Ini yang Dibaca Bilal di Antara Salat Tarawih Bulan Ramadhan
SINJAI, insidepontianak.com - Bulan Ramadhan 1444 H ini memang sudah hampir separuh bulan dan tak terasa kita sudah melewatkan beberapa kesempatan berharga.
Rasanya seolah terlambat membicarakan bacaan bilal diantara shalat tarawih pada bulan Ramadhan yang kerap kita dengar.
Namun mungkin masih banyak yang mempertanyakan apa sesungguhnya landasan dalil dari berbagai bacaan bilal diantara salat tarawih di bulan Ramadhan.
Kalau mau menjawab mudahnya tentu kita mengatakan bahwa pada dasarnya apa yang dibaca diantara shalat tarawih pada bulan Ramadhan adalah kalimat-kalimat zikir,
Mulai dari tasbih (menyucikan Allah), tahlil (mengesakan Allah), tahmid (memuji Allah), takbir (memuji kebesaran Allah), dan salawat.
Maka semestinya tidak bisa dikatakan melakukan kemungkaran karena yang dibaca adalah zikir dan pujian kepada Allah SWT.
Hal tersebut tampaknya tak jauh berbeda ketika para ulama ditanya mengenai hal tersebut.
Syaikh ‘Athiyyah Shaqr, Mantan Ketua Dewan Fatwa Al-Azhar ketika ditanya mengenai bacaan zikir bilal di antara salat tarawih mengatakan,
ليس هناك نص يَمنَع من الذكر أو الدعاء أو قراءة القرآن في الفصل بين كل ركعتين من التراويح أو كل أربع منها مثلاً، وهو داخل تحت الأمر العام بالذِّكْر في كل حال. وكوْن السلف الذين يُؤخذ عنهم التشريع لم يفعلوه لا يَدل على منْعه، إلى جانب أن النقل عنهم في منع الذكر غير موثوق به.
“Tidak ada teks khusus yang melarang dzikir, doa, dan membaca Alquran dalam jeda antara dua rakaat shalat tarawih, atau tiap empat rakaat sekali. Perkara tersebut masuk di dalam perintah umum untuk berdzikir dalam segala kondisi.
Dan terkait perilaku ulama salaf (terdahulu), dimana keputusan tasyri berada pada mereka, mereka memang tidak melakukan zikir tersebut namun tidak ada indikasi dalil pelarangan terhadap hal tersebut.
Di samping teks yang mereka rujuk terkait melarang zikir (di antara shalat tarawih) ternyata tidak kuat.”.
Selain Syaikh ‘Athiyyah Shaqr, Lembaga Fatwa Mesir (Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah) juga berpendapat yang kurang lebih senada.
Menurut Dar al-Ifta’, berzikir setelah shalat (shalat apapun itu) sejatinya masuk dalam perintah Alquran dalam surah An-Nisa’ tentang perintah (yang sifatnya tidak berarti wajib dalam pengertian ushul al-Fiqh, dalam hal ini) untuk berzikir sesudah shalat,
(فَإِذَا قَضَيْتُمْ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَوْقُوتاً).
Lebih lanjut, Dar al-Ifta’ juga menjelaskan kalau setelah melaksanakan salat witir, Nabi SAW. membaca zikir yang biasa kita kenal dibaca diantara rakaat shalat tarawih atau setelah melaksanakan shalat witir, yaitu Subhaana al-Malik al-Quddus sebanyak 3 kali.
Dalam riwayat lain beliau disebutkan membacanya dengan keras,
فقد روى النسائي في سننه بإسناد صحيح: أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم كان يقرأ في الوتر سبح اسم ربك الأعلى وقل يا أيها الكافرون وقل هو الله أحد، فإذا سلّم قال: « سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ » ثلاثَ مرات ، وزاد عبد الرحمن في حديثه: يرفع بها صوته.
An-Nasa’i meriwayatkan di dalam Sunan-nya dengan sanad yang shahih: bahwasanya Nabi Saw. itu membaca Surah Al-A’la (Sabbihismaarabbika al-A’laa); Al-Kafirun; dan al-Ikhlash di dalam salat Witir.
Ketika sudah mengucapkan salam, beliau membaca Subhaana al-Maliki al-Quddus (3 kali). ‘Abd ar-Rahman menambahkan dalam riwayatnya: “Rasulullah meninggikan suaranya.”
Terakhir, Dar al-Ifta’ menutup penjelasannya bahwa dengan redaksi apapun zikirnya, selama redaksinya dapat ditemukan rujukannya.
Kemudian baik yang membacanya dengan suara keras (jahr) maupun lembut (sir), keduanya sama-sama masuk dalam naungan kesunahan berzikir.
Kita tidak boleh melakukan pembatasan terhadap sebuah persoalan yang sifatnya umum dan luas.
Sehingga apapun amaliah yang dilakukan diantara dua rakaat shalat tarawih tadi, baik zikir ataupun membaca sedikit ayat Alquran, ataupun diam, seluruhnya diperbolehkan.
Memang yang dikatakan oleh sebagian ulama juga, yang mereka labeli bid’ah adalah soal model dipandunya aneka berzikir di antara dua shalat tersebut oleh seseorang yang memimpin, atau oleh imam tarawih sendiri.
Hal ini misalnya disampaikan oleh Ibn al-Haj al-Maliki dalam karyanya al-Madkhal.
Salah seorang ulama Arab Saudi, Syaikh Abdullah bin Baz, bahkan menganggapnya sebagai bid’ah sehingga haram dilakukan.
Namun, yang dapat menjadi jalan tengah dari kedua kutub pendapat ini adalah, baik yang mengatakan bid’ah maupun tidak bid’ah harus menyadari kalau dzikir di antara dua salat tersebut tidak bisa dikatakan sebagai kewajiban.
Hukumnya masuk ke dalam keumuman keutamaan berdzikir.
Kalaupun ingin dikatakan sebagai bid’ah, harus diakui bahwa praktik shalat tarawih berjamaah berapapun jumlahnya, itu sendiri juga dikategorikan sebagai bid’ah, karena Nabi SAW.
Hanya sempat melakukannya beberapa saat kemudian meninggalkannya karena khawatir dianggap sebagai kewajiban.
Kemudian praktik tarawih sendiri juga memiliki keragaman bentuk bid’ahnya.
Mulai dari inisiatif mengumpulkan tarawih secara berjamaah di zaman Sayyidina ‘Umar bin al-Khattab.
Kemudian muncul praktik tarawih sebanyak 23 rakaat yang hinggi kini diamalkan oleh penduduk Madinah di Masjid Nabawi, atau praktik tarawih yang diselingi dengan bertawaf diantara dua shalat. itu semua tidak ada praktik khusus dari Nabi SAW.
Namun, dapatkan kita katakan oleh inisiatif ‘Umar bin Khattab ini sebagai bid’ah yang sesat? Anda sudah tahu tentu jawabannya. Wallahualam. (Zumardi IP)
Leave a comment