap bubu dan rumpon berkurang, malah makin ke sini makin habis. Penyebabnya, kapal cantrang yang membabat hampir semua bubu nelayan di sejumlah titik di Kepulauan Karimata.

Puluhan tahun digeluti, banyak hal sudah ia lewati. Asam garam kehidupan laut pun banyak menggurat kenangan Among dan rekan nelayan lainnya. Peluh keringat dari basah hingga kering pun jadi saksi perjuangan pria kurus ini. Tapi, ia malah bingung ketika menghadapi persoalan cantrang ini.

“Pas mau ngecek bubu, sudah berantakan. Setelah cari tahu, ternyata disapu sama jaring cantrang. Bukan sekali, berkali-kali, mengadu sudah sering. Minta keadilan pun sudah sering, tapi yaa itu berulang terus. Selama jadi nelayan, cantrang ini buat kita mati akal,” ungkapnya.


Rodi, salah seorang nelayan Desa Padang, Kepulauan Karimata, Kayong Utara, Kalbar saat melaut mencari ikan. (Istimewa)

Mereka Menyebutnya Kapal ‘Compreng’

Tak beda jauh nasibnya dengan nelayan di Desa Padang, Kecamatan Kepulauan Karimata, Kayong Utara. Rodi (30) mengeluhkan kapal cantrang atau kapal cumi yang beroperasi di bawah 12 mil laut.

Nelayan seperti Rodi kerap berpapasan dengan kapal compreng, begitu nelayan setempat menyebutnya. Ukuran besar, perlengkapan lengkap, ABK banyak dengan lampu-lampu super terang membuat kapal jenis ini mudah dikenali, meski sekali lihat saja.

Kapal ikan tersebut biasanya bukan milik nelayan lokal, umumnya kapal luar Kalbar. Paling sering itu dari pulau Jawa. Ini dipastikan dari sejumlah penangkapan kapal yang bermasalah, salah satunya penggunaan alat tangkap cantrang dari PSDKP setempat.

Rodi dan nelayan lokal yang hanya memiliki kekuatan 10 GT ke bawah tak kuasa berbuat banyak, hanya mampu berteriak ketika berpapasan hingga mengadu bolak balik kepada pihak terkait.

Banyak aktivitas merugikan yang dibuat banyak kapal compreng, terutama asal luar Kalbar yang mengadu nasib di laut yang sama.

Bukan rahasia umum jika kawasan Karimata menjadi salah satu favorit nelayan seluruh dunia, tak hanya kapal Indonesia yang tertarik, banyak kapal asing juga melirik selat tersebut.

“Kita yang rugi, tangkapan berkurang banyak. Bayangkan dengan kapal besar, tangkapan mereka pastinya besar juga. Tak menutup kemungkinan bisa terjadi overfishing, yang imbasnya ke kami nelayan di sana,” ungkap ayah dua anak ini.  

Nelayan seperti Rodi sebenarnya tak terlalu mempersoalkan jika kapal besar cantrang itu menangkap di atas 30 mil laut sesuai aturan yang berlaku, tapi lain persoalan jika di bawah 12 mil laut. Terutama menjarah cumi dan ikan potensial yang jadi wilayah mereka. Karena jelas, mereka akan kalah saing.

“Sebenarnya kalau di desa kami bisa kita amankan, tapi itu yang ukuran tak terlalu besar dan mil lautnya jauh dari kami. Biasa mereka (kapal cantrang) sering merapat. Kami juga bisa itu tukar-tukaran kebutuhan, tapi itu kapal yang kami anggap tidak melanggar,” ujarnya.


Kapal cumi diamankan nelayan di Desa Betok, Kepulauan Karimata, Kayong Utara, Kalimantan Barat. Kapal cumi ini melanggar batas wilayah tangkap di bawah 12 mil dari pantai. (Istimewa)

Pembunuh Diam-diam Nelayan

Keluhan dan persoalan ini pun terjadi seiring longgarnya pengawasan laut. Akibatnya, banyak kapal cantrang lolos dan ‘santai’ mengeruk ikan hingga ke dasar kawasan. Sejak itu, banyak aduan yang masuk ke tingkat desa, terutama tiga desa Kepulauan Karimata.

Kapal cantrang dianggap pembunuh diam-diam nelayan di kawasan itu. Buktinya, tangkapan nelayan di titik-titik tertentu kosong. Belum lagi, persoalan bubu nelayan yang tersapu saat cantrang ditarik kapal.

Ini diungkap Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kalbar Hermili Jamani. Mereka (kapal cantrang) membuat banyak nelayan harus lebih ‘bermodal’ lagi jika ingin melaut dan mendapatkan hasil maksimal.

Jika sebelumnya nelayan melaut sehari bisa mendapatkan ikan, kini mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk balik modal. Baik untuk BBM, solar dan bensin maupun perbekalan hingga biaya cold storage di kapal.

“Tidak gampang sekarang, lebih sulit dari dulu. Penyebabnya itu cantrang, mereka main ke bawah 12 mil. Wilayah nelayan lokal habis dijarah dengan alat tangkap illegal itu,” paparnya.

Lebih miris lagi, kapal cantrang seolah-olah tutup mata akan keberadaan bubu apung milik nelayan yang tersebar di pinggir laut. Kerugian yang ditanggung nelayan tak terhitung.

