Edi Rusdi Kamtono: Arsitek Bangun Kota
Orang-orang Pontianak tentu tahu jargon ‘Arsitek Bangun Kota’. Sebutan itu terkenal sepanjang Pilwako Pontianak 2018. Tapi mungkin, tidak semua tahu sepak terjang sang Wali Kota terpilih, yang dikenal sebagai arsitek tersebut, Edi Rusdi Kamtono.
Sejak jadi Wakil Wali Kota Pontianak periode 2013-2018 mendampingin Sutarmidji, namanya digadang jadi suksesor. Kini semuanya terbukti. Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Pontianak yang mendesain Rumah Dinas Wali Kota Pontianak di Jalan BLKI itu pun, menempati hasil karyanya.
Salah satu karya spektakuler Edi Kamtono adalah Masjid Raya Mujahidin Pontianak. Bangunan seluas 40 x 40 meter persegi di atas tanah seluas empat hektare tersebut, diresmikan Presiden Jokowi, 20 Januari 2015.
“Inilah karya spektakuler saya, selama merancang bangunan di Kota Pontianak. Masjid Raya Mujahidin adalah yang tersulit dan banyak memiliki tantangan, selama proses merancang hingga pembangunan,” kata Edi.
Edi Kamtono, selain menjabat Wakil Wali Kota Pontianak, juga diserahi mandat sebagai Ketua Bidang Pembangunan Masjid Raya Mujahidin. Dari amanat itu, mau tidak mau, Edi harus turun langsung, mengawal proses pembangunan masjid. Mulai dari administrasi hingga mendesain bangunan hingga selesai. Semua itu dikerjakan dengan semangat ibadah dan profesionalitas.
Ide merenovasi Masjid Raya Mujahidin, bermula dari Oesman Sapta Odang (OSO), berkeinginan Kalbar memiliki masjid yang bisa dibanggakan. Pengusaha ini, menyumbang sekitar Rp 20 miliar lebih dengan uang pribadinya. Selain uang pribadi, dana pembangunan juga berasal dari bantuan Pemerintah Provinsi Kalbar, Kota Pontianak dan sumbangan masyarakat.
Pada awal pembangunan, tim perancang dari Oesman Sapta menawarkan konsep desain, dan memberikan dua alternatif gambar. Edi menerima dua gambar. Ia mengolah dan memodifikasi.
[caption id="attachment_8174" align="alignnone" width="585"] Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono melakukan pemeriksaan terhadap situasi kota Pontianak, menjelang Imlek 2023. (Humas Pemkot)[/caption]
Sebelum mulai pengerjaan, ada dua tantangan terbesar untuk membangunnya. Yakni, pengurusan administrasi dan merancang bangunan.
Di sinilah tantangan terbesar bagi Edi, khususnya dalam hal menangani administrasi pembangunan. Ia menyebutkan, bila harus menunggu dana sumbangan bisa terkumpul sepenuhnya, jelas menjadi hambatan.
“Selama proses membangun, uang tidak stand by. Sementara pembangunan jalan terus. Solusinya adalah sistem kepercayaan. Pihak yayasan memilih cara pinjaman kepada pihak lain. Termasuk dari Pak OSO,” tutur Edi.
Tentunya, sambil menunggu sumbangan dari pemerintah dan masyarakat.
Itu baru dalam hal administrasi. Dalam hal desain juga berat. Terutama pada bagian pemasangan kubah. Perlu diketahui, kubah Masjid Raya Mujahidin memiliki bentangan diameter 40 meter.
Untuk pemasangan kubah raksasa, harus menggunakan rangka besar dan berat. Bahan kubah terbuat dari bahan campuran gipsum, baja dan multi tras. Kubah dipesan dari Jawa Tengah.
Desain masjid, sedikit meniru konsep arsitektur ala Persia. Desain bangunan juga mirip dengan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Arab Saudi. Di mana ada ruang terbuka yang luas di dalamnya. Jadilah, model konsep pres presedinsien. Agar bangunan berdiri kokoh, fisik masjid ditopang delapan tiang pilar. Tidak ada maksud dan arti tertentu.
“Delapan pilar itu hanya untuk menyokong struktur aja,” tutur Edi.
Siapakah Edi Rusdi Kamtono?
Edi kelahiran Pontianak, 17 Oktober 1963. Ia anak ke lima dari delapan bersaudara. Buah perkawinan pasangan Haji Buskamnoor dan Hajah Rukiyah. Ayah Edi, asli Sambas dan pensiunan ABRI Angkatan Darat, dengan pangkat terakhir Kapten. Sang ibu asli Pontianak, ibu rumah tangga.
