Demokrasi dan Politik Uang di Indonesia
Ada beberapa hal yang kita dapatkan, ketika Indonesia mengalami transisi dari pemerintah sistem otoriter Orde Baru selama 32 tahun, menjadi er Reformasi dalam bidang politik. Diantaranya, adanya otonomi daerah dan pemilu proporsional terbuka.
Semua orang bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau kepala daerah, dan anggota legislatif. Keputusan tidak lagi dimonopoli partai politik.
Rakyat Indonesia berharap, transisi demokrasi bakal mengubah sistem otoritarian menjadi lebih demokratis. Ujungnya, tentu saja pembangunan yang lebih merata demi kemakmuran bersama.
Namun, harapan itu, hanya tinggal harapan. Faktanya, otonomi daerah malah menciptakan raja-raja kecil di daerah. Kepala daerah banyak tersandung korupsi, akibat memainkan anggaran pembangunan.
Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2004-2024, sebanyak 167, walikota/wakil dan bupati/wakil terjerat korupsi. Tahun 2004-2024, KPK RI juga menangani sebanyak 618 kasus korupsi di pemerintahan kabupaten dan kota.
Lalu, bagaimana dengan pemilu di Indonesia? Bukannya semakin baik kualitasnya, pemilu malah melahirkan praktik politik uang, yang begitu merusak tatanan demokrasi, politik dan sosial di Indonesia.
Burhanuddin Muhtadi, menggambarkan politik uang di Indonesia dalam desertasinya berjudul “Kuasa Uang; Politik Uang Dalam Pemilu Pasca-Orde Baru.”
Buku yang terbit tahun 2015, memaparkan praktik jual beli suara, pada dasarnya tidak demokratis. Alasannya, melibatkan akuntabilitas terbalik. Alih-alih politisi bertanggung jawab kepada pemilih, di saat politik uang terjadi. Pemilih justru diminta pertanggungjawaban atas pilihan, karena suara mereka telah dibeli.
Data survei Pilkada di seluruh wilayah di Indonesia sejak 2006 hingga 2015, menemukan setidak 4 dari 10 orang Indonesia, menilai politik uang sebagai praktik yang lumrah dilakukan calon kepala daerah. Efek politik uang sebesar 10,2 persen, diestimasi berdasarkan pemilih yang terpapar pembelian suara, dibandingkan dengan total pemilih.
Pasar jual beli suara sangat besar di Indonesia. Politik uang tersebar luas, tak hanya dalam pemilu legislatif tingkat nasional, juga pemilu eksekutif tingkat lokal.
Untuk itu, penting bagi mesin politik dapat mengidentifikasi pemilih. Yang tak hanya paling bisa dipengaruhi oleh politik uang, juga paling dapat diandalkan memberikan suara kepada si pemberi uang.
Pemilih yang tak dapatkan informasi, akan jadi target operasi jual beli suara. Hal yang sama, pemilih yang memiliki banyak informasi, cenderung dukung politisi yang berkampanye programmatik, dan menghindar dari strategi mobilisasi klietelistik.
Di negara yang lembaga politik dan pemerintahannya lemah, serta memiliki hubungan patron klien yang kuat, pemilih cenderung mendukung pemimpin atau partai, dan berharap menerima insentif secara materiel.
Pemilih dengan tingkat kepercayaan rendah terhadap lembaga politik, diyakini cenderung membangun hubungan yang bersifat transaksional dengan partai, dan menjual suara kepada kandidat yang menawarkan uang atau paket hadiah.
Warga negara yang memiliki minat politik tinggi, cenderung termotivasi untuk partisipasi dalam pemilu, tanpa imbalan materi. Variabel psikologis ini, diyakini memiliki hubungan negatif dengan politik uang.
Makin kecil populasi pemilih di setiap kabupaten atau kota, makin mahal harga per suara yang harus disiapkan kandidat, untuk membeli suara pemilih. Apalagi di kabupaten/kota yang kaya sumber daya alam, tapi penduduknya jarang. Seperti di Kalimantan atau di bagian timur Indonesia.
Hampir di seluruh tempat di dunia, politik uang merupakan praktik ilegal. Karena itu, para politisi yang beli suara, dipaksa berhati-hati beroperasi. Namun, tentu saja sulit membeli suara dan menjangkau pemilih dalam jumlah besar secara diam-diam.
Karenanya, mereka menemukan cara untuk menyamarkan upaya pembelian suara. Misalnya, melakukan penetrasi ke organisasi-organisasi, baik informal maupun formal, dan mengemas taktik dengan bantuan sosial, atau sumbangan keagamaan.
Modus operandi ini menunjukkan klaim bahwa, organisasi-organisasi sosial dan para anggotanya, cenderung jadi sasaran pembelian suara, ketimbang pemilih yang tak memiliki aktivitas organisasi.
Dalam studi tersebut, tinggi rendahnya tingkat pendidikan, tak buat perbedaan signifikan dalam hal ditawari politik uang. Di Indonesia, pembelian suara tak memiliki hubungan signifikan dengan kemiskinan. Demikian pula politik uang, tak miliki pola perbedaan yang signifikan, antara daerah pedesaan dan perkotaan.