“Modalnya saja ratusan ribu, bubu nelayan itu banyak tersebar. Bukan sedikit yang rusak, tapi mereka tak peduli. Jadi, ketika nelayan marah, siapa yang harus disalahkan,” tuturnya.

Saat ini, modal melaut bagi nelayan cukup besar. Bisa mencapai Rp 1 juta per hari. Tak semua nelayan punya uang untuk modal awal, meski ada yang cukup beruntung untuk menabung tapi ada yang terpaksa meminjam kepada toke atau pengepul dulu.

Jadi tak heran jika nilai jual ikan nelayan desa itu rendah dan nelayan pun tak bisa menjual di luar wilayah karena terikat pinjaman tersebut.

Seperti diungkap Camat Kepulauan Karimata, Kayong Utara, Hendra. Camat yang membawahi tiga desa yaitu Desa Padang, Desa Betok dan Desa Pelapis berujar, hampir semua warganya di tiga desa itu berprofesi nelayan.

“Karena mereka hidup di pulau dan pesisir. Laut adalah hidup mereka. Semua menggantungkan hidup di laut. Jika tidak ada hasil laut, mereka tidak bisa makan, karena tidak ada yang dijual,” paparnya.

Kehidupan nelayan Kepulauan Karimata tak seperti dulu, di mana ikan masih melimpah dan mudah dijala. Kini, persaingan tak sehat dengan kapal besar dan aturan yang lemah membuat potensi ikan makin berkurang.

“Ini keluhan bertahun-tahun nelayan di sini. Minjam jika kurang modal, jadi mereka tidak bisa berkembang. Uangnya di putar buat hutang, bayang hutang, makan, sekolah dan jajan anak. Itu pun masih kurang. Makin ke sini nasib mereka makin sulit,” papar Hendra.


Kapal nelayan besandar di dermaga  Desa Padang Kepulauan Karimata, Kabupaten Kayong Utara, Kalimatan Barat. (Istimewa)

Rusak Ekosistem

Dalam banyak jurnal cantrang memiliki daya rusak yang massif. Cantrang adalah alat penangkap ikan menyerupai trawl atau pukat harimau. Tali cantrang itu dapat mencapai 6.000 meter dengan cakupan sapuan tali mencapai 292 hektar. Penarikan jaring menyebabkan terjadinya pengadukan dasar perairan, menimbulkan dampak signifikan terhadap ekosistem bawah laut.

“Bisa dianggap daya rusaknya sangat tinggi. Semua ikan kecil hingga kedalaman dasar itu diceruk habis,” kata Pengamat Perikanan dari Politeknik Pontianak, Sadri.

Ini juga dikuatkan ahli perikanan IPB, Prof Ari Purbayanto. Cantrang dianggap ‘pembunuh’ ekosistem laut yang mampu merusak dasar perairan dan terumbu karang, serta potensi penangkapan ikan-ikan kecil dan benih-benih ikan.

Tak heran keluar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18 Tahun 2021 mengatur ketat soal cantrang ini.

Apalagi, di kawasan Kepulauan Karimata ada CAL (Cagar Alam Laut) Karimata. CAL Karimata adalah kawasan konservasi yang terletak di Kepulauan Karimata, Kalimantan Barat, Indonesia. Kawasan ini terdiri dari 43 pulau dan memiliki luas 190.945 Ha. 

CAL Karimata terkenal dengan keanekaragaman hayatinya yang tinggi dan unik, serta menjadi rumah bagi beberapa spesies penyu dan dugong. 

Ini juga yang terancam rusak dengan makin maraknya kapal cantrang yang beroperasi di bawah 12 mil laut, mengingat tiga desa, yaitu Desa Pelapis, Desa Betok dan Desa Padang ini dikelilingi CAL.

Menurut DKP Kalbar, CAL menjadi wewenang pusat dalam hal pemeliharaan, namun untuk pengawasan terutama aktivitas yang merusak CAL itu menjadi tugas bersama di Kalbar.

“Itu tugas kita, tapi apapun kegiatan merusak itu pelanggaran dan cantrang adalah illegal apalagi sudah merusak CAL yang ada di situ,” kata Kepala DKP Kalbar, Fran Zeno, belum lama ini.

Adanya peristiwa pembakaran kapal cantrang di 2023 lalu, pengusiran hingga unjukrasa soal cantrang harusnya tidak ada lagi. Nelayan harusnya bisa hidup layak dan berpenghasilan yang mampu membuat mereka sejahtera. 

“Harusnya mereka bisa lebih baik hidupnya,” kata Direktur Lembaga Kelautan dan Perikanan Indonesia (LKPI) Kalbar, Burhanudin Abdullah.

Banyak pihak berharap, tindakan tegas dan mengikat soal cantrang ini bisa dilakukan optimal. Pembakaran, pengusiran, penangkapan hingga unjukrasa menuntut ketegasan isu ini pun bisa mereda dan membawa efek positif kepada nelayan lokal Kalbar.

Burhanudin Abdullah optimis perjuangan para nelayan untuk membuat hidupnya lebih baik tidak akan sia-sia. Persoalan cantrang tak akan berhenti didengungkan, meski tak menemukan titik terang. (Wati Susilawati)***

Leave a comment