Fransiskus Ason: PT Mayawana Persada Berlebihan, Jangan Tarik Adat Jadi Pemerasan!
PONTIANAK, insidepontianak.com– Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Barat, Fransiskus Ason, menilai langkah PT Mayawana Persada melaporkan Kepala Adat Lelayang, Tarsisius Fendy, atas dugaan pemerasan sebagai tindakan berlebihan dan menunjukkan ketidakhormatan terhadap adat budaya masyarakat.
Ia menegaskan, urusan adat tidak semestinya ditarik menjadi persoalan pidana. Karenanya,ia memastikan Komisi II DPRD Kalbar akan mengawal.
Menurut legislator Partai Golkar ini, tidak seharusnya jalur hukum ditempuh perusahaan. Sebab, masih ada
solusi yang humanis dengan bermusyawarah dengan masyarakat, bukan langsung membawa persoalan adat ke jalur pidana.
"Apalagi yang saya dengar pak Fendy dilaporkan pemerasan. Padahal, pengakuan dia untuk ritual adat yang merupakan adat budaya masyarakat adat Dayak,"tegas Ason.
Menurut Ason, ritual adat tersebut muncul setelah konflik antara masyarakat dengan perusahaan bermula dari aktivitas PT Mayawana Persada terjadi.
Saat itu, perusahaan disebut menggusur lahan warga tanpa izin, serta membakar pondok-pondok padi milik masyarakat.
"Fotonya dan dokumennya ada di Link-AR Borneo,"ungkapnya.
Setelah itu, masyarakat mendatangi kantod Estate Kualan PT Mayawana Persada. Pihak perusahaan sepakat menjalani 'batang adat' ritual adat penebusan.
"Ada berita acara kesepakatan perusahaan dan masyarakat adat dan perusahaan membayar Rp16 juta untuk membeli perlengkapan,"ungkapnya.
Namun, ritual adat di lapangan yang memerlukan persiapan tambahan, termasuk penyediaan hewan adat dan perlengkapan lain. Selain itu juga belum terlaksana karena pihak perusahaan tidak hadir.
Anehnya, kata Ason pembayaran adat yang sudah disepakati justru dilaporkan sebagai pemerasan. Fendy dilaporkan perusahaan, seolah mengindikasikan sikap melecehkan lembaga adat.
“Kalau pembayaran adat disepakati dianggap pemerasan, itu berarti perusahaan melecehkan lembaga adat. Negara saja mengakui adat budaya, masa perusahaan tidak?” tegasnya.
Wakil rakyat dapil Sanggau-Sekadau ini menilai tindakan perusahaan Mayawana Persada berpotensi merendahkan martabat masyarakat adat dan bisa dinilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat.
“Kalau perusahaan menganggap ritual adat itu pemerasan, bagaimana dengan tindakan mereka menggusur lahan tanpa izin dan membakar pondok masyarakat? Ada datanya. Ini bukan hal kecil,” ujarnya.
Ia meminta perusahaan mencari solusi yang humanis dan bermusyawarah dengan masyarakat, bukan langsung membawa persoalan adat ke jalur pidana.
Komisi II DPRD Kalbar, kata Fransiskus, telah mengagendakan pemanggilan PT Mayawana Persada dan akan mempertemukan perusahaan dengan masyarakat adat.
“Kita akan kawal kasus ini sampai tuntas,” tegasnya. (Andi)
Tags :

Leave a comment