Nasib Ketua Adat Membela Tanah Ulayat: Tergusur Konsesi, Dipidana Mayawana
Pondok ladang dan lumbung padi yang dibangun dengan keringat dan ritual adat di Dusun Lelayang, Desa Kualan Hilir, Simpang Hulu, Ketapang, lenyap tergusur konsesi PT Mayawana Persada. Kepala adat, Tarsius Fendy Sesupi (38) berjuang membela hak ulayat. Tapi ia justru dipidana: dijerat pasal pemerasan dan penganiayaan.
PEKAN kemarin, Selasa, 9 Desember 2025, Fendy bertolak dari Ketapang ke Pontianak. Ia diundang menghadiri media briefing Link-AR Borneo di Hotel Neo. Forum itu memaparkan hasil pemantauan deforestasi, degradasi hutan, lahan, dan gambut di konsesi Mayawana Persada sepanjang 2025.
Fendy hadir sebagai pembicara dari perspektif pihak yang terdampak. Ia tak menyangka, sejak berangkat dari Ketapang, pergerakannya telah dipantau. Benar saja, di tengah diskusi, sejumlah polisi tak berseragam dinas meringsek masuk ruangan.
Mereka menghampiri Fendy. Sepucuk surat disodorkan. Nomor: S.Pgl/592/XII/RES.1.24/2025/Reskrim-I. Isinya: Panggilan Tersangka ke-1. Kasus yang dipersangkakan terkait pemerasan dan penganiayaan. Seketika, diskusi terhenti sejenak. Suasana berubah cemas.
Tak lama, beberapa polisi itu kemudian pergi tanpa banyak bicara. Forum dilanjutkan hingga selesai. Usai acara, Fendy meninggalkan hotel bersama aktivis lingkungan lainnya. Mereka menuju Sekretariat Link-AR Borneo di Desa Kapur, Kompleks Villa Duta Residence, Kubu Raya. Belum sampai tujuan, polisi yang tadi, datang lagi mencegat.
Kali ini, mereka hendak melakukan upaya jemput paksa. Fendy melawan. Negosiasi berlangsung di sekretariat, dengan pendampingan aktivis. Ketua Komisi II DPRD Kalbar, Ason, ikut turun tangan. Beruntung, jemput paksa dibatalkan. Polisi sepakat melakukan pemanggilan ulang pada 15 Desember 2025. Fendy tidak ditahan.
Risiko Perjuangan
Bagi Fendy, proses hukum yang kini dihadapinya bukan peristiwa tunggal. Ia menyebutnya sebagai risiko memperjuangkan tanah adat dan lingkungan yang dirampas korporasi. Konflik bermula pada September 2022. Delapan pondok ladang dan satu lumbung padi milik warga Dusun Lelayang terbakar.
Masyarakat adat mencurigai Mayawana Persada berada di balik peristiwa itu. Alasannya, pondok dan lumbung padi yang terbakar diklaim berada di areal konsesi. Warga menuntut penyelesaian lewat hukum adat. Fendy berdiri di depan membela dan memperjuangkan hak ulayat.
Pada 2 Desember 2023, mereka mendatangi kantor Estate Kualan Mayawana Persada, di Desa Kampar Sembobon, untuk menagih tanggung jawab perusahaan. Toto, pimpinan Estate menemui mereka. Situasi memanas. Tensi meninggi. Adu argumen tak terhindari. Warga kecewa pihak perusahaan dianggap tidak kooperatif.
“Tapi tidak ada pemukulan,” tegas Fendy kepada Insidepontianak.com, Jumat (12/12/2025).
Karena itu, ia menyebut klaim penganiayaan dari perusahaan yang dialamatkan kepadanya tidak berdasar. Bahkan ada bukti foto Toto yang menandatangani berita acara dalam kondisi sehat, tanpa luka seperti yang dituduhkan.
