Untan Bungkam Skandal Manipulasi Nilai SIAKAD, Lima Pejabat Teras FISIP Dikabarkan Disanksi Sedang hingga Berat!

PONTIANAK, insidepontianak.com - Kasus dugaan manipulasi nilai Sistem Informasi Akademik (SIAKAD) yang menyeret nama anggota DPR RI, Yuliansyah, menanti keberanian Untan untuk transparan bicara. Namun, hingga saat ini Untan justru bungkam.
Padahal, Inspektorat Jenderal (Irjen) Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek) telah menjatuhkan sanksi yang tak main-main.
Lima akademisi dan seorang staf di kampus Magister Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untan diberikan sanksi sedang hingga berat. Dua akademisi dan guru besar FISIP mendapat sanksi berat. Sementara tiga lainya sedang.
Mereka yang disanksi merupakan nama-nama yang terlibat dalam laporan tim investigasi internal Untan setebal 28 halaman yang diketuai oleh Dr. Rupita.
Laporan tersebut, mengungkap tabir gelap manipulasi nilai di ‘Kampus Biru’ FISIP Untan, secara gamblang membeberkan peran masing-masing pihak yang terlibat.
Mereka adalah Prof. Dr. Hasan Almutahar, Wakil Dekan I FISIP Untan; Dr. Elyta, Kepala Jurusan Sosiologi, Dr. Ema Rahmaniah, Wakil Dekan III, Dr. Erdi; dan Ketua Jurusan Ilmu Administrasi (IA), Dr. Ira Patriani yang notabene pejabat teras kampus.
Tak ketinggalan, seorang staf bernama Yanto yang terlibat atas perintah atasan. "Para pihak ini sudah tahu sanksi mereka, kata sumber tersebut.
Berdasarkan informasi sumber insidepontianak.com, Guru Besar FISIP Untan, Hasan Almuthahar dan Elyta, dikabarkan mendapat sanksi berat.
Sementara Ema Rahmaniah, Dr. Erdi, dan Ira Patriani mendapat sanksi sedang. Sementara Yanto, staf yang disebut mendapat perintah atasan, mendapat sanksi ringan. Seperti apa bentuk sanksinya belum diketahui hingga kini, mengingat Untan bungkam.
Berdasarkan regulasi, sanksi bagi ASN yang melanggar disiplin dan kode etik Aparatur Sipil Negara sudah sangat jelas. Ini diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, dan Peraturan Kepala BKN Nomor 6 Tahun 2022 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku PNS.
Sanksi bagi ASN terbagi tiga. Yakni; teguran lisan dan tertulis, sanksi sedang berupa penundaan kenaikan gaji dan yang paling berat berupa penurunan pangkat, pembebasan jabatan, hingga pemberhentian tidak hormat.
Namun, sanksi sedang dan berat apa yang diterima lima akademisi itu. Hanya para pihak dan Untan yang tahu. "Para pihak ini sudah tahu sanksi mereka,” kata sumber tersebut.
Rektor Terkesan ‘Cuci Tangan’
Berdasarkan informasi yang dihimpun, kabarnya sanksi Irjen sudah keluar pada Juni lalu, namun tak langsung dieksekusi.
Rektor Untan, Garuda Wiko, kembali jadi 'pendiam' dan terkesan ‘cuci tangan’. Malah, Ia membentuk tim untuk melaksanakan keputusan tersebut.
Dekan FISIP Untan, Dr. Erlan pun ditunjuk sebagai Ketua Tim, didampingi oleh Wakil Rektor II, Irfani Hendri, dan satu orang dari Sistem Pengawas Internal (SPI) Untan.
Seperti dapat ditebak, tim yang dibentuk Garuda Wiko ini pun diam seribu bahasa. Baik Irfani maupun Erlan tidak merespons konfirmasi yang dilakukan insidepontianak.com. Rektor Untan, Garuda Wiko juga demikian.
Faktanya, ternyata tim yang dibentuk Untan sudah melaksanakan keputusan Irjen. Tim pun sudah memanggil para pihak untuk menyampaikan kesalahan dan sanksi yang kemungkinan diberikan. Mereka ditanyakan sikapnya, apakah menerima atau menolak keputusan ini, yang kemudian akan disampaikan lagi kepada Kementerian untuk dibuat keputusan definitif.
"Setelah ini, tinggal menunggu SK definitif dari Kementerian sanksi apa yang dijatuhkan kepada para pihak untuk selanjutnya dieksekusi. Tapi kemungkinan besar tak akan berubah sesuai dengan yang disampaikan ke para pihak," ungkap sumber tersebut, menambah teka-teki kapan kejelasan akan muncul dalam kasus ini.
Desak Transparansi Untan
Sikap bungkam dan tertutup rektorat Untan menjadi pukulan telak bagi transparansi dan akuntabilitas di Perguruan Tinggi terbesar di Kalimantan Barat.
Sikap Untan tersebut menuai kritik dari Presiden Mahasiswa Untan, M. Najmi Ramadhan. Ia dengan tegas menyayangkan sikap Untan yang tertutup.