Meski ayahnya seorang militer, di lingkungan keluarga, Edi tak dapat pendidikan keras dari keluarga. Sebaliknya, justru seluruh anak diberikan kebebasan memilih tujuan hidup. Yang paling penting adalah, menanamkan hidup mandiri kepada seluruh anak.
[caption id="attachment_8177" align="alignnone" width="644"] Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono menyerahkan rumah kepada warga yang sudah diperbaiki. (Humas Pemkot)[/caption]
Edi kecil hidup dari keluarga sederhana. Ia pernah tinggal di Asrama Hidayat, Jalan Alianyang, Kecamatan Pontianak Kota. Di sana, delapan tahun jadi anak kolong, sebutan anak tentara atau anak yang besar di tangsi tentara.
Selama tinggal di asrama, setiap anak selalu dapat tugas dan harus menyelesaikan pekerjaan. Ada kebagian mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu rumah, dan menyiram tanaman. Tugas rutin itu pernah dirasakan Edi, ketika masih bocah dulu.
Meski terbilang rajin di rumah, di sekolah, Edi termasuk siswa berprestasi. Ia selalu masuk ranking sepuluh besar. Jenjang pendidikan Edi dimulai dari SD 03 Pontianak di Jalan Ahmad Dahlan, Pontianak. Sekarang bangunan gedung sudah beralih fungsi menjadi Kantor Kejari Pontianak.
Selepas SD, Edi melanjutkan studi di SMPN 3 Pontianak, Jalan Kalimantan. Pada 1979, Edi melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Atas (SMA).
Hanya saja, pada masa itu, Edi selalu berpindah-pindah sekolah. Pernah merasakan pendidikan di SMA 1 Pontianak, tetapi hanya berselang dua bulan. Ia pindah sekolah lagi di Malang, Jawa Timur, sampai naik kelas dua. Sayang di sekolah itu hanya ada jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial.
“Dari dulu saya senang pelajaran berhitung. Makanya, saya ingin mencari jurusan IPA,” katanya.
Begitu mengetahui sekolah itu tidak ada jurusan Ilmu Pengetahuan Alam, lagi-lagi Edi memutuskan pulang ke kampung halaman, dan bersekolah di SMA 4 Pontianak. Di sekolah itu hanya berlangsung enam hari saja. Edi pun dikirim keluarga bersekolah ke SMAN 6 di Bandung. Sampai akhirnya selesai pada 1983.
Alasannya, “Selain punya ilmu, juga punya wawasan di luar kita,” kata Edi, menirukan ucapan orang tua.
Selesai menamatkan jenjang SMA, dia langsung masuk Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jurusan Teknik Arsitektur. Edi menyelesaikan kuliah pada 1990.
Pulang Kampung
Lama di kampung orang, Edi selalu rindu kampung halaman. Begitu berhasil dapat gelar Insinyur Teknik di kampus, Edi memutuskan pulang ke Kota Pontianak. Sebuah kota yang menuntut Edi untuk berkembang, sekaligus memberikan pelajaran nilai-nilai kehidupan padanya.
Datang dengan ingatan masa kecil yang akrab dengan sungai, perkembangan kota justru menjauhinya. Ia pun terpanggil, mengurai satu per satu “benang kusut” permasalahan di ibukota Kalimantan Barat ini.
Awal tiba di Kota Pontianak, Edi ingin membangun usaha properti alias developer. Saat itu, Indonesia sedang membangun. Diperlukan arsitek muda, membangun sebuah kota. Sayang, keinginan itu belum terwujud.
Pasalnya, dunia konsultan sudah lebih dulu mengawali karir Edi. PT Askon, berkantor di Jalan Letjen Suprapto Pontianak, Pontianak Selatan, merupakan satu di antara perusahaan tempat Edi bekerja sebagai konsultan proyek. Waktu itu, tenaga arsitektur belum banyak.
Salah satu hasil karya Edi pada waktu itu, merancang sekaligus membangun kantor dan rumah Dinas Kehutanan, serta Kantor Jiwa Sraya di Singkawang.
Lama berkecimpung di dunia konsultan, pada1992, Edi memutuskan berkarir sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Departemen Pekerjaan Umum (PU), yang diperbantukan di Kota Pontianak.
Ia ingat betul, pada saat baru pertama menjadi pegawai di Departemen PU. Gaji dari jerih kerja selama sebulan, hanya cukup untuk kebutuhan hidup sebulan itu juga.