“Kalau ada pemukulan sampai hidung luka serius, lihat fotonya tanggal 2 Desember. Tidak ada luka. Saya punya fotonya. Nada tinggi iya. Tapi pemukulan tidak ada,” tegasnya lagi.
Setelah perdebatan di pertemuan itu, lanjut Fendy, disepakati penyelesaian masalah secara adat. Toto, sebagai perwakilan perusahaan, menyerahkan uang adat senilai Rp16 juta. Ditransfer ke rekening Fendy. Kesepakatan itu dituangkan dalam berita acara.
Belakangan, perusahaan merasa pemberian uang tersebut terjadi karena paksaan. Klaim inilah yang menjadi dasar laporan polisi atas tuduhan pemerasan. Fendy membantah, “Itu bukan pemerasan. Tapi uang adat. Perusahaan tidak sanggup membeli tempayan sebagai syarat adat. Takut pecah. Tempayannya ada di rumah.”
Ia memastikan, seluruh proses peristiwa di tanggal 2 Desember itu, terdokumentasi semua dengan baik. “Berita acara ada. Foto ada. Semua lengkap,” lanjutnya.
Namun, perusahaan tak bergeming. Fendy tetap dilaporkan dengan tuduhan memeras, menyekap dan menganiaya karyawan dalam aksi mereka di tanggal 2 Desember 2023 itu. Proses hukum pun berjalan di Polres Ketapang. Fendy kini sudah berstatus tersangka.
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XXIII/2025, ditegaskan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidak dapat dipidana atau digugat secara perdata.
Putusan MK itu juga memerintahkan Negara melindungi aktivis, pelapor, saksi, dan ahli dari segala bentuk kriminalisasi. Dalam konteks itu, Fendy menilai jerat pidana yang menimpanya bertentangan dengan prinsip perlindungan pembela lingkungan.
“Saya dikriminalisasi,” ucapnya.

Lumbung padi warga yang terbakar. (Istimewa).
KLHK Bertindak
Lahan garapan Mayawana Persada membentang di Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara. Perusahaan HTI milik konglomerat Suhadi dan keluarganya—Alas Kusuma Group—dituding menyerobot tanah adat dan memicu ancaman bencana ekologis.
Mayawana Persada mengantongi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT) Nomor SK.724/Menhut-II/2010. Konsesi seluas 136.710 hektare diberikan selama 60 tahun.
Separuh konsesi berada di kawasan gambut. Mencakup sembilan desa di Ketapang dan lima desa di Kayong Utara, dengan jumlah penduduk yang tinggal di wilayah itu mencapai 38.494 jiwa.
Kelompok masyarakat sipil menilai aktivitas perusahaan menimbulkan kerugian sosial-ekonomi dan tekanan ekologis yang sangat serius. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah bertindak. Pada 28 Maret 2024, KLHK menerbitkan surat Nomor: S.360/APL/PUPH/HPL.1.0/B/3/2024.
Dalam surat itu, pada poin 3 huruf a, Mayawana Persada diperintahkan menghentikan seluruh penebangan di areal bekas tebangan atau logged over area (LOA). Pada huruf b, perusahaan juga dipertahkan fokus pada penanaman kembali dan pemulihan lingkungan.
Abaikan Perintah
Namun, data pemantauan Koalisi Masyarakat Sipil menunjukkan sebaliknya. Sepanjang 2024, deforestasi justru meningkat di area konsesi Mayawana Persada. Total pembukaan hutan mencapai 4.633 hektare.
Pada kuartal pertama saja, 3.890 hektare lahan tutupan dibabat. Sebanyak 1.842 hektare berada di hutan gambut lindung. Lalu 2.213 hektare di gambut budidaya dan 3.730 hektare kawasan yang digarap merupakan habitat orangutan.
Fendy menyebut pembukaan lahan itu juga menghilangkan ribuan hektare kebun yang digarap warga. Karet, tengkawang, jengkol, petai, sagu, hingga bambu semakin sulit dicari akibat tergusur konsesi.
