Simson Abraham Situmorang: Ditolak Sana Sini hingga Jadi Atlet Pecahkan Rekor Nasional
Bak disambar petir, wajah Simson layu. Cermin yang dipegangnya sedikit bergetar. Seakan tak percaya, ia kembali melihat sosoknya. Melihat lebih dekat bentuk tangan dan kaki kecilnya.
Saat itu tahun 2004. Simson baru berusia 10 tahun. Sebagai seorang anak ia merasa sempurna. Tak berfikir ia memiliki kekurangan. Tapi siang di awal 2004 itu, membuyarkan perasaan sempurna yang ia miliki selama ini.
Teman sebayanya mengatai Samson kecil tak punya tangan dan kaki. Sontak, jiwa kecilnya meronta dan meraung sedih.
Pikirnya ia punya tangan dan kaki.
Tapi, ledekan itu terus terngiang. Ia memilih tak bermain, dan pulang lebih cepat dari biasanya.
Tiba di rumah, ia menutup pintu kamar dan menguncinya.
Tangan mungilnya lantas meraih cermin segi empat di sudut lemari kayu.
Simson ingin membuktikan kepada teman sebayanya itu, bahwa ia punya tangan dan kaki. Butuh waktu untuk Simson kecil tergamam melihat fisiknya. Ia hanya menangis. Terus menangis.
Kini, siapa sangka si kecil yang meringkuk di kamar dan menangis itu jadi perenang disabilitas tercepat di Kalbar. Bahkan, mampu memecahkan rekor nasional.
Si Kecil yang Minder
Namanya Simson Abraham Situmorang. Sejak kecil ia terkenal minder. Pengalaman diejek tak punya tangan dan kaki masih membekas.
Sejak ia mulai paham tangan dan kakinya tak sempurna, Simson kecil tak mau bermain lagi. Ia tak mau keluar rumah. Sang ayah Pdt Mangasi Barnabas Situmorang dan ibunya Maryani Andong tak bisa membujuk.
[caption id="attachment_25175" align="alignnone" width="1071"] Simson Abraham Situmorang dikenal sebagai sosok pendiam/dok pribadi[/caption]
Simson kecil kadung shock. Ia baru paham akan kondisi fisikya. Di otak kecilnya itu ia merasa cacat. Ia malu jika bermain dengan anak-anak sempurna lainnya. Ia takut diejek.
Butuh waktu lama bagi pria kelahiran Desa Cempedak, Kecamatan Tayang Hilir, Sanggau ini untuk pulih.
Saat bertemu untuk wawancara ini pun, ia malu-malu menceritakan masa kecilnya.
Ia berkisah, saat masih dalam kandungan, sang ibu jatuh dari tangga rumahnya di Desa Cempedak.
Rumah adat panggung memiliki tangga yang cukup curam. Kaki sang ibu pun terpeleset. Perut buncitnya seketika membentur papan kayu di bawah tangga.
Simson dan keluarga tinggal di desa terpencil. Penduduk di sana lebih percaya pengobatan tradisional. Sang ibu pun dibawa untuk diurut. Tak hanya itu, sang ibu meminum jamu yang dipercaya bisa mengembalikan kondisi janin.
Pada tanggal 30 April 1994, Simson lahir.
Ia adalah anak kedua dari empat bersaudara. Sejak Simson lahir, kedua orangtuanya tak pernah membahas kondisi sang buah hati itu. Mereka merawat Simson dengan kasih sayang dan penuh kasih. Simson pun tak pernah merasa ia berbeda dari orang sekitarnya.
“Orangtua saya adalah yang terbaik. Sampai umur saya 10 tahun, saya tak tau saya berbeda. Mereka memperlakukan saya sama, tak ada bedanya,” katanya.
Sampai peristiwa itu. Diejak tak punya tangan dan kaki. Kejadian itu adalah titik balik bagi kehidupan Simson. Membuat ia paham, bahwa ia berbeda. Seperti ungkapan sang ayah, ia adalah hadiah istimewa yang diberikan Tuhan pada keluarga mereka.
“Waktu kecil saya minder, tapi keluarga saya selalu mendukung,” ucap Simson dengan mata berkaca-kaca.
Ditolak Bersekolah
Simson kecil bersekolah di SDN 07 Desa Cempedak. Sekolah itu tak jauh dari rumahnya. Ia pun tak kesulitan untuk bersekolah. Baik guru dan murid sebayanya tak memperlakukannya beda.