Apalagi awal karir Edi dari bawah sebagai staf. Kepala Dinas PU pada waktu itu dijabat Uray Ari Sidharta, pada masa kepemimpinan Wali Kota Pontianak, H.A. Majid Hasan.
“Makanya jangan heran, banyak pimpinan proyek pada waktu itu, enggan menjadi pegawai,” katanya.
Tapi keinginan menjadi pegawai bukan tanpa alasan. Ia berpikiran, duduk di pemerintahan tentu akan lebih leluasa, mencurahkan ide membangun Kota Pontianak.
Departemen PU punya kewenangan dan kebijakan, mengatur langsung konsep perencanaan pembangunan sebuah kota. Setelah beberapa tahun bekerja sebagai staf di Dinas PU, pelan-pelan karir Edi merangkak naik. Tepatnya pada 1999.
Saat itu, Kepala Dinas PU dijabat Ir Syarief Saleh. Syarief mengangkat Edi menduduki jabatan Kepala Seksi (Kasi) Jalan, Jembatan dan Gedung Daerah. Tepatnya pada masa kepemimpinan Wali Kota R.A. Siregar.
[caption id="attachment_8179" align="alignnone" width="659"] Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono menyerahkan bantuan kepada warga. (Humas Pemkot)[/caption]
Pada tahun 2001, Kepala Dinas PU dijabat Yakabil Nasir. Edi mengisi jabatan Kasi Pemeliharaan Jalan dan Jembatan. Pada tahun yang sama, jabatan Edi terus naik. Dia diangkat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kasubdin Jalan dan Jembatan.
Dua tahun berselang, Edi diangkat sebagai Penanggung Jawab (Pj) Kepala Dinas PU. Pada Desember 2008, Edi resmi menjabat sebagai orang nomor satu di Dinas PU Pontianak. Tepatnya pada masa Wali Kota Buchary Abdurrachman.
Di sini, kesempatan Edi dimulai. Ia ingin mewujudkan Kota Pontianak sebagai “Kota Perdagangan dan Jasa, Berwawasan Lingkungan dan Bertaraf Internasional.” Konsep itu, Edi sendiri yang membuatnya. Keinginan itu tak terlalu muluk.
“Asal ada komitmen yang kuat dari pemangku kebijakan, semua permasalahan ibukota bisa teratasi dengan baik,” kata Edi.
Baginya, Kota Pontianak punya karakteristik tersendiri, dibanding daerah lain. Kota ini dibangun pada pertemuan dua aliran sungai. Sungai Kapuas dan Landak.
Para pendiri kerajaan, selalu membangun ibukota kerajaan pada pertemuan dua aliran sungai. Ini tidak lepas dari falsafah dan identitas dari masyarakat tersebut. Masyarakat Kota Pontianak dulunya berdagang, dan dapat pajak dari lalu lintas perdagangan kapal yang lewat.
Lain halnya kota di Jawa. Misalkan saja, kota yang didirikan zaman kerajaan Mataram, Surakarta dan Yogyakarta. Kedua kota ini, hidup dan mengandalkan hasil pertanian. Karenanya, kota pun berdiri pada tanah subur, dan cukup menyediakan air bagi pertanian. Dari hasil pertanian itulah, dijual dan menjadi komoditas perdagangan.
Sadar bahwa Kota Pontianak tidak memiliki lahan pertanian, karena tak memiliki lahan cukup untuk menggarap sektor ini. Sebagai gantinya, Kota Pontianak harus bisa meningkatkan sektor perdagangan dan jasa, sebagai sumber andalan pendapatan daerah.
Dari hasil sumber pendapatan tadi, akan digunakan untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur dan prasarana publik lainnya. Seperti jalan, gedung perkantoran, puskesmas, sekolah, sumber air bersih dan penerangan listrik.
“Tapi, untuk membangun sebuah kota yang modern, tidak selalu menampilkan pembangunan gedung yang megah,” kata Edi.
Sebaliknya, kota ini harus dibangun untuk dapat melayani kebutuhan seluruh lapisan masyarakat di dalamnya.
Bangun Rumah Dinas Wali Kota
Mantan Wali Kota Pontianak, RA Siregar, pernah memuji sang arsitek muda satu ini. Dari ide karyanya, rumah dinas Wali Kota Pontianak berhasil dibangun. Unik dan monumental.
Desain bangunan sengaja ditampilkan dua sisi yang menarik. Perpaduan antara rumah panggung dan modern. Ornamen bangunan juga minimalis, menjadikan bangunan ini cerminan kebanggaan warga Kota Pontianak.