“Tanah itu milik masyarakat. Tidak pernah diserahkan. Tapi tetap digusur,” katanya.
Bahkan, menurut Fendy, lahan yang telah dibuka perusahaan dibiarkan terbengkalai. Mengabaikan perintah KLHK yang telah meminta perusahaan fokus melakukan pemulihan lingkungan. Alat berat, masih beroperasi di wilayah garapan warga.
“Ekskavator masih di sana sampai sekarang,” tutur Fendy.
Dampak alih fungsi lahan ini terasa langsung. Ekonomi petani runtuh. Penyadap karet yang dulu membawa pulang Rp200–300 ribu per hari kini kehilangan penghasilan akibat kebun yang tergusur.
“Beli garam dan micin saja kadang harus pinjam,” ujarnya.

Hamparan lahan tampak gundul. (Istimewa)
Mayawana: Murni Pidana
Mayawana Persada bersikukuh. Mereka menyatakan kasus hukum yang menjerat Fendy murni pidana. Bukan kriminalisasi atas klaim memperjuangkan lahan ulayat. Fendi dilaporkan atas kasus pemerasan.
“Ini kasus pemerasan. Korbannya karyawan Mayawana,” kata Humas Mayawana Persada, Yohanes, dalam keterangan tertulis.
Ia menyebut, pada 2 Desember 2023, sekitar pukul 11.00 WIB, sekelompok massa yang dibawa Fendy datang ke kantor Estate di Kualan Hilir mengenakan pakaian adat, dan membawa senjata tajam. “Mereka berteriak-teriak memaksa pimpinan keluar,” ujarnya.
Akhirnya, pimpinan Estate Kualan, Toto keluar sebagai perwakilan perusahaan menemui massa, lalu dipukul hingga hidungnya cedera serius. “Akibat pemukulan tersebut, pimpinan Estate harus mendapatkan perawatan,” sebut Yohanes.
Klaim itu berbeda dengan cerita dan bukti foto yang disampaikan Fendy. Yohanes juga menyebut rombongan Fendy meminta bertemu dengan karyawan bernama Heru terkait pembakaran lumbung padi. Dan, perusahaan menegaskan, peristiwa itu tidak terkait dengan mereka.
“Karena para karyawan tidak bisa mendatangkan Pak Heru, mereka disekap. Disuruh duduk di lantai, dan diancam,” katanya.
Penyekapan disebut berlangsung hingga pukul 17.00 WIB. Massa meminta uang Rp16 juta sebagai syarat penyelesaian secara adat. “Karena terancam, korban (Toto) terpaksa mentransfer uang ke rekening Fendy. Bukti sudah kami serahkan ke polisi,” ucapnya.
Fendy juga dituding merampas kunci sepuluh alat berat dan mengusir operator. Akibatnya operasional terganggu. Perusahaan mengklaim mengalami kerugian besar.
Sementara itu, Polda Kalbar dan Polres Ketapang belum menjelaskan secara rinci terkait proses hukum yang menjerat Fendy. Insidepontianak.com telah berupaya mengonfirmasi Kabid Humas Polda Kalbar, namun diarahkan ke Polres Ketapang.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Polres Ketapang juga belum merespons upaya konfirmasi yang dilayangkan Insidepontianak.com melalui telepon dan pesan WhatsApp.
Komisi II DPRD Kalbar berjanji bakal memanggil Mayawana Persada dalam waktu dekat. Sebab, persoalan adat dan sikap kritis para aktivis mempertahankan hak ulayat dianggap tidak semestinya berujung pidana.
“Kalau pembayaran adat yang disepakati dianggap pemerasan, itu berarti perusahaan melecehkan lembaga adat,” tegas Ketua Komisi II DPRD Kalbar, Ason.***
Tags :

Leave a comment