Menurut Najmi, praktik manipulasi nilai adalah bentuk pelanggaran berat terhadap integritas akademik dan nilai-nilai kejujuran yang seharusnya dijunjung tinggi pendidikan tinggi.
Najmi juga menyoroti sikap tertutup rektorat yang dinilainya menimbulkan kecurigaan di kalangan mahasiswa dan masyarakat luas.
Menurutnya, Untan seharusnya punya komitmen menyelesaikan kasus yang telah bertahun-tahun tanpa titik terang.
“Sebagai institusi pendidikan, Untan seharusnya menjadi teladan transparansi dan akuntabilitas.tidak boleh menjadi tempat subur bagi praktik manipulative,”ungkapnya.
Ia minta kasus ini harus segera mendapatkan keadilan dan transparansi benar-benar ditegakkan," desak Najmi.
Suara mahasiswa ini adalah cerminan kegelisahan yang meluas, menuntut komitmen nyata dari Untan untuk membersihkan diri.
Bukti Konkret Manipulasi
Untuk diketahui, skandal ini pertama kali terkuak lewat liputan investigasi insidepontianak 13 September 2024 lalu.
Insidepontianak yang mendapatkan laporan tim investigasi internal Untan. Dalam laporan ini membuka tabir skandal manipulasi nilai dan kita bisa melihat istimewanya Yuliansyah.
Terungkapnya kasus ini setelah Dekan Fisip Untan, Dr Herlan, menerima pengaduan dari sejumlah dosen pengampu mata kuliah yang tidak pernah memberikan nilai kepada Yuliansyah, namun nilai tersebut muncul di SIAKAD.
Tujuh dosen yang nilainya dipalsukan itu adalah Jumadi, Nurfitri, Sy Pudjianto, Zulkarnaen, Dr. Bakran Suni, Dr. Suherimiko, dan Dekan Fisip Dr. Herlan sendiri.
Rektor Untan Garuda Wiko akhirnya membentuk tim investigasi internal.Hasilnya, menemukan bahwa lima akademisi berperan dalam memanipulasi nilai, memalsukan tanda tangan Daftar Peserta dan Nilai Akhir (DPNA), serta tanda tangan dosen pengampu mata kuliah.
Selain itu, seorang staf operator juga terlibat dalam memasukkan nilai di SIAKAD.Para dosen yang disebut terlibat adalah Prof Dr Hasan Almutahar, Dr Elyta, Dr Ema Rahmaniah, Dr Erdi, dan Dr Ira Patriani. Mereka berperan mempermudah Yuliansyah, bisa mengikuti seminar tesis.
Dari lima orang tersebut, peran Prof Dr Hasan Almutahar dan Dr Elyta disebut sangat sentral. Untuk diketahui, Hasan Almutahar merupakan ayah kandung Elyta dan Ema Rahmaniah. Hasan Almutahar, Guru Besar Bidang Ilmu Sosiologi Fisip Untan. Ia dosen senior. Pada 18 April 2024, tim investigasi memeriksa Hasan.
Ia mengaku memberi nilai mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan kepada Yuliansyah, dengan nilai B+. Hasan juga memerintahkan staf operator SIAKAD S2, Yanto memasukkan nilai. Usut punya usut, ternyata istri Hasan, masih ada hubungan keluarga dengan Yuliansyah.
Peran Hasan tidak berhenti di situ. Pada 29 Februari 2024, ia berupaya minta Ketua Prodi Ilmu Politik S2 Fisip, Dr Nurfitri Nugrahaningsih, menerbitkan SK Pembimbing Tesis.
Uniknya, ada kesan, Hasan ingin mengelabui Nurfitri. Hasan menemuinya sambil membawa blanko surat penunjukan pembimbing tesis Yuliansyah yang sudah ditandatangani Dr Dwi Haryono, dengan komposisi sebagai Pembimbing Utama, Dr Martoyo. Pembimbing Kedua, Dr Ema Rahmaniah.
Pada saat itu, Nurfitri tak serta merta setuju dengan permohonan Hasan. Ketua Prodi S2 Politik tersebut, memeriksa keseluruhan nilai mata kuliah Yuliansyah.
Selain itu, figure yang punya peran sentral dari hasil investigas internal itu menyebut, Elyta sebagai Wakil Dekan 1 Fisip Untan, Ia disebut memalsukan tanda tangan sejumlah dosen pengampu mata kuliah di Prodi Politik. Modusnya sederhana saja.
Elyta memerintahkan Yanto, staf operator S2 SIAKAD, mencetak blanko Daftar Peserta dan Nilai Akhir (DPNA) mata kuliah atas nama Yuliansyah. Selanjutnya, hasil print DPNA dibawa pulang oleh Elyta.
Jeda beberapa hari, Elyta mendatangi Yanto di ruang operator SIAKAD S2 Fisip Untan. Di ruangan tak begitu luas itu, Elyta menyerahkan kembali DPNA kepada Yanto.