Namun, tamat SD, ia ingin sempat masuk ke SMP terdekat. Namun, saat ayahnya mendaftar, Simson ditolak di sekolah tersebut. Ia dan keluarga kecewa. Tapi, apa daya dengan fisiknya yang terbatas, ia tak banyak berharap.
Maklum di tahun itu, sekolah khusus untuk para disabilitas tidak ada. Tidak seperti sekarang, sekolah disabilitas sudah banyak.
“Mau sekolah tapi tak ada yang mau menerima. Lihat saya, mereka tak yakin saya bisa beradaptasi di sekolah,” ujarnya.
Meski sedih, ia tak menyimpan lama di hatinya. Ia sudah mulai berdamai dengan dirinya. Apalagi, sang ayah seorang pendeta kerap membawanya beribadah. Tak hanya itu, sang ayah juga memberinya wejangan dan kata-kata motivasi agar ia tetap bersemangat apapun yang terjadi.
Tak bisa sekolah, tak lantas membuat Simson berdiam diri. Sang ayah lantas memberikan di guru untuk ia bisa belajar komputer dan laptop. Ia tak menyia-nyiakan hal itu. Ia belajar bagaimana mengoperasionalkan laptop dan belajar bagaimana membuat program.
Dari situ, Simson belajar desain. Lewat laptop ia banyak mengeksplorasi bagaimana membuat desain grafis yang menarik.
“Saya suka grafis dari situ dan menekuninya,” ujar Simson.
Selain grafis, hal yang menjadi hobinya adalah bermain musik dan bernyanyi. Simson menjadi pembina Youth Generation Church Community Ministry (YGCCM) di Desa Cempedak. Ia bahkan didapuk untuk bernyanyi setiap kegiatan jemaat di gereja tempat ayahnya berkhotbah.
Saking mencintai musik, Simson sampai punya toko alat musik bernama Scream Sound Music Pontianak.
“Musik bagian dari hidup saya. Lagu rohani jadi sering saya nyanyikan,” ungkapnya.
Ditolak Bekerja
Tak ingin terkungkung di desa, ia pun berniat ke ibu kota provinsi. Ia ingin mencari kerja. Selama tinggal di desa, ia tak banyak beraktivitas.
Ia ingin mandiri. Niatnya ia utarakan kepada kedua orangtuanya itu. Mereka pun mengizinkan Simson, meski khawatir anak keduanya itu tak bisa bertahan di kota besar.
Maka pergilah Simson seorang diri. Berbekal seadanya. Tanpa tahu akan hidup seperti apa di sana. Ia hanya ingin keluar dari desa dan memulai hidup mandiri dan ingin berdiri di kaki sendiri.
Mulailah ia mencari informasi pekerjaan, terutama yang berhubungan dengan desain grafis.
Ia pun mendatangi kantor desain dan melamar. Di sana ia di tes. Bisa ditebak, ia ditolak karena fisik. Tak hanya satu, tapi tiga kali mencoba mewawancara pekerjaan, ia kerap ditolak.
Meski ia meminta pemilik usaha desain untuk mengetesnya dalam soal desain. Tapi, tak membuat ia diterima bekerja.
“Sana sini cari kerja waktu itu ditolak. Tapi, mau gimana lagi, yaa harus melamar lagi,” ujarnya.
Ia kecewa tapi tak bisa berbuat banyak. Selama ia di Pontianak, ia ditampung sang kawan. Enam bulan iaa habiskan untuk mencari pekerjaan, meski tak membuahkan hasil.
Jadi Atlet Renang
Di tengah kekecewaan, sang kawan Rainaldo Ginting lantas mengajaknya ‘santai’. Sang kawan mengajak Simson ke kolam renang. Katanya, biar Simon tak suntuk dan bisa dapat inspirasi.
Kebetulan sejak usia 8 tahun, Simson sudah mahir berenang. Sebagai anak desa, berenang di sungai sudah jadi kebiasaan meski dengan keterbatasannya.
[caption id="attachment_25176" align="alignnone" width="1052"] Simson Abraham Situmorang mampu menujukkan bahwa ia mampu menjadi kebanggaan nasional/dok pribadi[/caption]
Tetiba, ia didatangi seorang pelatih renang bernama Sabri Pontinga. Ia mengajak Simson untuk menjadi atlet renang. Ia menolak, lantaran misinya ke Pontianak untuk bekerja bukan menjadi atlet.
Tapi, pelatih Sabri terus mendesak. Ia berujar bahwa Simson punya bakat jika dilatih dan konsisten.
Simson pun meminta waktu untuk berfikir, hingga akhirnya ia mau dilatih renang. Selama empat bulan, Simson fokus berlatih. Saking fokus, ia sempat muntah lantaran fisik tak mampu.
