Hardiknas Harus Jadi Momentum Evaluasi Persoalan Pendidikan

2025-05-03 01:00:47
Pengamat kebijakan publik Universitas Panca Bhakti Pontianak, Herman Hofi Munawar. (Net)

PONTIANAK, insidepontianak.com - Ketua Umum Borneo Education Care, Herman Hofi Munawar mendorong agar momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang setiap tahunnya digelar tidak hanya diperingati secara serimoni semata. 

Namun, harus jadi momentum evaluasi secara komprehensif persoalan pendidikan, utamanya krisis guru yang menghambat cita-cita Kalbar meningkatkan kualitas pendidikan. 

"Momentum Hardiknas ini hendaknya bukan  diperingati secara serimonila saja, tapi harus ada semangat dan tekat dari semua pengambil kebijakan untuk melakukan evaluasi secara komprehensif persoalan pendidikan," kata Herman Hofi Munawar. 

Lewat momentum ini semua pihak harus membuka mata dan fikiran mereka terhadap tantangan serius yang menghambat pemerataan dan kualitas pembelajaran. 

"Persoalan paling krusial adalah kekurangan tenaga pendidik dan minimnya infrastruktur pendidikan, terutama di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal," ungkapnya. 

Kondisi ini kata Herman, harus menjadi sorotan utama, karena berdampak langsung pada akses dan mutu pendidikan bagi ribuan anak di provinsi seluas 147.307 km² ini.

Data Dinas Pendidikan Kalbar sendiri  menunjukkan defisit signifikan tenaga pendidik, khususnya guru kejuruan di SMK dan guru di wilayah terisolir.

Di Kabupaten Sanggau, misalnya, rasio guru-siswa mencapai 1:111, dan jauh dari ideal, sehingga menyebabkan beban kerja guru yang berat dan penurunan kualitas pembelajaran. 

Selain itu, keterlambatan pembayaran Tunjangan Khusus Guru (TKG) di sejumlah daerah, seperti Melawi yang kekurangan alokasi Rp 6,2 miliar untuk triwulan III dan IV 2024, memperburuk motivasi dan kesejahteraan guru. 

"Minimnya insentif juga membuat banyak guru enggan bertugas di daerah 3T, memperparah kesenjangan pendidikan," ungkapnya.

Tak hanya itu saja, banyak sekolah di pedalaman, sudah tidak layak, tanpa fasilitas dasar seperti laboratorium, perpustakaan, atau akses internet. 

Wilayah terpencil seperti Kapuas Hulu dan Sintang juga kesulitan menyediakan komputer untuk pelajaran TIK, menghambat literasi digital siswa.

"Faktor geografis Kalbar yang luas, ditambah infrastruktur jalan yang terbatas, juga membuat distribusi sumber daya pendidikan dan akses siswa ke sekolah semakin sulit," ungkapnya. 

Selain itu, pogram pembangunan Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda di Kubu Raya, Mempawah, dan Singkawang belum sepenuhnya menjangkau semua daerah terpencil akibat keterbatasan lahan dan anggaran.

"Ini juga berdampak pada rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar, yang pada 2022 berada di urutan 29 nasional (68,63%), di bawah rata-rata nasional (72,29%)," ungkapnya. 

Tak hanya itu saja, angka putus sekolah di daerah terpencil masih tinggi karena jarak, biaya, dan minimnya fasilitas. 

Sedang, pendidikan vokasi juga terhambat akibat kurangnya guru kejuruan dan fasilitas praktik, yang membuat lulusan SMK sulit bersaing di pasar kerja.

"Karena itu diperlukan penanganan serius, krisis guru dan infrastruktur ini akan terus menghambat cita-cita Kalbar untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan daya saing sumber daya manusia. Langkah strategis dan komitmen jangka panjang menjadi kunci untuk mengatasi persoalan krusial ini," pungkasnya.***

Leave a comment