Rekonfigurasi Wilayah Administratif Pulau Pengekik dan Dampaknya: Antara Sejarah yang Terabaikan dan Potensi Keresahan Dalam Diam

2025-07-23 22:20:17
Pengamat politik Fisip Untan, Syarif Usmulyadi. (Dok IP)

Pulau Pengekek Besar dan Pulau Pengekek Kecil mungkin tidak sepopuler Pulau Bintan atau Pulau Derawan. Tapi siapa sangka, dua pulau kecil yang terletak di Laut Natuna bagian barat itu kini menjadi titik genting dalam perdebatan batas wilayah antara Provinsi Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau.

Selama bertahun-tahun, masyarakat pesisir Kabupaten Mempawah di Kalimantan Barat menganggap pulau-pulau itu bagian dari “rumah mereka” — wilayah tangkap nelayan, tempat persinggahan perahu, dan simbol keterikatan historis yang mengakar.

Namun secara tiba-tiba, melalui penegasan batas wilayah administratif terbaru, Pulau Pengekek resmi menjadi bagian dari Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.

Kejutan ini tentu tidak datang tanpa dampak. Ada keresahan yang tumbuh diam-diam di masyarakat Mempawah.

Rasa kehilangan itu nyata — bukan sekadar soal pulau, tapi juga soal jati diri, ruang hidup, dan sejarah yang seakan dihapus dengan satu garis peta.

Geografi Bukan Segalanya

Secara geografis, memang benar bahwa Pulau Pengekek lebih dekat ke Bintan daripada ke Mempawah.

Tapi apakah kedekatan jarak cukup untuk menentukan siapa yang berhak atas suatu wilayah? Dalam banyak kasus, batas administratif tak selalu sejalan dengan batas emosional dan sosial.

Pulau Pengekek mungkin lebih dekat secara fisik ke Bintan, tapi secara sosial dan ekonomi, ia lebih lama berhubungan dengan masyarakat Mempawah—nelayan yang menggantungkan hidup di sekitarnya, pemerintah daerah yang selama ini mengurusnya, dan ingatan kolektif yang menjadikannya bagian dari identitas Kalimantan Barat.

Kerugian yang Tak Terlihat

Perpindahan wilayah ini bisa jadi terlihat sederhana di atas kertas. Tapi bagi nelayan Mempawah, artinya bisa sangat berbeda.

Mereka kini terancam kehilangan hak kelola atas wilayah laut yang sudah mereka arungi puluhan tahun.

Belum lagi potensi kerugian ekonomi dari berkurangnya hasil tangkapan dan akses ke wilayah sumber daya.

Dari sisi psikologis, masyarakat pesisir merasa seperti kehilangan bagian dari diri mereka. Pulau itu bukan hanya “tanah kosong” di tengah laut, tetapi bagian dari sejarah dan ruang hidup.

Perubahan yang tidak melibatkan mereka justru bisa menimbulkan perasaan termarginalkan, bahkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.

Sejarah yang Terabaikan

Sayangnya, sejarah tidak banyak bicara dalam proses kebijakan ini. Padahal jika kita menengok dokumen-dokumen lama dan cerita turun-temurun, Pulau Pengekek lebih sering disebut dalam konteks Kalimantan Barat.

Bahkan peta kolonial pun menyiratkan keterkaitan yang lebih kuat dengan Mempawah. Namun dalam kebijakan negara, sering kali logika teknokratik dan koordinat GPS lebih diutamakan dibanding narasi sejarah dan identitas lokal.

Saatnya Meninjau Ulang

Kasus Pulau Pengekek memberi pelajaran penting. Penataan wilayah tidak cukup hanya berdasar pada peta dan jarak.

Harus ada pendekatan yang lebih manusiawi: melibatkan warga, menghargai sejarah, dan mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat akar rumput.

Apakah kita rela membiarkan warga Mempawah merasa kehilangan sesuatu yang telah lama menjadi bagian dari hidup mereka?

Atau kita mau membuka dialog, meninjau ulang keputusan, dan mengakui bahwa garis batas tak bisa menggantikan makna emosional suatu tempat?

Negara tidak boleh abai pada luka-luka kecil di batas peta. Sebab luka-luka kecil inilah yang bisa menjadi retakan besar dalam kepercayaan publik. (Penulis: Drs Syarif Usmulyadi, M,Si/Pengamat Sosial-Politik)

Leave a comment