“Belum terbiasa dengan air. Tapi saya terus latihan. Pokoknya saya ingin jadi atlet disabilitas. Ingin mengharumkan nama Kalbar dan nasional hingga Internasional,” ujarnya.
Tahun 2018, ia berani tampil di kejuaraan daerah. Pekan Paralimpik Pemprov (Peparnas) Kalbar ia mampu menggondol dua medali perak. Gaya 50 meter dada dan 100 meter gaya dada. Tahun 2019, ia mengikuti Kejuaraan Olahraga Provinsi Kalbar dan pecah rekor.
Ia meraih juara 1 dan mendapatkan medali emas dengan gaya 100 meter dada dan medali perak 50 meter gaya dada.
Di tahun yang sama, Simson mengikuti Kejuaraan Nasional Swimming Indonesia, dan mendapatkan medali perunggu dengan gaya dada 100 meter.
Terbaru, ia mengikuti Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas XVI) di Papua 2021 dengan meriah medali emas. Bahkan Simson mampu memecahkan rekor nasional. Ke depan, ia mempersiapkan Peparnas 2022 dengan target dua emas.
“Tahun ini, dua emas. Optimis bisa,” ujarnya.
Dukungan Orang Tercinta
Simson tak menyangka ia bisa mencapai prestasi gemilang, hingga bisa tembus nasional untuk rekor.
“Bangga, dan tak menyangka bisa mencapai seperti sekarang ini,” katanya.
Simson yang di awal hanya ingin latihan saja, kini sudah punya goals dan mimpi. Targetnya, jadi atlet profesional ke depan. Ia pun tak lagi minder dengan kondisi fisiknya.
Suka dukanya selama berlatih hingga ia jadi juara ia jadikan bekal untuk ke depan. Ia pun tak memikirkan lagi bullying yang pernah ia terima.
[caption id="attachment_25177" align="alignnone" width="696"] Simson Abraham Situmorang berama ayah dan ibunya adalah dukungan terbesarnya/dok pribadi[/caption]
Ia tak peduli nyinyiran. Bahkan, ejekan atau hal yang menjatuhkan tak pernah ia hiraukan. Baginya perkataan negatif orang itu harus menjadi motivasi lebih baik. Jangan sampai kata-kata membuat ia down.
Soal rintangan pun tak pernah ia pikirkan. Namanya ingin sukses, pasti ada rintangan dan hambatan. Bahkan, saat mempersiapkan Peparnas di Papua ia sempat sakit empat hari dan tak bisa latihan maksimal. Sang ibu, sempat meminta Simson untuk melepaskan karirnya.
“Tapi saya beri ibu pengertian. Setelah dijelaskan, ia pun mengerti dan sampai sekarang tak nanya lagi soal itu. Ayah ibu dukung penuh,” terangnya.
Pesan Optimis
Pesan optimis dibagikan Simson untuk generasi milenial. Baginya, keterbatasan fisik pada akhirnya tak membuat masalah bagi masa depannya. Ia awalnya yang khawatir akan masa depan, percaya bahwa Tuhan sudah menggaris bawahi retak tangan masing-masing. Tinggal, bagaimana bekerja keras untuk mewujudkan hal itu.
“Keterbatasan fisik bukan halangan untuk meraih mimpi. Butuh tekad dan hati kuat untuk menuju masa depan yang penuh harapan. Keterbatasan fisik dihadirkan ke bumi bukan kebetulan tapi ada rencana Tuhan yang lebih indah,” katanya.
Ia berpesan agar bakat-bakat generasi milenial terus digali. Jangan pernah berkecil hati, tapi tanamkan pada diri bahwa semua bisa dilakukan. Tak peduli, apakah ia normal secara fisik atau sebaliknya.
“Jangan pernah malu. Harus lebih percaya diri bahwa kita bisa mampu,” ucapnya.
Ia yang awalnya bukan siapa-siapa, kini diperhitungkan sebagai seorang personal. Di Kalbar, siapa yang tak kenal sosoknya. Penyandang disabilitas dan tinggal di desa terpelosok desa terpencil mampu membawa harum Kalbar di kancah nasional.
Tak ada yang menyangka, bahkan ia sendirinya bisa mencapai ke taraf ini. Simson, hanya satu dari segelintir anak muda Kalbar yang sukses mengusung mimpinya. Tak ada yang tak mungkin.
Tak ada yang tak bisa dilakukan. Fisik bukan kendala, tapi itu bisa jadi kekuatan untuk bangkit mengejar mimpi. (Wati Susilawati)
Leave a comment