Rumah dinas Wali Kota Pontianak dibangun seluas 2.400 meter persegi di kawasan Jalan BLKI, Pontianak Selatan. Sangat luas. Di rumah ini diisi dengan furnitur lengkap, dan interior menawan.
Selain bentuk fisik, rumah dinas ini juga memiliki halaman setengah kali luas lapangan sepakbola. Di halaman ini juga ditanami aneka ragam pohon rindang dan tanaman hias. Jadilah rumah ini terlihat “welcome” di Jalan BLKI Pontianak.
Karya berikutnya yang lahir dari arsitek muda ini, membangun Kantor PLN Cabang V Pontianak, Jalan A Yani Pontianak. Uniknya, desain bangunan gedung ini dirancang dari konsep penggabungan kebudayaan lokal dan modern. Sampai sekarang gedung itu menjadi pusat pelayanan kelistrikan di Kota Pontianak.
Sebenarnya masih banyak koleksi karya lain dari sang arsitek satu ini. Diantara Gedung Pontianak Convention Centre (PCC), Gedung Jiwa Sraya Kota Singkawang, Rumah Dinas dan Kantor Kehutanan, pasar tradisional dan lainnya.
Cita-citanya adalah membangun kota yang memiliki karakteristik. Unik, menarik, dan bertaraf internasional. Hasilnya bisa dilihat, pembangunan ibukota Kalimantan Barat ini semakin menggeliat. Hampir setiap ruas jalan berdiri bangunan publik baru. Seperti perkantoran pemerintah, puskesmas, sekolah dan lainnya.
Desain bangunan juga ditampilkan unik dan menarik. Di mana canopy dan pasat bangunan memiliki corak budaya lokal. Satu di antara bangunan itu ada di gedung perkantoran “Satu Atap” di Jalan Letjen Soetoyo, Pontianak Selatan.
“Suasana kedaerahan harus kita tampilkan,” katanya.
Termasuk juga bangunan sejumlah pasar tradisional di Kota Pontianak. Terakhir adalah Pasar Flamboyan. Di luar konsep pembangunan kota yang unik, bangunan kuno atau bersejarah juga dipertahankan. Bangunan tersebut sudah jadi bagian dari saksi sejarah, dan identitas kota ini berada.
Tidak kalah ketinggalan, Pemkot Pontianak juga turut melestarikan rumah kuno milik warga. Salah satunya di Jalan Tritura, Pontianak Timur. Di mana bentuk fisik rumah itu memiliki tinggi kolong hampir dua meteran. Dinding dan lantai bangunan masih menggunakan kayu belian. Unik dan menarik. Warga lokal menyebutnya rumah panggung. Atau, rumah tahan banjir.
Semestinya masyarakat meniru sejarah berdirinya rumah panggung. Kehadiran rumah tradisional, tidak lepas dari masyarakatnya pada saat itu. Saat kota ini berdiri, telah lebih dahulu memahami falsafah pembangunan kota.
Dimana Kota Pontianak terletak pada lintasan garis Khatulistiwa dengan ketinggian berkisar antara 0,80 meter sampai 1,50 meter di atas permukaan laut. Pada kondisi seperti itu, Kota Pontianak rentan mengalami air pasang, begitu memasuki musim penghujan. Sehingga kehadiran rumah panggung sangat efektif, menangkal air pasang masuk ke rumah warga.
Kondisi sekarang justru sebaliknya. Kebanyakan warga cenderung memilih membangun rumah langsung di atas permukaan tanah. Begitu air pasang, mudah masuk ke dalam rumah.
Membangun rumah panggung butuh biaya besar. Tapi, melihat karakteristik Kota Pontianak pada nol di atas permukaan laut, kota ini rentan dengan kondisi air pasang.
“Kita tidak bisa menyalahkan warga. Tapi, peran pemerintah wajib memberikan sosialisasi yang baik, cara aman membangun rumah bebas banjir,” kata Edi.
Kota tentu saja tak sekadar landscape bangunan semata. Tapi, ia adalah nafas yang turut mencipta sejarah, budaya, kesenian dan karakter masyarakatnya.
Mengutip mantan Perdana Menteri Inggris semasa perang dunia kedua, Sir Winston Churchill, “Pada mulanya, orang-orang membangun kota dan gedung-gedung. Kemudian justru gedung-gedung itulah yang membentuk identitas orang-orang yang membangunnya.” (Agus Wahyuni)
Leave a comment