Tanah Leluhur Dipersempit, Fendy: Kisah Temenggung yang Dikejar Perusahaan dan Polisi

2025-12-10 15:25:40
Tarsisius Fendy Sesupi, Kepala Adat Dusun Lelayang, Desa Kualam Hilir, Simpang Hulu, Ketapang./IST

KETAPANG, insidepontianak.com - Tarsisius Fendy Sesupi ingat betul malam itu, September 2022. Saat asap mengepul  dan membakar habis pondok ladang di hutan di Lelayang. Puluhan ton padi hangus. Semua peralatan kerja seperti parang, chainsaw hangus jadi puing abu. Tak hanya satu, tapi delapan pondok yang jadi denyut hidup keluarga Dayak di desa itu luluh lantak, tak bersisa.

Fendy yang juga Temenggung Dusun Lelayang, curiga jika pondok-pondok padi milik warga sengaja Dibakar. Ia pun makin yakin, ini bukan lagi konflik lahan. Ini perang mempertahankan martabat.

“Kalau tanah ini hilang, hilang juga hidup kami,” ujarnya suatu kali di balai adat yang berdiri sederhana.

Fendy, lahir 15 Agustus 1987, dibesarkan dalam tradisi Dayak Gerai yang mengajarkan bahwa tanah adalah ibu kandung. Semua nilai kejujuran, keadilan, kesetaraan, penghormatan pada alam mengalir dari sana.

Ia tumbuh besar mengutip pelajaran alam lebih sering daripada pelajaran sekolah. Pelajaran itulah yang kini menjadi kompasnya menghadapi perusahaan raksasa: PT Mayawana Persada (MP).

Sejak MP memegang konsesi lebih dari 136 ribu hektare, kampung-kampung di sekitarnya tidak lagi tenang. Ladang hilang, kebun karet dan buah diratakan, situs adat TCTP di Bukit Sabar Bubu digusur tanpa sepengetahuan warga. Janji manis perusahaan membantu ekonomi, menyerap tenaga kerja lokal tinggal jadi poster di ruang rapat.

Yang tersisa? Banjir yang terus berulang, hilangnya hutan, dan masyarakat yang makin terjepit. Mereka pun mulai melawan.

Fendy ada di tengah semuanya. Sebagai Temenggung, ia bukan hanya pemimpin adat. Ia adalah tameng pertama ketika tanah leluhur dirampas.

Perlawanan Berujung Kriminalisasi

Perlawanan yang dipimpin Fendy membawa dirinya ke tempat yang tak pernah ia bayangkan: ruang pemeriksaan polisi. Sejak 2023, surat panggilan datang bertubi-tubi. Dari Polda Kalbar hingga Polres Ketapang, ia disebut saksi, terlapor, bahkan dijerat pasal pemerasan dan ancaman tuduhan yang oleh masyarakat dianggap jauh dari kenyataan.

Kasusnya selalu berputar pada satu peristiwa: aksi masyarakat 3 Desember 2023 menuntut pertanggungjawaban MP.

Aksi itu adalah bentuk frustrasi setelah ladang dibakar dan janji mediasi diingkari perusahaan.

Sementara, sanksi adat yang dijatuhkan masyarakat kepada MP yang sebenarnya telah disetujui dalam berita acara justru tak pernah dipenuhi perusahaan. Ironisnya, setiap kali masyarakat meminta penyelesaian, yang datang justru panggilan polisi.

“Ini cara membungkam kami,” kata salah satu warga yang ikut aksi saat itu.

Tak terhitung Upaya dan sangkaan yang dilayangkan untuknya. Mulai dari tahun 2023 sampai 2025 menandai upaya sistematis mengurung suara perlawanan tersebut. Di awal September 2023, Fendy diperiksa sebagai saksi. Lalu di tanggal 16 Januari 2024, ia kembali dipanggil untuk klarifikasi. Pada tahun yang sama di bulan Oktober, Ia memenuhi panggilan kedua bersama penasihat hukum. Kasusnya pun berlanjut di tanggal 4 Juni 2025, saat itu datang surat panggilan baru, kali ini dengan pasal berbeda tapi akar masalah tetap sama. Dan kemarin, tanggal 9 Desember 2025, ada upaya penjemputan paksa dilakukan polisi di Kota Pontianak. Bahkan, Fendy masuk Daftar Pencarian Orang atau DPO tanpa alasan.

Kriminalisasi pun mencuat atas bertubinya sangkaan kepada pemimpin adat muda itu. Masyarakat sipil menyebut adanya “ritual kriminalisasi”. Mereka menilai perusahaan memanfaatkan aparat untuk menekan warga agar menyerah, berhenti menuntut ganti rugi, dan menerima kenyataan bahwa tanah adat telah berubah konsesi.

Di rumah kayunya yang sederhana, Fendy tetap tenang. Di luar, ancaman perusahaan dan tekanan proses hukum terus mengintai. Tapi ia memilih tetap berdiri. Ia adalah ayah dua anak, suami dari perempuan Dayak Entakai, dan kepala keluarga yang harus menghidupi rumah tangganya.

Tapi tak sekali pun ia memanfaatkan alasan keluarga untuk mundur. Justru keluarga menjadi alasan mengapa ia tidak boleh menyerah.

“Kalau saya diam, anak-anak kami nanti hidup di tanah yang bukan lagi milik mereka,” katanya.

Tetap Melawan

Perjuangan Fendy bukan heroisme kosong. Ini lahir dari hal paling sederhana: cinta pada tanah tempat ia lahir dan dibesarkan.

Cinta pada hutan yang mengajarkannya siapa dirinya. Cinta pada kampung yang mempercayakannya mandat sebagai Temenggung.

Dan selama perusahaan terus mengabaikan suara masyarakat, selama panggilan demi panggilan terus datang tanpa penyelesaian yang adil, selama tanah adat terus diperlakukan seperti angka di peta konsesi, perlawanan Fendy tak akan padam.

Ia bukan perlawanan paling besar. Tapi ia simbol bahwa masyarakat adat tidak bisa dibungkam oleh intimidasi, tidak bisa dibeli dengan janji, dan tidak bisa dipatahkan hanya dengan surat panggilan.

Di Lelayang, suara perlawanan itu punya nama.Namanya Fendy. Dan ia belum selesai. (Greg)

Leave a comment