Anehnya, DPNA mata kuliah Yuliansyah sudah terisi penuh, dengan tulisan tangan menggunakan tinta biru. Elyta memerintahkan Yanto, memasukkan nilai itu ke sistem SIAKAD.
Yanto tak sanggup menolak perintah Elyta. Sebagai anak buah, ia menuruti perintah atasan. Padahal, Yanto mengaku tak kenal Yuliansyah. Ia tak pernah bertemu. Apalagi mengenalnya secara pribadi.
Selain mengelabui Yanto, Elyta menjalankan modus yang sama kepada Dr Erdi Abidin. Ia dosen pengampu mata kuliah Pengelolaan Keuangan Daerah. Di Mata kuliah ini, Erdi sebagai Asisten Dr S.Y. Pudjianto. Erdi mengaku sempat mengosongkan formulir DPNA. Ia tidak mengisi nilai mata kuliah Yuliansyah.
Alasannya, mahasiswa ini tak pernah masuk kuliah. Tapi, belakangan, blanko DPNA Yuliansyah diisi sendiri oleh Erdi. Elyta meneleponnya.
“Bang, ini ada mahasiswa, Yuliansyah, tolong diberi nilai,” kata Elyta kepada Erdi.
Selanjutnya, Erdi memberi nilai B+. Setelah menerima pemberian uang dari Elyta sebagai ucapan terima kasih, nilai itu berubah menjadi A.
Sayangnya, jurus Elyta mentok di Ketua Prodi Ilmu Politik S2, Nurfitri. Tepatnya, saat dirinya mengetahui, Nurfitri tak mengakomodir permintaan dari Hasan. Elyta berinisiatif memanggil Nurfitri. Pertemuan berlangsung di ruang kerjanya.
Dalam percakapan langsung, Nurfitri ditanya mengenai masalah Yuliansyah, dan berkas seminar yang dibawa Hasan Almutahar, ayah Elyta.
Nurfitri menjawab tegas, “Mahasiswa tersebut (Yuliansyah) tidak pernah kuliah.”
Seminggu setelahnya, Elyta bertanya kepada Nurfitri.
"Bisa atau tidak, mahasiswa ini (Yuliansyah) diseminarkan? Kasihan mahasiswa daftar ulang lagi.”
Nurfitri tegas menimpali, “Tidak usah kasihan. Mahasiswa itu orang kaya.”
Selain dua nama itu, Ema Rahmaniah yang juga Ketua Jurusan Sosiologi duduga terlibat dalam skandal ini karena memberi nilai kepada Yuliansyah.
Ema merupakan dosen aktif di berbagai seminar dan kegiatan dan menjabat Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Kota Pontianak. Ia juga kerap mengisi pelatihan terkait berbagai cara mempelajari dan mengindentifikasi hoaks, cek fakta.
Ia juga tercatat menjadi tim seleksi bagi calon anggota KPU dan Bawaslu di berbagai wilayah Kalbar. Dalam laporan itu menyebut, peran Ema Rahmaniah dan Ira Patriani, tak bersentuhan langsung dengan Elyta. Tapi, keduanya sebagai dosen pengampu, mengaku memberi nilai untuk Yuliansyah.
Ema misalnya. Ia mengaku memberi nilai A kepada Yuliansyah, untuk mata kuliah Legislasi Daerah dan Demokratisasi. Alasannya, nilai A, berdasarkan tugas disampaikan Yuliansyah secara lengkap, tanpa tekanan dari pihak mana pun.
Sepintas, tidak ada yang salah dari Ema. Tapi, belakangan terkuak. Pada mata kuliah tersebut, jabatan Ema sebagai asisten. Adapun dosen pengampu utama adalah Jumadi. Dalam sebuah pertemuan, Jumadi marah dan menyebut Ema salah. Sebab, memberi nilai tanpa koordinasi dengan dirinya.
Sementara posisi Dr Ira Patriani seperti tercepit. Dalam kasus ini, Ira mengajar dua mata kuliah. Yaitu, Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintah bersama Dr Herlan, dan Birokrasi Indonesia bersama Dr Zulkanaen.
Untuk nilai mata kuliah Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan, Ira mengaku memberi nilai A. Ada koordinasi dengan penanggungjawab mata kuliah, tak lain Dekan Fisip S2 Untan, Dr Herlan. Adapun bentuk koordinasi, bertemu langsung dan lewat pesan WhatsApp. Hanya saja, untuk mata kuliah Birokrasi Indonesia, Ira menyatakan tidak pernah memberi nilai.
Pada saat cek dalam blanko nilai, ia mengaku tak mengetahui, siapa yang memberi nilai.
Ira tak mengenal tulisan dan paraf di blanko penilaian DPNA. Semua pengakuan ini, tercatat secara rinci dalam laporan tim investigasi setebal 28 halaman itu.
Kini, pertanyaan krusial yang menggantung adalah: akankah Untan terus menutup diri dan membiarkan misteri menyelimuti kasus ini, ataukah akan membuka diri dan menyampaikan secara transparan hasil sanksi dan langkah tindak lanjut yang akan diambil? (Andi)
Tags :
Berita Populer
4
Leave a comment