Roaster Landak, Ubah Green Bean Kopi Petani Lokal jadi "Emas Hitam" Berkarakter
LANDAK, Insidepontianak.com - Di balik gemuruh mesin roaster yang berputar pelan, Deri berdiri, seolah menjadi penawar rindu bagi setiap biji kopi Landak yang ia tangani.
Tangannya cekatan, matanya jeli dan awas memastikan setiap derajat suhu dan durasi waktu yang ia berikan pada biji-biji hijau dari para petani lokal.
Bukan sekadar proses teknis, bagi owner Kopi Pelawe ini, roasting adalah babak romantis dari sebuah janji, mengubah green bean lokal menjadi aroma yang kelak dikenang.
Ia tahu betul, biji kopi yang baru datang dari Sempatung atau Tengon seringkali memiliki kualitas di bawah standar kedai kopinya, terkadang ukurannya tak seragam, atau ada cacat minor.
Namun, dengan keahliannya, Deri memperlakukan setiap biji sebagai potensi, bukan kekurangan. Dengan roasting yang cermat, ia berupaya mengekstrak keajaiban yang tersembunyi.
Deri memastikan suhu dan waktu di dapur roasting miliknya presisi agar cita rasa khas Landak itu keluar, sentuhan buah yang tak pernah ia temukan pada kopi dari daerah lain.
Upaya yang ia lakukan sejak awal 2024, setelah berkolaborasi dengan Camat Air Besar untuk pertama kali mengolah kopi lokal, mengubah pandangannya yang semula hanya mengandalkan pasokan dari Temanggung, Lampung, atau Aceh Gayo.
"Landak memang punya cerita kopi, tapi belum punya kopi sendiri," ungkap Deri, menjelaskan mengapa ia merasa terpanggil untuk menyambut biji-biji lokal ini ke dalam dapurnya.
Kini, kopi Tengon dan Sempatung menjadi dua varietas lokal yang juga berjejer diantara varietas kopi nusantara lainnya di Kopi Pelawe.
Deri punya mimpi sederhana, yaitu agar Landak, kelak dikenal di panggung nasional bahkan internasional lewat varietas kopi yang berkarakter.
Namun, sebagai pencinta sekaligus pengusaha yang mengusung kopi lokal, Deri menghadapi tantangan yang menguji idealismenya.
Ia harus berhadapan dengan masalah klasik di hulu produksi. Biji kopi dari petani lokal belum mampu diproduksi dalam jumlah yang konsisten.
Kebanyakan tanaman kopi di Landak belum dibudidayakan secara intensif sebagai bisnis utama, melainkan hanya tumbuh terbatas di kebun-kebun rakyat.
"Produksi kopi petani lokal itu belum bisa kita hitung per bulan," keluh Deri.
Jumlah yang minim dan tidak teratur ini menjadi penghalang utama untuk membawa kopi Landak ke pasar yang lebih luas, seperti melalui marketplace di luar kota.
Ironisnya, petani lokal cenderung kurang merawat tanaman kopi mereka karena sebelumnya belum ada pihak yang bersedia membeli dan mengolah hasilnya secara serius.
Padahal, menurut Deri, permintaan pasaran kopi saat ini tengah melonjak naik. Dia sendiri membeli green bean dari petani lokal dengan harga Rp 65.000 per kilogram.
Untuk memaksimalkan potensi tersebut, Deri menilai, Pemerintah Daerah melalui Dinas terkait memiliki peran untuk mengintensifkan penyuluhan dan pelatihan kepada petani agar dapat mengolah dan merawat tanaman kopi dengan benar.
Tujuannya agar budidaya terhapan tanaman tersebut bisa memberikan manfaat yang lebih besar dan berkelanjutan.
Deri berharap, di masa mendatang, kopi menjadi produk primadona di Kabupaten Landak yang mampu bersaing dan mengungguli komoditas seperti kelapa sawit.
"Kopi ini, seperi 'emas hitam' nilainya cukup tinggi. Bila dirawat dengan baik, ini (kopi) bisa membantu petani kita," pungkasnya. (*)

Leave a comment