Minat politik secara signifikan memprediksi probabilitas seseorang, terlibat praktik klientelistik. Komponen penting sikap politik lainnya, kepercayaan terhadap lembaga politik. Makin dekat ikatan pemilih dengan partai politik, makin besar kemungkinan pemilih terima tawaran pembelian suara.
Partai Politik
Burhanudin menulis, para sarjana tentang Indonesia sampai pada kesimpulan, sebagian besar partai di Indonesia, kurang terorganisasi sebagai mesin politik. Partai pada umumnya tak miliki kapasitas, serta struktur organisasi yang mampu menetrasi ke masyarakat hingga tingkat bawah.
Mobilisasi partai-partai di Indonesia, umumnya lemah. Partai politik nyaris tidak terlibat layanan konstituensi dalam bentuk apapun. Layanan konstituensi memainkan peran penting, meningkatkan interaksi antara partai dan pemilih.
Distribusi sumber daya publik di Indonesia, sebagai besar tak berada di bawah kendali partai politik. Justru birokrasi yang mengantongi banyak diskresi kekuasaan (discretionary power), sejak masa otoriter Orde Baru.
Di Indonesia, mayoritas partai tak aktif serta lamban dalam kontestasi pileg atau pilkada. Individu caleg saja yang menjalankan mobilisasi elektoral di tingkat akar rumput, termasuk berkaitan dengan distribusi politik uang.
Para kandidat di Indonesia, lebih mengandalkan jaringan personal ketimbang struktur partai. Sistem proporsional terbuka, memberi insentif kuat kepada seorang caleg, mengejar personal votes, dan membuat partai jadi kurang relevan. Yang pada gilirannya, menyebabkan pemilu lebih berpusat pada kandidat atau caleg.
Kondisi partai politik di Indonesia, berbeda dengan partai politik di Amerika Latin. Misalnya, partai politik di Argentina.
Partai politik merupakan organisasi yang mengakar hingga tingkat bawah, dan melekat secara sosial ke masyarakat. Partai mengandalkan pasukan atau kader tingkat akar rumput. Yang terhubung ke struktur partai di tingkat lokal.
Struktur organisasi yang sedemikian mengakar ini, sebagian besar karena partai memiliki kapasitas, sekaligus kewenangan mengendalikan distribusi sumber daya. Hal itu memungkinkan partai politik, terlibat dalam interaksi dengan pemilih, bukan hanya pada masa pemilu saja.
Jika partai politik tak memiliki hubungan personal dengan pemilih, kemungkinan politik uang tak akan efektif mendorong munculnya rasa kewajiban moral, dari pihak pemilih untuk mencoblos yang memberi uang.
Tim Sukses
Pileg atau pilkada di Indonesia, selalu terkait dengan tim sukses. Mereka merupakan prajurit kandidat, belum tentu anggota partai. Caleg minta tim sukses melakukan banyak tugas. Mulai dari memobilisasi pemilih, terlibat di organisasi kampanye, membagikan dan memasang alat peraga kampanye, hingga menyebar amplop kepada para pemilih.
Jaringan tim sukses merupakan metode melipatgandakan jaringan personal patron client caleg, dalam usaha menjangkau pemilih lebih luas.
Seberapa besar ukuran dan armada tim sukses yang dimiliki caleg dalam menjalankan operasi pembelian suara, berdasarkan tim sukses yang beraneka ragam. Seberapa besar dan kuat jejaring pialang suara yang dimiliki seorang kandidat, dapat menentukan seberapa besar suara yang diperoleh caleg, ketimbang rival separtainya.
Tapi, banyak penerima uang atau hadiah, dipilih berdasarkan jejaring pribadi yang sangat longgar, dan tak terkait dengan kedekatan ideologis terhadap partai atau caleg. Hal itu menyebabkan “kebocoran” atau salah sasaran makin besar.
Uniknya, banyak caleg yang cukup rileks, jika tim kampanye gagal penuhi target suara. Terutama ketika masih mampu mengumpulkan suara pribadi (personal votes). Yang cukup untuk amankan kemenangan.
Sikap politis tersebut didorong dua hal. Pertama, mereka sadar, perilaku berburu rente seperti itu, tak dapat dihindari. Kedua, ada banyak kesulitan menegakkan kontrak jual beli suara tersebut.
Hal ini membuat para kandidat mentoleransi kinerja tim sukses yang kurang maksimal. Asalkan masih sanggup menghasilkan kemenangan, dalam konteks landskap elektoral yang sangat kompetitif di Indonesia.
Pemilu poporsional terbuka, merupakan buah reformasi yang kita dapatkan dengan berdarah-darah dan pengorbanan.
Namun, kalau hal itu menjadikan demokrasi semakin terpuruk, menghasilkan berbagai penyimpangan dan korupsi, tentu harus ada evaluasi ulang terhadap sistem politik kita.***
Penulis: Muhlis Suhaeri (CEO Insidepontianak.com dan Plt. Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Kalimantan Barat)
Leave a comment